Jadi pandangan umum yang tercipta bahwa cancel culture itu budaya yang negatif tercipta karena perilaku kita yang berlebihan di media sosial.
Sama seperti pisau, sebuah pisau bisa digunakan untuk memotong sayuran, daging atau buah-buahan. Namun, dari sudut pandang lain sebuah pisau adalah senjata yang bisa digunakan untuk melumpuhkan korbannya.
***
Jadi, marilah kita berperilaku bijak dan penuh pertimbangan secara khusus di media sosial. Tidak perlu berlebihan dalam menghakimi atau men-judge suatu yang kita anggap salah.
Karena bisa jadi kita sendiri merupakan pelaku dari budaya penghakiman tersebut. Hal paling utama adalah mengupayakan adanya ruang yang terbuka dalam sudut pandang berpikir.
Intinya jika ada suatu hal atau ide dan gagasan yang kita dukung, kita harus mendasari gagasan tersebut dengan fakta-fakta dan data yang ada.
Kemudian, lontarkan data dan fakta yang ada dengan argumen pendukung. Setelahnya kita tidak mempunyai kewajiban untuk memaksakan kehendak orang lain.
Biarkan gagasan atau argumen penolakan itu menjadi diskusi terbuka di kalangan masyarakat, sehingga memastikan pula sudut pandang lain yang mungkin belum kita pahami.
Nah, jika takut akan komentar orang lain atau pendapatnya, lebih baik jangan berkomentar. Karena itulah harga yang harus dibayar ketika suatu ide atau gagasan dilontarkan di ruang publik.
Jangan lempar batu sembunyi tangan ya!
SEKIAN.
Referensi:
- Communication and the Public. (n.d.). https://ores.su/en/journals/communication-and-the-public/
- Greenspan, R. E. (2020, August 6). How "cancel culture" quickly became one of the buzziest and most controversial ideas on the internet. Insider. https://www.insider.com/cancel-culture-meaning-history-origin-phrase-used-negatively-2020-7
- Kato, B. (2021, September 1). What is cancel culture? Everything to know about the toxic online trend. New York Post. https://nypost.com/article/what-is-cancel-culture-breaking-down-the-toxic-online-trend/