Demokrasi seharusnya memberikan kesempatan bagi individu yang memiliki kemampuan, visi, dan komitmen untuk memimpin tanpa adanya batasan usia yang membingungkan atau dengan tedeng aling-aling.Â
Penentuan kesesuaian seorang kandidat sebagai pemimpin seharusnya lebih didasarkan pada pemilihan rakyat dan bukan pada kriteria yang membatasi pilihan.Â
Dengan demikian, pertanyaan yang perlu saya tanyakan pada hakim MK adalah,Â
Mengapa harus ada batasan usia, bahkan dengan syarat alternatif?
Pertanyaan lain yang perlu dievaluasi adalah apakah MK telah mempertimbangkan dampak dari keputusan ini terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.Â
Pemilih muda, yang kini semakin berperan dalam proses politik, mungkin merasa terbatas oleh batasan usia ini. MK seharusnya mempertimbangkan peran penting pemuda dalam menentukan arah politik dan masa depan negara ini.Â
Selanjutnya, membahas alternatif syarat yang diusulkan oleh beberapa hakim, yaitu pengalaman sebagai kepala daerah atau gubernur, pertanyaan muncul tentang mengapa hanya jabatan-jabatan tertentu yang menjadi patokan?Â
Ini menimbulkan ketidakjelasan dan keraguan tentang penentuan syarat yang seharusnya lebih inklusif dan adil.Â
Mengapa tidak mempertimbangkan pengalaman dalam jabatan lain yang juga dipilih melalui pemilihan umum, seperti anggota legislatif?Â
Atau bahkan pengalaman dalam kepemimpinan di sektor swasta yang mungkin membuktikan kemampuan dan kompetensi seorang individu?
Saya pun bertanya-tanya apakah putusan MK ini tidak terlalu membingungkan masyarakat. Sebelumnya, kita telah berpegang pada batas usia 40 tahun sebagai syarat calon presiden dan wakil presiden.Â