Pengantar
Setiap manusia memiliki karakteristik kepribadian yang unik, menghasilkan keragaman dalam bagaimana individu berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.Â
Dalam kajian psikologi, kepribadian manusia seringkali dikelompokkan berdasarkan sumber energi atau gairah yang mereka peroleh. Seorang psikolog ternama, Carl Gustav Jung, mengenalkan konsep ini dalam karyanya, "Psychologische Typen" yang diterbitkan pada tahun 1920.Â
Menurutnya, ada individu yang dikenal sebagai ekstrovert, yang mendapatkan energi melalui interaksi sosial dan aktivitas di dunia luar. Di sisi lain, ada introvert yang merasa terisi ulang saat berada dalam kesendirian dan refleksi pribadi. Namun, dunia tidak hanya hitam dan putih.Â
Di antara kedua kepribadian tersebut muncul ambivert, yaitu individu yang memiliki keseimbangan antara sifat ekstrovert dan introvert. Menariknya, meskipun ada perbedaan tajam antara introvert dan ekstrovert, Jung percaya bahwa sangat jarang ditemukan individu yang murni memiliki salah satu tipe kepribadian tersebut.Â
Kajian ini membuka pintu pemahaman baru tentang kompleksitas kepribadian manusia dan bagaimana kita berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.
Stereotip yang Berkembang Selama Ini
Dalam pemahaman psikologi, kepribadian seseorang bukanlah sesuatu yang statis atau tetap, melainkan sebuah part yang dinamis. Konsep kepribadian introvert dan ekstrovert, yang dicetuskan oleh Carl Gustav Jung, sebenarnya lebih kompleks daripada yang dipahami oleh banyak orang.Â
Pada dasarnya, kedua tipologi ini menggambarkan bagaimana seseorang memperoleh dan menghabiskan energinya. Namun, stereotip di masyarakat seringkali mengaburkan pemahaman asli mengenai dua klasifikasi ini.Â
Sebagai contoh, introvert seringkali dilabeli sebagai individu yang antisosial atau pemalu, yang mungkin memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan sosial. Sementara itu, ekstrovert dianggap selalu menjadi jiwa sosial yang suka menjadi pusat perhatian.Â
Stereotip seperti ini tentu saja menyesatkan. Seorang introvert bisa saja memiliki banyak teman dan menikmati interaksi sosial, tetapi mereka mungkin memerlukan waktu sendiri untuk mengisi ulang energi.Â
Sebaliknya, seorang ekstrovert bisa jadi memiliki kebutuhan untuk berada di tengah-tengah keramaian, tetapi juga memiliki momen ketika mereka membutuhkan kedamaian dan kesendirian.Â
Salah satu faktor yang turut memengaruhi pemahaman masyarakat adalah adanya berbagai tes kepribadian online yang seringkali disederhanakan. Banyak dari tes tersebut yang hanya memberikan gambaran hitam dan putih, tanpa menyediakan nuansa abu-abu yang memang ada dalam setiap individu.Â
Hal ini bisa berbahaya, karena dengan label-label tersebut, individu bisa merasa terbatas atau bahkan salah mengenali diri sendiri. Selain itu, mengaitkan depresi dengan introvert adalah pemahaman yang keliru. Depresi adalah kondisi medis dan psikologis yang kompleks dan bisa dialami oleh siapa saja, tanpa memandang tipologi kepribadiannya.Â
Penting bagi kita semua untuk lebih kritis dan empatik dalam memahami dan mengenali kepribadian seseorang. Sebagai masyarakat, kita harus memahami bahwa setiap individu unik dan tidak dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam kotak label tertentu.Â
Kita harus membangun pemahaman yang lebih mendalam, bukan berdasarkan anggapan atau stereotip, tetapi dengan observasi, pengalaman, dan empati.
Pemaknaan yang Meleset
Pemahaman tentang kepribadian manusia memang tidak sesederhana memilih antara hitam dan putih. Carl Gustav Jung, seorang psikolog dari Swiss dan murid dari tokoh psikologi besar, Sigmund Freud, menggali lebih dalam ke dalam psikoanalisis untuk memahami sifat dasar manusia.Â
Konsep yang diperkenalkan oleh Jung mengenai introvert dan ekstrovert bukanlah sebuah konsep yang dangkal, melainkan sebuah wawasan mendalam tentang bagaimana seseorang memproses dan memperoleh energi dalam kehidupannya sehari-hari.
Ketika kita berbicara tentang "energi", kita tidak hanya berbicara tentang stamina fisik, melainkan juga energi psikologis atau emosional. Bagi seseorang yang berkepribadian introvert, mereka mungkin akan merasa "terkuras" ketika menghabiskan waktu yang lama di tengah keramaian atau dalam interaksi sosial yang intens.Â
Sebaliknya, bagi mereka yang berkepribadian ekstrovert, kesendirian dan ketiadaan interaksi bisa membuat mereka merasa kekurangan atas sesuatu yang dianggap penting bagi kesejahteraan psikologis . Itulah mengapa beberapa orang mencari ketenangan dengan menyendiri setelah hari yang sibuk, sementara yang lainnya mencari rekan untuk menghabiskan waktu bersama.
