Di satu sisi, jenjang pendidikan memang memengaruhi kualitas hidup, tapi di sisi lain kualitas hidup juga memengaruhi seseorang untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkatan yang lebih tinggi.Â
Lalu, apa yang saya maksud? Mari kita lihat proporsi penduduk Indonesia berdasarkan jenjang pendidikannya.
Proporsi Penduduk Indonesia menurut Jenjang Pendidikan
Pendidikan, sebagai fondasi utama untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat menghadapi tantangan. Sementara, kualitas hidup juga menentukan seseorang memilih untuk melanjutkan pendidikan tinggi atau tidak.
Namun, untuk memahami lebih dalam masalah ini, perlu untuk menyelidiki lebih rinci proporsi penduduk menurut jenjang pendidikan, menggali kendala aksesibilitas dan menilai kualitas pendidikan tinggi di negara ini.
Menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) per Juni 2022, dari total 275,36 juta penduduk Indonesia, hanya 6,41% yang telah mencapai jenjang pendidikan tinggi.Â
Rincian jumlah penduduk Indonesia menurut jenjang pendidikan pada Juni 2022 memberikan gambaran nyata tentang tantangan akses dan kualitas pendidikan tinggi di negara ini:
- S3: 61.271 jiwa
- S2: 855.757 jiwa
- S1: 12.081.571 jiwa
- D3: 3.517.178 jiwa
- D1 dan D2: 1.126.080 jiwa
- SLTA: 57.533.189 jiwa
- SLTP: 40.035.862 jiwa
- Tamat SD: 64.446.545 jiwa
- Belum Tamat SD: 30.685.363 jiwa
- Tidak/Belum sekolah: 65.018.451 jiwa
Data ini menunjukkan perlunya perhatian lebih terhadap akses pendidikan tinggi di semua lapisan masyarakat, serta peningkatan kualitas pendidikan untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas hidup dan daya saing bangsa.
Rendahnya Minat Masyarakat Mengejar Pendidikan Pascasarjana
Mengutip Suara.com, rendahnya minat warga Indonesia untuk mengejar pendidikan lanjut pascasarjana dapat dijelaskan melalui beberapa faktor.
Pertama, minimnya lapangan kerja yang membutuhkan gelar pascasarjana selain dalam bidang riset menjadi salah satu hambatan utama.Â
Pasar kerja di Indonesia belum sepenuhnya memberikan apresiasi terhadap lulusan pascasarjana, kecuali dalam konteks penelitian. Hal ini menyebabkan rendahnya insentif bagi individu untuk mengejar jenjang pendidikan lebih tinggi.