Pagi itu, Nancy Wheeler dan Jonathan Byers terbangun dengan panik. Mereka terlambat datang ke kantor media tempat magang Nancy selama liburan musim panas. Mereka bergegas memakai baju dan segera menuju ke kantor yang sama.
Di tengah perjalanan, Nancy sambil berdandan berusaha meyakinkan Jonathan untuk mengendarai mobil lebih cepat. Jonathan terlihat santai, tapi Nancy tak bisa mengambil risiko terlambat. Menurutnya, Jonathan lebih disukai di kantor hanya karena dia laki-laki, sementara Nancy merasa tak dihargai.
Kalian bisa coba lihat adegan dari klip YouTube di bawah ini.
Itulah adegan pembukaan mereka dalam season ketiga Stranger Things. Itu hanya permulaan dari masalah yang lebih besar. Di kantor, Nancy harus memberi sarapan kepada para jurnalis laki-laki, sementara mereka memandang sebelah mata padanya. Candaan seksis selalu mengisi ruangan, tapi Nancy tetap tegar.
Padahal di season sebelumnya, Nancy dan Jonathan telah melakukan karya jurnalistik mindblowing yang membeberkan kebenaran tentang Laboratorium Hawkins. Tapi sepertinya prestasi mereka terlupakan, dan Nancy harus menerima perlakuan yang tidak adil.
Alih-alih menceritakan keberhasilan perempuan di industri media, Stranger Things justru menggambarkan bagaimana jurnalis perempuan di tahun 1980-an diperlakukan.Â
Tapi, menurut penelitian dari Poynter Institute, kondisi sebenarnya tidak sesuram itu. Partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja profesional meningkat, termasuk jumlah jurnalis perempuan.
Stranger Things memperkuat stereotipe tentang jurnalis, seperti yang sering terlihat di film-film Hollywood lainnya. Jurnalis selalu digambarkan sebagai tokoh antagonis yang hanya menghancurkan karya seniman. Padahal, tak semua jurnalis seperti itu.
Namun, memang ada diskriminasi terhadap jurnalis perempuan di Amerika Serikat kala itu. Beberapa perempuan yang bekerja di Newsweek harus melawan ketimpangan kerja melalui gugatan hukum. Tindakan tersebut akhirnya memaksa pimpinan laki-laki untuk serius memperhatikan masalah keragaman.