Salah satu kesalahan pemahaman yang sering terjadi adalah menganggap bahwa introvert adalah orang yang pemalu, tertutup, dan anti sosial, sementara ekstrovert adalah orang yang selalu riang, berisik, dan mendominasi.Â
Padahal, keduanya bisa sama-sama pandai berkomunikasi, ramah, dan memiliki kemampuan interpersonal yang baik. Bedanya terletak pada apa yang mereka cari setelah mengalami kelelahan mental atau emosi.Â
Introvert mungkin memilih untuk membaca buku atau mendengarkan musik di kamar mereka, sementara ekstrovert mungkin memilih untuk pergi ke pesta atau berkumpul dengan teman-teman.
Perbedaan ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, membawa dampak pada berbagai aspek kehidupan seseorang, mulai dari cara mereka mengambil keputusan, interaksi sosial, hingga cara mereka merespon suatu masalah.
Oleh karena itu, kita harus memahami dan menghargai perbedaan tersebut tanpa terjebak dalam stereotip yang seringkali menyesatkan. Kesadaran akan keragaman kepribadian ini akan membantu kita dalam berinteraksi dengan orang lain dan memahami diri kita sendiri dengan lebih baik.
Contoh Nyata dari Introvert dan Ekstrovert dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam kehidupan nyata, keberadaan dari kepribadian introvert dan ekstrovert dapat kita lihat dengan jelas. Mari kita ambil beberapa contoh untuk memahami lebih dalam.
Seorang teman kita mungkin adalah seorang pegawai kantor yang selalu tampak energetik dalam setiap rapat dan senang berinteraksi dengan rekan kerjanya.Â
Namun, saat akhir pekan, dia lebih memilih untuk menghabiskan waktunya dengan menulis di Kompasiana, mendengarkan musik sambil merenung, atau mungkin sekadar menikmati ketenangan di taman. Meskipun tampak ekstrovert di lingkungan kerja, dia mungkin memiliki sisi introvert yang kuat yang mencari ketenangan dalam kesendirian.
Atau seorang mahasiswa yang tampak selalu aktif dalam organisasi kampus, sering berbicara di forum-forum, namun ketika pulang ke kosannya, dia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyendiri, merenung, atau bahkan hanya tidur. Ini adalah cara bagi dirinya untuk "mengisi ulang" energinya yang terkuras dari aktivitas ekstrovert yang ia lakukan.
Sebaliknya, mungkin kita kenal seseorang yang tampak pendiam di kantor atau di kelas, namun sangat aktif di media sosial atau dalam grup diskusi online. Orang tersebut mungkin merasa bahwa interaksi sosial digital memberinya energi tanpa merasa terkuras seperti saat berhadapan langsung.
Tidak ada satu tipe kepribadian yang lebih baik daripada yang lain. Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam mengisi ulang energinya, dan yang terpenting adalah mengenali dan menghormati kebutuhan tersebut.Â
Mengenali apakah kita lebih cenderung introvert atau ekstrovert dapat membantu kita mengatur kehidupan sehari-hari, menentukan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan kita, dan tentu saja, membantu kita dalam memahami diri sendiri dengan lebih baik.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa kepribadian seseorang bukanlah sesuatu yang kaku atau tetap. Seperti sungai yang mengalir, kepribadian kita dapat berubah dan berkembang seiring dengan berbagai pengalaman dan fase dalam kehidupan kita.Â
Meskipun ada ciri-ciri dasar yang mungkin tetap, namun cara kita berinteraksi dengan dunia dan cara kita mengisi ulang energi kita bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Penutup
Dalam perjalanan memahami diri dan orang lain, penting untuk mengenali dan menghargai keragaman kepribadian yang ada. Konsep introvert dan ekstrovert yang diperkenalkan oleh Carl Gustav Jung memberikan kita wawasan mendalam tentang bagaimana seseorang berinteraksi dengan dunia di sekitarnya dan bagaimana mereka mengisi ulang energi mereka.Â
Namun, yang lebih penting daripada mengklasifikasikan seseorang ke dalam satu kategori atau yang lain adalah menghargai individualitas dan keunikan setiap orang.
Masyarakat kita sering kali terjebak dalam stereotip dan label, yang kadang-kadang menyebabkan kesalahpahaman atau bahkan prasangka. Namun, dengan pemahaman yang mendalam dan empati, kita dapat melihat melampaui label-label tersebut dan melihat esensi sejati dari setiap individu.
Setiap orang memiliki kekuatan, kelemahan, kebutuhan, dan cara mereka sendiri dalam menghadapi dunia. Menghargai dan memahami keragaman ini bukan hanya akan memperkaya hubungan kita dengan orang lain, tetapi juga membantu kita dalam perjalanan untuk memahami dan mencintai diri kita sendiri.Â
Sebagai masyarakat, mari kita bergerak melampaui label dan stereotip untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, di mana setiap individu merasa dihargai dan dimengerti.
SELESAI.
Ref:
- Jung, C. (2016). Psychological types. Routledge.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H