Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa "Cancel Culture" Kerap Dikaitkan dengan Perilaku Gen Z dan Milenial?

20 Agustus 2023   13:24 Diperbarui: 23 Agustus 2023   15:20 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melihat baik-buruknya budaya cancel culture. (Unsplash.com/@Austin Distel)

Fenomena Cancel Culture - Belakangan ini banyak istilah-istilah baru yang mungkin kita dengar dari budaya atau perilaku anak muda di zaman sekarang, salah satunya "cancel culture".

Seperti yang dilaporkan oleh The New York Post, cancel culture adalah fenomena di mana seseorang, merek, acara, atau film dihentikan atau mendapat penolakan. 

Dr. Jill McCorkel, seorang profesor sosiologi dan kriminologi di Universitas Villanova, menyatakan bahwa akar dari cancel culture adalah ketika masyarakat menghukum seseorang karena perilaku yang dianggap melanggar norma sosial yang berlaku. 

"Budaya pembatalan adalah kelanjutan atau evolusi kontemporer dari serangkaian proses sosial yang lebih berani, yang bisa kita lihat dalam bentuk pengusiran," katanya.

Dikutip dari Jurnal Communication and the Public, cancel culture terkait dengan konsep ruang publik menurut pandangan Habermas yang menganggap wacana publik sebagai wilayah kaum elit (1962). 

Budaya cancel culture muncul dari bentuk wacana publik, baik melalui platform daring maupun luring.

Lalu, mengapa budaya cancel culture erap dikaitkan dengan perilaku Gen Z dan Milenial?

Sejarah Cancel Culture

Mengutip dari Insider, budaya pembatalan (cancel culture) mulai menjadi perhatian bersama sekitar tahun 2017, setelah munculnya konsep penolakan selebriti karena tindakan atau pernyataan kontroversial. 

Profesor dari University of Michigan, Lisa Nakamura, yang mengkaji interaksi antara media digital dengan ras, gender, dan seksualitas, menjelaskan bahwa budaya pembatalan terjadi ketika seseorang, merek, perusahaan, atau gagasan tertentu dikecam dan dihentikan dukungannya oleh banyak orang. 

Merriam-Webster, penerbit kamus dan tesaurus Amerika, menghubungkan budaya pembatalan dengan gerakan #MeToo, yang muncul bersamaan dengan peningkatan penggunaan istilah ini secara online. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun