Perjalanan hidup ibarat sang musafir yang terus berjalan menatap masa depan. Setiap hari, kami anak asrama 'Ponsa' ke kampus dengan berspeda. Perjalanan panjang ingin mendaki sebuah impian. Di tengah teriknya mentari yang membakar tubuh tidak meruntuhkan semangat bagi mereka untuk terus meraih sebuah cita-cita.Â
Sang musafir adalah orang yang tidak berhenti di jalan. Ia terus berjalan dan berjalan. Begitu banyak hal-hal menggiurkan saat berspeda, misalnya melihat orang yang bergaya di atas mobil atau iri dengan orang yang mengendarai speda motor. Hari-hari, hidup bergulat di atas speda.
Tat jarang, ada sebuah pemberontakkan dengan keadaan. Tetapi, ini semua adalah penghayatan kemiskinan dan merasakan kehidupan bersama dengan yang miskin. Masih banyak orang yang hidup lebih menderita dari kami. Setiap langkah dan ayunan ingin menatap sebuah masa depan. Ada banyak kata-kata yang keluar dari mulut sang pemandang.Â
Entah itu pujian atau pun berupa sebuah hujatan. Kata-kata kasar dikeluarkan dari mulut orang yang merasa terhalang perjalanan mereka karena menyaksikan para pengendara speda. Banyak cacian tat kala para kami menghambat perjalanan orang.Â
Nilai yang Dipetik dari Berspeda
Manusia adalah makhluk menjadi atau dalam bahasa kerennya, manusia masih dalam proses becoming. Ia terus berjalan. Ada beberapa nilai yang dipetik dari pengalaman berspeda.
Pertama, berjalan dalam tawaran yang menggiurkan. Semuanya tidak mudah. Membutuhkan hati yang tabah dan tahan banting. Orang yang tahan banting akan memetik buah dari perjalanan pajangnnya. Maria telah membuka hati bagi Allah untuk menjadi bunda Sang penebus dengan tidak tergiur oleh hal duniawi. Bukan berarti hal duniawi tidak baik. Sangatlah baik. Tetapi ia memilih pilihan yang terbaik dari antara yang baik. Menjadi pewarta sabda juga harus berani menjadi seperti Maria. Harus terus menjawab 'Ya' pada undangan Tuhan.
Berspeda simbol orang yang tidak berhenti di tengah jalan. Orang yang terus berjalan mendaki sebuah impian. Menjadi lahan yang subur dan terbuka bagi benih sabda Allah berkarya. Menjadi tanah yang subur untuk bisa menjadi tempat yang subur bagi umat yang mau menanam benih sabda Allah.
Kedua, Berspeda menunjukkan sikap siap sedia. Orang rela untuk melakukan pewartaan sabda Allah dalam kesederhanaan. Berspeda melatih diri untuk terus berjuang kendati pun banyak rintangan yang menghadang.
Ketiga, melupakan diri. Melupakan diri tidak berarti orang itu tidak lagi mengenal siapa dirinya. Tetapi, orang mau bekerja untuk Allah dan Allah yang melindungi dirinya. Semakin orang banyak bekerja untuk Allah, Allah juga akan memerahtikan orang itu. Kiranya ini menjadi sebuah nilai yang diperoleh dari sana. Pengalaman mendaki dan mendorong speda menjadi sebuah langkah awal dalam melayani umat di kemudian hari. Umat sekarang membutuhkan seorang pewarta yang tangguh, tanggap, dan bertanggungjawab. Itulah yang dihidupi oleh spiritualis Montfortan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H