Mohon tunggu...
Benedictus Adithia
Benedictus Adithia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kompasiana Youth Creator Batch 1 | Journalism Enthusiast

Ben mendefinisikan dirinya sebagai multiplatform storyteller, mencoba mengemas sebuah isu menjadi laporan mendalam berbasis jurnalistik menggunakan pendekatan informasi data sumber terbuka. Follow me on Instagram: @benedictus._

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Marhaenisme sebagai Gagasan Sosialis Bung Besar

3 September 2022   21:46 Diperbarui: 3 September 2022   21:58 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marhaenisme tak lepas dari Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi - (sumber: voi.id)

Pengertian Marhaenisme

Marhaeisme adalah ideologi menentang penindasan manusia terhadap manusia dan bangsa terhadap bangsa. Ideologi ini dikembangkan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno dari modifikasi ideologi Marxisme yang diterapkan sesuai dengan sifat dan budaya Indonesia. 

Soekarno membentuk gagasan Marhaenisme untuk mengangkat harkat dan martabat kaum Marhaen, yaitu mereka yang memiliki alat-alat produksi tetapi (masih) tertindas. 

Selain itu, tafsir Marhaen juga berlaku untuk semua kelompok kecil yang disebutkan, yaitu petani dan pekerja (proletariat), yang hidupnya selalu dalam genggaman orang kaya dan penguasa, borjuis atau kapitalis.

Gagasan Marhaeisme pada awalnya diambil dari nama seorang petani yaitu Marhaen yang tinggal di Indonesia dan bertemu Bung Karno pada tahun 1926-1927. Dalam versi lain, nama petani yang ditemui Bung Karno di Bandung, Jawa Barat adalah Aen. 

Dalam dialog antara Bung Karno dengan petani tersebut, yang selanjutnya disebut Mang Aen petani Indonesia pada saat itu memiliki banyak faktor produksi sendiri, termasuk ladang, cangkul dan hal-hal lain, tetapi hasil yang diperoleh hanya cukup untuk kebutuhan pokok keluarganya.

Situasi ini kemudian menimbulkan berbagai pertanyaan di benak Bung Besar, yang pada akhirnya memunculkan berbagai pemikiran dialektis yang melandasi gerakan selanjutnya. 

Kehidupannya, kepribadian yang lugu, rendah hati namun tetap memiliki semangat juang untuk memenuhi kebutuhan hidup membuat Soekarno kagum, sehingga nama petani itu telah diukir oleh Putra Sang Fajar menjadi sebuah ideologi besar rakyat Indonesia ketika itu, yang hidupnya tertindas oleh sistem.

Istilah ini pertama kali digunakan oleh Soekarno dalam resolusi tahun 1930-nya, Indonesia Menggugat untuk menggantikan istilah kediktatoran proletariat.

Dalam buku "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai", Kol. (Inf.) Soegiarso Soerojo, seorang perwira intelijen di masa Orde Baru mencurigai keberadaan petani bernama Marhaen, dan memberikan sumber alternatif untuk nama tersebut, bahwa Marhaen adalah sebuah inisial dari Marx-Hegel-Engels (tokoh ideologi sayap kiri).

Marhaenisme tak lepas dari Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi - (sumber: voi.id)
Marhaenisme tak lepas dari Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi - (sumber: voi.id)

Konsep Marhaenisme sebagai ideologi

Marhaenisme mengandung aliran pemikiran yang kukuh, sebuah ideologi yang membela rakyat dari penindasan dan pemerasan kapitalisme, kolonialisme atau imperialisme, dan feodalisme. 

Membangun masyarakat adil dan makmur, bebas dari penindasan dan pemerasan. Marhaeisme diperkenalkan pada saat pergerakan ketika kehidupan ekonomi rakyat didominasi oleh modal produktif kolonial, di mana rakyat hanya dipandang sebagai pencari nafkah saja (pekerja upahan).

Soekarno menemukan bahwa ada petani-petani kecil yang masih menguasai alat-alat produksi pertanian, yang dapat bertahan dalam batas-batasnya, sehingga hal itu digeneralisasikan sebagai kondisi masyarakat Indonesia pada saat itu. 

Sebagai ideologi, Marhaenisme menentang kolonialisme kapitalis, di mana sebagian besar alat produksi (sumber daya alam dan modal) dimiliki oleh penguasa dan investor. 

Bagi Soekarno, Marhaen tidak hanya mewakili perwakilan paling elit dari kelas bawah seperti partai-partai buruh di negara-negara maju, misalnya kaum proletar (pekerja, petani, pengrajin, dll). Soekarno menganggap Marhaen sebagai wakil dari mayoritas rakyat kecil Indonesia yang tinggal di pinggiran.

Ideologi marhaenisme adalah ideologi perjuangan sekelompok orang yang dimiskinkan oleh kolonialisme, imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme. Padahal, keberadaan mereka sangat rapuh. Mereka berada di ambang kelangsungan hidup, sebagian besar kebutuhan materi, ekonomi, sosial dan politik mereka hampir tidak terpenuhi sepenuhnya. 

Mayoritas orang Indonesia hidup dalam kesengsaraan dan menghadapi bahaya eksistensial dari waktu ke waktu. Orang Indonesia yang tidak dapat memenuhi standar hidup minimum, kehilangan standar keamanan dan keadilan dalam hidup mereka, padahal sebenarnya mereka tinggal di desa mereka sendiri.

Kesimpulan

Maka dari pada itu, Ideologi Marhaenisme adalah salah satu ideologi yang berprinsip pada sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Dalam menggambarkan sosial-nasionalisme, Bung Karno mengatakan bahwa "Nasionalisme kita harus nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan, sosio-nasionalisme adalah nasionalisme-masyarakat". Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang mencita-citakan masyarakat tanpa kelas atau masyarakat yang adil dan makmur.

Sementara itu sosio-demokrasi, disimpulkan dari ekonomi politik yang demokratis ke demokrasi yang sejahtera. "Sosial demokrasi tidak ingin melayani kepentingan gundukan kecil, tetapi kepentingan rakyat," kata Bung Karno. 

Sosio-demokrasi menginginkan kekuasaan politik di tangan rakyat. Bentuk spesifiknya adalah ketika di mana semua pekerjaan ekonomi dan politik dilakukan oleh rakyat, dengan rakyat dan untuk rakyat. Hal tersebut  seperti yang dikemukakan Soekarno dalam risalahnya yang terkenal, Mencapai Indonesia Merdeka tahun 1933. 

Sosio-demokrasi juga mendorong masyarakat untuk memperoleh alat-alat produksi dan sumber-sumber ekonomi yang tepat. Hal inilah yang mendasari terwujudnya demokrasi ekonomi. 

Perlu dipahami bahwa sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi tidak dapat dipisahkan, karena sosio-demokrasi pada hakikatnya merupakan turunan dari sosio-nasionalisme. Hanya nasionalisme sosial yang dapat melahirkan demokrasi sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun