"Kak, kapan mau melatih paskibra lagi di sekolah?", tanya seorang adik yang belum lama ini menghubungi saya lewat DM Instagram.
Sejenak memori-memori lalu yang sempat terukir kembali menghampiri diri saya. Dalam situasi penuh kenangan, saya menjawab, "Iya dek, kakak coba usahakan untuk ke sana ya".
Menjadi Seorang Adik
Kisah ini diawali dengan masuknya saya pada ekstrakulikuler paskibra di masa saya SMA. Entah atas dasar apa saya memilih ekskul tersebut, satu hal yang pasti saya memang senang dengan hal-hal yang berbau nasionalisme.
Pada awal-awal menjalani ekskul paskibra rasanya seperti hendak pergi ke sebuah kandang yang dipenuhi dengan binatang buas. Tak terpikirkan sebelumnya kalau pendidikan yang diajarkan akan sekeras itu.
Ya, ketika itu saya masih di kelas X dan menjadi adik di ekskul paskibra. Ya, perlu diakui ketika itu pendidikan yang saya dapatkan berbasis senioritas.
Saya tidak berkata bahwa senioritas itu tidak baik sepenuhnya, tapi dalam praktiknya memang beberapa ilmu dan pemahaman bisa dicapai dengan senioritas.
Di lain sisi, saya juga tidak mendukung senioritas sepenuhnya. Apalagi jika senior sudah meminta melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dan tanpa alasan.
Itu sebabnya mengapa di kemudian hari saya coba menghilangkan beberapa praktik senioritas yang tidak berdasar dan tanpa alasan.
Kembali lagi ke cerita saya, selama menjadi adik di ekskul paskibra kami tidak hanya mempelajari apa itu baris-berbaris dan pengibaran bendera.
Di ekskul tersebut saya juga diajarkan tentang fisik dan mental. Fisik kami digembleng dengan banyaknya aktivitas fisik di luar baris-berbaris.