Mohon tunggu...
Benedicto Andika
Benedicto Andika Mohon Tunggu... Mahasiswa - A student of life

Seorang pelajar dengan ide yang banyak untuk dituangkan ke dalam medium tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengedukasi Diri Tentang Konflik Israel-Palestina di Negeri Rendah Literasi Adalah Krusial

7 Desember 2023   07:54 Diperbarui: 7 Desember 2023   07:54 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ben Chawtra / Sipa via AP Images

Dengan meningkatnya Islamofobia dan anti-Semitisme di Uni Eropa dan mungkin di lebih banyak wilayah lain di tengah perang Israel-Hamas, sangatlah penting untuk tidak terjerumus ke dalam ujaran kebencian yang ditujukan kepada Muslim dan Yahudi seperti yang terjadi di Israel dan Hamas yang kerap berkembang selama konflik terus berlangsung. Selain itu, meningkatnya tren pembingkaian atau framing terhadap kelompok yang mengkritik dan 'memvonis' Israel dan IDF sebagai pihak penghancur tanah Gaza dengan menggunakan senjata anti-Semitisme akan berdampak buruk tidak hanya bagi warga Palestina, namun juga bagi warga Israel sendiri. Sayangnya, hal ini sudah menjadi kebiasaan dan prasangka setiap kali konflik yang tak kunjung berkesudahan ini terjadi lagi dan lagi.

Konflik ini membuat kedua pihak benar-benar tidak mampu memahami satu sama lain, dan lebih buruknya, kemampuan IDF (militer Israel) dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk memandang rakyat Palestina sebagai manusia sudah tidak ada lagi (jika memang dari awal ada). Akibatnya, untuk menemukan rasa empati antar pihak satu sama lain menjadi sangat sulit.

Sejarah Awal Konflik Negeri Israel dan Palestina

Sebenarnya, fundamental dari konflik ini lebih berkaitan dengan gerakan Zionis dan pemerintah Inggris, dibandingkan dengan negeri Israel. Berawal dari Deklarasi Balfour, yang diterbitkan oleh pemerintah Inggris pada tahun 1917 disaat Perang Dunia I berlangsung, menyatakan dukungan terhadap pembentukan "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi" di Palestina, setelah munculnya lonjakan besar gerakan Zionis di Barat, khususnya di Eropa.

Selama masa mandat ini, imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat pesat yang kemudian menimbulkan ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab. Penduduk Arab sangat menolak kehadiran Yahudi yang semakin meningkat serta konsep negara Yahudi. Namun akhirnya, pada tanggal 14 Mei 1948, ketua Badan Yahudi, David Ben-Gurion, mengumumkan pembentukan Negara Israel.

Penting untuk dicatat, bahwa setahun sebelumnya, PBB mengusulkan rencana yang dikenal sebagai Partition Plan, yang merekomendasikan pembentukan negara-negara Yahudi dan Arab yang terpisah, dengan Yerusalem berfungsi sebagai kota internasional, yang pada akhirnya pun diterapkan, tanpa mempedulikan keberatan dari negara-negara Arab dan orang-orang Palestina tentang konsep ini.

Jadi, sekarang kita bisa menjawab pertanyaan penting mengenai: Mengapa Palestina dan negara-negara Arab lainnya tidak setuju dengan Partition Plan tersebut?

Setidaknya ada 3 alasan utama yang menjadi penyebab ketidaksepakatan bangsa Arab mengenai rencana pembagian tersebut.

Yang pertama adalah persoalan teritorial, dimana negara Yahudi yang diusulkan menerima sekitar 55% tanah, padahal populasi Yahudi bahkan tidak mencapai sepertiga dari total penduduk di tanah tersebut. Alokasi ini dipandang tidak adil oleh para pemimpin Palestina dan Arab. Meereka menganggap Palestina sebagai wilayah mayoritas Arab.

Yang kedua adalah tentang Kota Suci Yerusalem, dimana rencana pembagian tersebu menetapkan Yerusalem sebagai kota internasional dengan status khusus, diatur oleh PBB. Namun kepemimpinan Arab sangat menentang rencana internasionalisasi dan gagasan pembagian Yerusalem.

Faktor ketiga berakar pada sentimen nasionalis yang kuat. Hal ini dapat dilihat sebagai pengaruh besar dari Pemberontakan Arab pada Perang Dunia I (1916--1918), dimana pemberontakan tersebut dipimpin oleh Sherif Hussein dari Mekah yang menginginkan kemerdekaan Arab dari pemerintahan Ottoman. Pemberontakan ini mungkin berdampak pada indoktrinasi nasionalisme Arab, sehingga mereka berkomitmen pada gagasan negara Arab bersatu di Palestina dan menentang pembentukan negara Yahudi. Selain itu, mereka percaya bahwa rencana Partition Plan tersebut tidak adil dan tidak memenuhi aspirasi nasional mereka untuk menentukan nasib sendiri.

Akhirnya, setelah ratifikasi dari Partition Plan, permusuhan antara penduduk Yahudi dan Arab meletus, yang mengakibatkan Perang Arab-Israel pada tahun 1948--1949. Penolakan para pemimpin Arab dan Palestina terhadap rencana tersebut menambah kompleksitas dan ketegangan sengketa wilayah antara Israel dan Palestina.

Pemikiran Hitam-Putih

Masyarakat Tanah Air masih didominasi oleh individu dengan pemikiran yang tak progresif serta hitam-putih, sebuah pola pikir yang membuat orang berpikir secara absolut, yang akan membagi segala hal di dunia ke dalam dua posisi (kutub) yang berlawanan, antara benar atau salah, antara Israel atau Palestina, dalam artian para pro-Palestina akan mengharapkan hilangnya bentuk negara Israel sebagai hasil dari pemikiran hitam-putih. Pemikiran seperti ini mengabaikan seluk-beluk dan kompleksitas konflik ini. Hal ini menyederhanakan dan sering kali salah menggambarkan kompleksitas variabel sejarah, budaya, dan politik yang begitu rumit dan lama. Pemikiran hitam-putih mendorong perpecahan dengan menciptakan dan memperkuat keyakinan yang tidak fleksibel. Hal ini dapat menumbuhkan polarisasi seperti pola pikir "kita versus mereka", atau dalam konteks ini, "Israel versus Palestina" sehingga membatasi komunikasi dan kolaborasi yang bermakna antara Israel dan Palestina. Karena pada dasarnya, bukanlah rakyat Israel yang menghancur-leburkan Gaza layaknya kehancuran Hiroshima dan Nagasaki oleh AS -- namun pada pemerintah (dalam konteks ini, tentu sang PM Netanyahu).

Jadi, pada dasarnya dengan kebiasaan mayoritas warga Indonesia yang terlalu mudah mengonsumsi konten kontroversial pada sosial media dan menelannya mentah-mentah, akan memicu polarisasi dahsyat antar kalangan, seperti kasus terbaru mengenai bentrokan antara massa pro-Palestina dengan massa pro-Israel di Sulawesi Utara yang menyebabkan satu orang tewas dan dua lagi terluka.

Konflik Israel-Palestina memiliki asal usul sejarah yang dalam dan diperumit oleh permasalahan seperti geografi, identitas, dan keluhan sejarah. Pemikiran hitam-putih akan menghalangi pemahaman menyeluruh terhadap isu-isu inti ini, sehingga menyulitkan intervensi dan pencarian akar masalah dasar dan solusi yang efektif. Penyelesaian konflik sering kali memerlukan fleksibilitas, kompromi, dan solusi inovatif. Pemikiran yang rasional dan analitis akan sangat mungkin mendorong terciptanya pilihan untuk bernegosiasi dan berkompromi, sehingga status quo pun dapat dirubah dan pergerakan menuju perdamaian lebih ideal tercapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun