Dengan meningkatnya Islamofobia dan anti-Semitisme di Uni Eropa dan mungkin di lebih banyak wilayah lain di tengah perang Israel-Hamas, sangatlah penting untuk tidak terjerumus ke dalam ujaran kebencian yang ditujukan kepada Muslim dan Yahudi seperti yang terjadi di Israel dan Hamas yang kerap berkembang selama konflik terus berlangsung. Selain itu, meningkatnya tren pembingkaian atau framing terhadap kelompok yang mengkritik dan 'memvonis' Israel dan IDF sebagai pihak penghancur tanah Gaza dengan menggunakan senjata anti-Semitisme akan berdampak buruk tidak hanya bagi warga Palestina, namun juga bagi warga Israel sendiri. Sayangnya, hal ini sudah menjadi kebiasaan dan prasangka setiap kali konflik yang tak kunjung berkesudahan ini terjadi lagi dan lagi.
Konflik ini membuat kedua pihak benar-benar tidak mampu memahami satu sama lain, dan lebih buruknya, kemampuan IDF (militer Israel) dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk memandang rakyat Palestina sebagai manusia sudah tidak ada lagi (jika memang dari awal ada). Akibatnya, untuk menemukan rasa empati antar pihak satu sama lain menjadi sangat sulit.
Sejarah Awal Konflik Negeri Israel dan Palestina
Sebenarnya, fundamental dari konflik ini lebih berkaitan dengan gerakan Zionis dan pemerintah Inggris, dibandingkan dengan negeri Israel. Berawal dari Deklarasi Balfour, yang diterbitkan oleh pemerintah Inggris pada tahun 1917 disaat Perang Dunia I berlangsung, menyatakan dukungan terhadap pembentukan "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi" di Palestina, setelah munculnya lonjakan besar gerakan Zionis di Barat, khususnya di Eropa.
Selama masa mandat ini, imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat pesat yang kemudian menimbulkan ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab. Penduduk Arab sangat menolak kehadiran Yahudi yang semakin meningkat serta konsep negara Yahudi. Namun akhirnya, pada tanggal 14 Mei 1948, ketua Badan Yahudi, David Ben-Gurion, mengumumkan pembentukan Negara Israel.
Penting untuk dicatat, bahwa setahun sebelumnya, PBB mengusulkan rencana yang dikenal sebagai Partition Plan, yang merekomendasikan pembentukan negara-negara Yahudi dan Arab yang terpisah, dengan Yerusalem berfungsi sebagai kota internasional, yang pada akhirnya pun diterapkan, tanpa mempedulikan keberatan dari negara-negara Arab dan orang-orang Palestina tentang konsep ini.
Jadi, sekarang kita bisa menjawab pertanyaan penting mengenai: Mengapa Palestina dan negara-negara Arab lainnya tidak setuju dengan Partition Plan tersebut?
Setidaknya ada 3 alasan utama yang menjadi penyebab ketidaksepakatan bangsa Arab mengenai rencana pembagian tersebut.
Yang pertama adalah persoalan teritorial, dimana negara Yahudi yang diusulkan menerima sekitar 55% tanah, padahal populasi Yahudi bahkan tidak mencapai sepertiga dari total penduduk di tanah tersebut. Alokasi ini dipandang tidak adil oleh para pemimpin Palestina dan Arab. Meereka menganggap Palestina sebagai wilayah mayoritas Arab.
Yang kedua adalah tentang Kota Suci Yerusalem, dimana rencana pembagian tersebu menetapkan Yerusalem sebagai kota internasional dengan status khusus, diatur oleh PBB. Namun kepemimpinan Arab sangat menentang rencana internasionalisasi dan gagasan pembagian Yerusalem.