"Pertama umur, yang kedua baru 2 tahun jadi wali kota, yang logis aja," kata Pakde Jokowi, saat ditanya soal kemungkinan Gibran nyawapres, pada 4 Mei 2023.Â
Pernyataan ini kedengarannya sih gak seperti dukungan buat putra sulungnya bukan, nder?Â
Tapi ya, semua berubah saat Prabowo Subianto mengumumkan bahwa Gibran akan menjadi calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Maju.Â
Pakde kemarin menyatakan bahwa sebagai orangtua, ia hanya bisa mendukung dan mendokan putranya, memberikan kesan bahwa Mas Gibran ini harus membuktikan dirinya di panggung politik dengan caranya sendiri.
Pengumuman ini menuai beragam reaksi, dengan berbagai pihak menyuarakan pandangan masing-masing mengenai kelayakan Gibran sebagai calon wakil presiden.Â
Trus, apa aja sih reaksi dari berbagai tokoh dan media dalam melihat fenomena politik ini, nder?
1. Ahok
Salah satu tokoh yang kasih pandangan kritis adalah Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih dikenal dengan nama Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta yang viral karena kepemimpinan tegasnya.Â
Pada tanggal 20 Oktober 2023, Ahok menyampaikan pandangannya, bahwa Gibran belum teruji nih.Â
"Jadi wali kota baru 2-3 tahun kan belum teruji juga," katanya.Â
Ahok dengan tegas mengingatkan bahwa pengalaman dan rekam jejak dalam pemerintahan itu penting banget, terutama dalam posisi sebagai wakil presiden.Â
Dalam perspektifnya, Gibran mungkin belum memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup untuk menghadapi tantangan politik di tingkat nasional.
2. Zen RS, Pemimpin Redaksi Narasi TV
Zen RS, pemimpin redaksi Narasi TV, mengambil pendekatan yang lebih luas dalam menilai keputusan politik ini.Â
Lewat unggahan di akun Instagram @narasinewsroom, Zen meng-hihglight fenomena politik dinastik yang semakin mewarnai dunia politik Indonesia.Â
Doi juga menekankan kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batasan usia calon presiden dan wakil presiden yang memungkinkan Gibran maju dalam pemilihan umum.Â
Menurut Zen, hal ini mencerminkan politik oligarkis yang semakin mengakar di Indonesia, di mana kepentingan keluarga berkuasa tampak mendominasi.
3. Jusuf Kalla
Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK), ngasih pandangannya tentang kelayakan Gibran sebagai calon wakil presiden.Â
Dalam sebuah wawancara dengan Kumparan, JK menyampaikan pandangan yang sangat realistis.Â
Beliau menilai bahwa seorang anak muda yang belum memiliki pengalaman yang cukup akan kesulitan dalam memimpin negara sebesar Indonesia.Â
JK memberikan statement bahwa pengalaman adalah modal penting dalam dunia politik. Dengan kata lain, pengalaman seorang calon jauh lebih berharga daripada usia atau keturunan.
4. Butet Kertaradjasa
Mas Butet Kertaradjasa, seorang seniman terkenal dan tokoh masyarakat, memilih untuk menyuarakan keprihatinannya melalui surat pribadi yang ditujukan kepada Presiden Jokowi.Â
Dalam suratnya, Mas Butet ini menyoroti pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden dan putusan MK yang memungkinkan hal tersebut.Â
Dia menggambarkan langkah tersebut sebagai "bencana moral" dan menekankan dampaknya pada legacy atau warisan yang akan ditinggalkan oleh Jokowi.Â
Baginya, pencalonan Gibran akan berpotensi merusak citra dan integritas pemimpin yang sudah dihasilkan selama ini.
***
Sejujurnya, keresahan yang dirasakan oleh para tokoh ini adalah refleksi dari situasi politik yang semakin kompleks di Indonesia.Â
Meskipun dukungan atau kritik ini merupakan pandangan pribadi dari masing-masing tokoh, tapi perasaan ini juga mewakili beragam sudut pandang dalam masyarakat.
Sebagai rakyat biasa, jujur saya bingung juga sih nder menghadapi drama politik ini.Â
Di satu sisi, duet Ganjar-Mahfud menawarkan kualitas dan rekam jejak yang solid dalam pemerintahan, yang gak bisa diabaikan.
Namun, di sisi lain, Prabowo-Gibran mengusung semacam kebaruan dalam dunia politik Indonesia. Gibran itu sosok muda, dan ide-ide segarnya mungkin bisa membawa perubahan yang dibutuhkan.
Ketidakpastian ini semakin diperparah oleh dominasi kekuasaan "si banteng merah."Â
Entah mengapa, walaupun duet Ganjar-Mahfud menawarkan kualitas terbaik, tapi rasanya bosen aja sih dengan dominasi dan arah kepemimpinan dari partai penguasa.Â
Jujur, saya belum menentukan pilihan, karena drama politik ini masih berkembang. Satu hal yang saya tau bahwa drama-drama ini mungkin sengaja diciptakan dan dibiarkan oleh para petingggi.
Gimana kalo menurut kelen nih, nder?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H