"Kita semua berbeda, tetapi dalam perbedaan itulah kita bersatu," kata Gus Dur, tokoh pluralisme Indonesia yang begitu dihormati. Kutipan ini terasa sangat relevan saat saya menjalani Ekskursi 2024 yang diadakan oleh SMA Kolese Kanisius. Dengan tema Bertoleransi dalam Kebinekaan, saya dan teman-teman diajak mengunjungi Pondok Pesantren Terpadu Bismillah di Serang, Banten. Tiga hari yang penuh pengalaman berharga di pesantren ini memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya toleransi, persaudaraan, dan kehidupan dalam keberagaman. Â
Setibanya di pesantren, kami disambut dengan senyuman ramah dari pengurus dan santri. Pesantren ini terdiri dari bangunan-bangunan sederhana yang tertata rapi, dikelilingi pepohonan hijau yang menyejukkan. Suasana pesantren begitu damai, dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an yang terdengar dari masjid, menciptakan nuansa spiritual yang mendalam. Â
setelah perkenalan dan beristirahat, kami mengikuti tur mengelilingi kompleks pesantren. Bangunan asrama, ruang kelas, hingga dapur bersama tertata dengan rapi. Saya terkesan dengan sistem kedisiplinan yang diterapkan di sini. Seorang santri bahkan menjelaskan, "Di sini, semua kegiatan punya waktu, dari belajar hingga istirahat. Disiplin adalah bagian dari ibadah kami." Â
Malam harinya, kami mengikuti ngaji malam di masjid bersama para santri. Lantunan ayat-ayat Al-Qur'an terasa menenangkan hati. Meski tidak semuanya saya pahami, suasana khusyuk yang tercipta membuat saya merasa damai. Â
Di hari kedua, kami mengikuti pembelajaran bersama siswa SMK yang menjadi bagian dari pesantren. Kami duduk bersama di kelas, mendengarkan guru mengajar sambil berbincang dengan para siswa. Ada rasa kagum melihat semangat belajar mereka, meskipun fasilitasnya jauh lebih sederhana dibanding sekolah kami. Â
Siang harinya, kami menghadiri seminar tentang toleransi. Salah satu pembicara menekankan, "Toleransi bukan hanya soal menerima, tetapi juga menghormati perbedaan dan mencari persamaan." Pernyataan ini mengingatkan saya pada realitas kehidupan kita yang penuh dengan keberagaman. Diskusi yang berlangsung membuka perspektif baru bahwa perbedaan, jika dikelola dengan baik, justru dapat menjadi kekuatan bangsa. Â
Malam itu, kami berkesempatan menghadiri acara mingguan di pesantren yang disebut Maulid Ad'Debai. Para santri melantunkan shalawat dengan penuh penghayatan, mengisi malam dengan kedamaian. Suasana ini sangat membekas di hati saya, memperlihatkan bagaimana keyakinan bisa diungkapkan dengan indah dan penuh rasa syukur. Â
Hari terakhir diawali dengan kegiatan yang menyenangkan, yaitu pergi ke pemandian umum bersama para santri. Sepanjang perjalanan, kami saling bertukar cerita tentang kehidupan dan impian masa depan. Di pemandian, suasana akrab dan penuh canda tawa membuat kami lupa bahwa waktu perpisahan semakin dekat. Â
Setelah kembali ke pesantren, momen perpisahan terasa sangat mengharukan. Para santri memberikan kenang-kenangan berupa tulisan tangan yang berisi doa dan pesan persahabatan. Dalam hati saya berbisik, "Inilah toleransi yang sejati, menjalin persaudaraan tanpa batas agama atau budaya." Dengan berat hati, kami kembali ke Jakarta, membawa kenangan dan pelajaran yang tak ternilai. Â
Toleransi bukan hanya nilai moral yang penting, tetapi juga landasan bagi kehidupan bersama yang damai. Dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia, toleransi menjadi perekat yang menjaga persatuan. Tanpa toleransi, perbedaan mudah berubah menjadi konflik. Ekskursi ini membuktikan bahwa dialog antaragama bukan hanya mungkin, tetapi juga diperlukan untuk membangun saling pengertian. Â