Kita tentu tidak asing dengan kalimat ini, "Hidup adalah pilihan." Jika kita merenung lebih dalam, perkara hidup sehari-hari ialah perkara memilih. Dari bangun pagi, hingga pergi tidur di waktu malam, kita menghadapi beragam pilihan.
Apakah kita memilih untuk bangun tepat pada waktunya, pergi ke kantor, kampus, atau tempat kerja pada waktunya, memilih makanan mana yang kita konsumsi, baju apa yang kita pakai, dan banyak lainnya yang menuntut kita untuk harus memilih.
Kalau kita mengkategorikan setiap pilihan, tentu ada pilihan yang mudah, sedang, dan berat. Pilihan itu mudah jika kita tidak membutuhkan waktu yang lama atau pertimbangan yang masak untuk memilih. Tingkatan sedang bisa kita kata "sedikit membutuhkan pertimbangan", dan pilihan yang berat ialah pilihan yang menuntut kita untuk mempertimbangkan secara matang, sebab pilihan itu menentukan masa depan kita pun orang lain.
Tentang pilihan yang berat, semua orang setuju bahwa hal itu tidak mudah dilakukan. Untuk sungguh-sungguh memilih secara tepat, apa lagi bila berhadapan dengan pilihan yang penting, kadang membutuhkan waktu yang panjang dan melelahkan.
Seorang pastor pernah bercerita. Suatu hari ia harus meminta seorang karyawati yang bekerja di sebuah seminari untuk berhenti bekerja. Keputusan untuk meminta mundur seorang yang karena usianya sulit bekerja, sungguh tidak mudah. Di satu sisi, gaji ibu tua itu, menghidupkan keluarganya. Suaminya sudah tua, dan anak-anaknya pengangguran.
Namun di sisi lain si pastor harus meminta si ibu untuk mundur. Sebab jumlah seminaris semakin banyak. Si ibu tidak mampu lagi untuk mengangkat periuk dan peralatan dapur yang ada. Ibu itu juga sering sakit-sakitan, karena usianya yang semakin tua dan setiap pagi harus menempuh perjalanan jauh ke tempat kerjanya.
Cerita lain datang dari seorang guru spiritual. Jumlah murid yang semakin banyak di tempat pembinaannya, menuntut sang guru harus berani mengambil sikap terhadap para murud yang bandel dan tidak mengikuti aturan di sekolahnya. Ia menemukan seorang murid yang sering tidur saat berdoa, tidak mengikuti kegitan bersama, dan hidup hariannya sangat ngawur.
Dengan penuh semangat sang guru berusaha mendekati murid itu agar dia berubah. Namun semakin diberi perhatian khusus, hidupnya semakin tidak jelas. Ia bahkan menjadi pemberontak saat dinasihati atau ditegur. Â Karena tidak sanggup lagi, guru itu meminta si murid, pulang ke rumahnya. Sang guru sangat keberatan, sebab murid itu yatim piatu. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Ada banyak cerita lain yang kita jumpai dalam hidup sehari-hari. Entah pengalaman kita sendiri pun pengalaman orang lain. Dan kita harus mengakui bahwa memilih tidak selalu mudah. Perkara memilih pada hakikatnya ialah perkara melepaskan. Ketika kita memilih yang satu, kita harus melepaskan yang lain.
Sebelum kita masuk daalam cara kita dalam memilih, rasanya saya perlu berbagi pengalamana tentang susahnya memilih. Saat SMA, salah satu pengalaman yang masih terekam jelas dalam memori saya ialah saat harus memilih jurusan.
Jujur, pengetahuan yang saya peroleh di SMP, belum sungguh-sungguh memampukan saya untuk memilih, apa lagi memilih jurusan yang nanti berdampak pada jurusan saat kuliah, dan tentu dunia kerja.
Apa yang kemudian terjadi saat itu ialah kami harus memilih. Satu pengalaman yang menarik, yang saya pelajari dari seorang guru Biologi. Beliau mengatakan bahwa "Kamu harus berdoa pada Tuhan untuk memohon penerangannya. Kamu diberi waktu satu minggu. Minggu yang kedua, kamu harus sudah menentukan kelasmu di mana."
Memilih untuk masa depan tentu tidak mungkin dalam waktu satu minggu saja. Tetapi saat-saat yang menentukan itu, kami diminta bersandar sepenuhnya pada Tuhan yang kami imani. Dan ketika waktunya selesai, semua murid tidak lagi menghadap guru Bimbingan Konseling (BK).
Pertanyaannya ialah, apa langkah yang harus kita lsayakan agar kita memilih dengan tepat dan hati kita damai?
Pertama, memilih ialah melepaskan. Kita tentu sadar bahwa jika kita memilih yang satu, kita harus berani melepaskan yang lain. Seorang anak kecil tidak bisa menjadi rujuakan kita. Sebab seorang anak kecil, selalu ingin memiliki semuanya tanpa ingin melepaskan yang lain.
Ketika kita memilih kita harus terbuka untuk melepaskan yang lain, yang kita inginkan. Ketika kita memutuskan untuk memilih menikah dengan seorang wanita, keinginan untuk memiliki wanita idaman yang lain, harus kita tinggalkan. Begitu juga saat kita telah berkeluarga, keinginan untuk memiliki istri orang lain, tidak boleh kita pelihara terus.
Kedua, melihat peluang dan tantangannya. Pilihan apapun yang kita ambil selalu mempunyai risiko. Risiko yang muncul harus dihadapi. Sebab justru dalam tantangan atau risiko yang muncul, pilihan itu semakin dimurnikan.
Maka sangatlah penting untuk menerima risiko dari setiap pilihan kita. Dan yang lebih penting lagi ialah peluang apa yang bisa kita manfaatkan dari pilihan kita. Apa yang mesti kita harapkan dan tujuan apa yang yang hendak kita capai.
Ketiga, mengenal diri sendiri (Know Your Self). Semua orang tentu setuju bahwa orang yang tidak mengenal dirinya, sulit untuk menentukan apapun. Ia selalu bimbang dan ragu dengan segala hal dan cenderung menjadi orang yang tidak percaya diri. Mengenal diri sangatlah penting sebagai langkah awal untuk menjalankan hidup dengan baik. Saya ingat, seorang pujangga pernah menulis demikian, "Menjadi kudus ialah mengenal diri dan menerima diri apa adanya."
Mengenal diri berarti mengenal kelemahan dan kelebihan. Tentu tidak sampai pada perkara mengenal, tetapi menerimanya dan mengembangkannya. Itulah inti dari mengenal diri. Maka perkaranya tidak pernah diukur dengan berapa jumlah usia seseorang, tetapi sejauh mana ia masuk dalam inti dirinya. dan ini yang sering kali tidak mudah.
Keempat, discernment of Spirit. Iganatius dari Loyola mengajarkan kita bahwa dalam memilih kita harus mampu membedakan Roh yang sedang menggerakan kita. Cara kita membedakannya ialah melihat buah-buah dari Roh. Apakah buah-buahnya membawa kita ke hal-hal yang baik, atau tidak.
Membedakan Roh itu selalu dilakukan dalam doa. kata para pujangga, Doa adalah kunci membuka pintu surga. Doa pun bisa mengetuk hati Tuhan. Sebab doa ialah saat di mana kita berbicara dengan Tuhan.
Saya yakin seberat apapun pilihan yang kita hadapi, kalau kita mengenal diri, dan membawa semuanya dalam doa, kita akan dengan hati yang damai memilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H