Ketika kita memandang layar bioskop dan menonton sebuah film, kita cenderung memfokuskan perhatian pada pemeran utama. Karakter ini menjadi sorotan utama cerita dan membawa penonton melalui berbagai rintangan dan kesuksesan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita cenderung melihat diri kita sebagai pemeran utama. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya,Â
"Apakah selama ini saya benar-benar mengambil peran sebagai pemeran utama dalam kehidupan saya? Atau mungkin, tanpa saya sadari, saya memilih menjadi pemeran pendukung?"
Kehidupan adalah pentas yang kompleks. Setiap individu memiliki cerita mereka sendiri, berjalan di jalur mereka masing-masing, dan mencoba menjadi yang terbaik dalam peran yang mereka pilih. Namun, terkadang kita terperangkap dalam keinginan untuk selalu menjadi pusat perhatian, melupakan bahwa mungkin ada saat-saat di mana kita seharusnya menjadi pemeran pendukung.
Ada kesalahpahaman umum bahwa menjadi pemeran pendukung berarti mengesampingkan impian dan aspirasi kita. Sebenarnya, menjadi pemeran pendukung bisa jadi adalah tentang memahami tempat dan waktu kita, serta menghormati perjalanan orang lain.Â
Kadang-kadang, dengan berdiri di belakang seseorang, kita membantu menerangi jalan mereka, memberi mereka kekuatan dan dukungan yang mereka butuhkan untuk meraih kesuksesan.
Menjadi pemeran pendukung berarti kita membantu orang lain mencapai potensi penuh mereka. Dengan membuka peluang bagi orang lain, kita tidak hanya membantu mereka tetapi juga memperkaya kehidupan kita sendiri dengan pengalaman dan pelajaran yang berharga.
Saya dan Kefanaan Saya
Selama ini, saya menyadari bahwa egoisme telah merasuki setiap sudut pikiran dan tindakan saya. Saya terlalu terfokus pada diri sendiri, seakan-akan dunia ini hanya berputar mengelilingi saya dan keinginan-keinginan pribadi saya. Seringkali, saya lupa bahwa ada banyak orang di sekitar yang juga memiliki perasaan, harapan, dan impian mereka sendiri.Â
Saya terjebak dalam anggapan bahwa saya adalah pemeran utama dalam setiap cerita, tanpa memberi ruang bagi orang lain untuk bersinar atau sekadar mendapatkan hak mereka untuk dihargai. Memang, penting untuk merawat diri sendiri, namun saya telah melampaui batas dengan mengesampingkan orang lain demi kepentingan pribadi saya.
Kesadaran ini tidak datang begitu saja, namun melalui serangkaian peristiwa dan refleksi yang mendalam. Beberapa kali, saya menyaksikan bagaimana orang-orang di sekitar saya merasa tidak dihargai atau dikesampingkan akibat tindakan dan kata-kata saya yang cenderung egois.Â
Hubungan yang retak, kesempatan yang hilang, dan kekecewaan yang tercipta seringkali menjadi buah dari sikap saya yang terlalu memprioritaskan kefanaan saya.Â
Terlebih, dalam upaya menjadi pemeran utama dalam cerita hidup saya, saya malah kehilangan banyak momen berharga yang seharusnya bisa saya bagi dengan orang lain. Momen-momen ketika saya seharusnya mendengar, berempati, atau sekadar berbagi tawa dan duka.Â
Saya menyadari bahwa kehidupan ini bukanlah panggung solo. Setiap individu memiliki peran mereka, dan harmoni tercipta ketika kita saling menghargai dan memahami.
Waktunya Memaafkan Diri Sendiri
Ketika kita terjebak dalam siklus penyesalan dan kesalahan masa lalu, membiarkan kenangan-kenangan tersebut menghantui setiap langkah dan keputusan yang kita buat. Mengampuni diri sendiri bukanlah tindakan sepele, namun merupakan sebuah proses pembebasan dari belenggu kesalahan yang mungkin sudah lama menghimpit hati dan pikiran.Â
Memafkan diri bukan berarti melupakan atau mengabaikan kesalahan, namun lebih kepada menerima bahwa kesalahan adalah bagian dari perjalanan kehidupan. Dengan memaafkan diri, kita memberikan kesempatan bagi diri kita untuk belajar, berkembang, dan melangkah maju dengan pandangan yang lebih positif.Â
Kita juga mengembalikan kepercayaan diri yang mungkin telah lama hilang. Jadi, tanyakan pada diri kita,Â
"Apakah saya sudah memberi ruang untuk memaafkan diri saya sendiri?"Â
Sebab, pengampunan adalah langkah pertama untuk mencintai diri dan hidup dengan penuh makna.
Epilog
Menjadi pemeran utama dalam kehidupan kita bukanlah sesuatu yang salah. Setiap orang memiliki hak untuk mengejar impian, menentukan nasib, dan menjadi protagonis dalam kisah hidup mereka sendiri. Namun, kesalahan muncul ketika kita selalu berkeinginan untuk menjadi pemeran utama dalam setiap situasi dan dalam setiap interaksi dengan orang lain.Â
Kehidupan adalah sebuah pentas yang kaya, di mana tidak setiap babak memerlukan kita untuk berada di garis depan. Ada saat-saat di mana kita harus merelakan diri menjadi pemeran pendukung, memberi ruang bagi orang lain untuk bersinar, dan mendukung mereka dalam perjalanan mereka.Â
Memahami kapan harus mengambil alih dan kapan harus mundur adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang seimbang dan harmonis, di mana kita tidak hanya menghargai diri sendiri, namun juga menghargai peran dan kontribusi orang lain dalam narasi kehidupan.
Note:
Terima kasih untuk setiap orang yang datang dan pergi dari hidup saya, dari mereka saya bisa belajar keikhlasan dan segala rasa ego saya. Terima kasih untuk setidaknya memberikan warna baru dan sudut pandang baru dari kehidupan. Semoga kamupun juga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H