Lawatan awal 2024 Presiden Joko Widodo ke tiga negara ASEAN jelas memberikan sinyal kegawatan stabilitas kawasan. Beberapa isu penting yang menjadi tema bahasan masih berkutat soal  politik-keamanan, ekonomi, serta eskalasi kawasan Laut China Selatan (LCS) yang kian memanas. Pasalnya, Pasca Perang Dunia Ke-2, ketika pendudukan Jepang berakhir, "kepemilikan" kawasan menjadi tumpang tindih.
Secara geografis, LCS memiliki luas sekitar  3,5 juta kilometer persegi. Pada bagian barat berbatasan langsung Vietnam, Kamboja, Thailand, serta Semenanjung Malaysia. Sementara di Timur berbatasan dengan wilayah Filipina. Dan yang paling selatan dengan Brunei, Indonesia dan Malaysia bagian Timur. Dua negara di luar kawasan yang berbatasan langsung adalah Republik Rakyat China (RRC) dan Taiwan di sebelah Utara.
Masalah muncul ketika, Pada Desember 1947 China menerbitkan kepulauan-kepulauan utama di LCS yang terangkum dalam  sebelas garis putus-putus. Peta itu menampilkan  seluruh wilayah Laut China Selatan sebagai daerah milik China. Tiga tahun kemudian, peta itu diubah lagi menjadi nine dash line. Peta itu semakin mempertegas klaim China atas kawasan LCS. Aksi ini juga diikuti dengan tindak militer untuk merebut beberapa pulau utama baik dari Vietnam maupun Filipina. Ini mengindikasikan konflik terbuka adalah sebuah keniscayaan dan bisa meletus  kapan saja.
Mengapa China begitu berani melakukan klaim sepihak atas LCS? Sudah menjadi rahasia umum jika kawasan LCS kaya sumber daya mineral seperti minyak dan gas bumi. Jalur perdagangan laut yang sangat vital dengan estimasi US 5 Trilyun setiap tahunnya. Belum lagi kekayaan perikanan yang sangat luar biasa.
Menurut Tantri, dkk (2021) dalam buku "Satu Dasawarsa Prakarsa Sabuk dan Jalan Tiongkok: Tinjauan Kritis Terhadap Instrumentalisasi Sejarah" karya Tuty Nur Mutia, disebutkan penyebab "kemandegan" perkembangan BRI (Belt-Road initiative) dalam waktu lima tahun akibat kendala yang terkait stereotip budaya Tiongkok, agresivitas Tiongkok dan jebakan hutang. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa China terkenal sangat agresif dalam mencapai keinginannya.
Selain itu, pernyataan resmi Presiden Xi Jinping yang ingin membangun kembali "jalan sutra" modern dengan sebutan Yidai Yilu Changyi/ One Belt One Road (OBOR) atau prakarsa sabuk dan jalan. Sejak 2015, China menetapkan changyi pada yidai yilu changyi sebagai "inisiatif" dan bukan strategi. Akan halnya sebutan Zhongguo yang artinya negara tengah atau pusat. China memang benar-benar ingin menjadi pusat dunia atau Sino-sentris.
Ketika ekonomi China tumbuh dengan pesat, hasrat untuk menguasai geopolitik juga ikut terpacu. BRI yang dirancang untuk mengembalikan kejayaan " jalur sutra" menjadi sarana China  untuk mewujudkan supremasinya di kawasan dan dunia. China di bawah pimpinan Xi Jinping membangun narasi-narasi sejarah secara terstruktur sebagai instrumen dalam mengembalikan kejayaan secara domestik maupun Internasional (glorifikasi).
Pemahaman yang mendalam terhadap karakter, budaya, bahasa dan historis China menjadi hal yang wajib bagi Indonesia dalam menjaga kedaulatannya. Karena seperti diketahui, China melalui para pemimpinnya, sangat aktif dan agresif membangun narasi-narasi sejarah yang ditujukan untuk memperkuat posisinya. Langkah ini pada akhirnya akan menjadi pembenaran aksi atau kebijakan manipulatif untuk mencaplok wilayah negara lain. Dengan pemahaman mendalam terhadap langkah-langkah China, pemerintah Indonesia, melalui instrumen-instrumennya dapat dengan cepat  melakukan langkah-langkah antisipasi baik secara diplomatis maupun tindakan militer jika keadaan sangat mendesak.
Meski posisi Indonesia dalam sengketa LCS bukan pihak yang mengklaim, tetapi juga tidak bisa menutup mata atas beberapa kali ketegangan terjadi dengan China dalam isu Laut Natuna Utara.  Mengutip  Kompas, 6 Juli 2020, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi tegas menyatakan, posisi Indonesia dalam isu LCS, di bawah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) 1982 (UNCLOS 1982), tidak ada klaim tumpang tindih. Tak ada yang perlu dinegosiasikan dengan Beijing.
Menyikapi ancaman kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya di Laut China Selatan, Pemerintah RI melakukan langkah yang jitu dengan merilis peta Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diperbarui pada 14 Juli 2017. Pada peta ini Laut Natuna berganti nama menjadi Laut Natuna Utara (LNU) .
Dan seperti sudah bisa diduga, Â Perubahan nama pada ruang laut di utara Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara diprotes keras China melalui nota diplomatik yang dilayangkan Kementerian Luar Negeri China kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing. Dalam nota yang dikeluarkan tanggal 25 Agustus 2017 tersebut tertuang 3 butir sikap RRC yang salah satunya berisi penolakan terhadap nama LNU.