Mohon tunggu...
Wulan Setyawati Hermawan
Wulan Setyawati Hermawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

choose to grow, self. 🌼

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menguak Kisah Kelam Disney dengan Culture Jamming

29 Maret 2021   22:11 Diperbarui: 29 Maret 2021   22:39 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://dewirisn.blogspot.com/2019/04/wow-teori-konspirasi-dari-film-film.html

Ketika melihat gambar tersebut, pikiran kalian mungkin akan langsung tertuju pada salah satu industri hiburan konglomerat di dunia, yaitu The Walt Disney Company. Lantas mengapa pada gambar di atas tertulis "War Dirty Tortures", yang berarti "Perang Kotor dan Siksaan"? Gambar tersebut merupakan salah satu contoh dari Culture Jamming. Sebelum kita menilik gambar tersebut lebih lanjut, kita harus memahami terlebih dahulu konsep dari Culture Jamming.

Culture Jamming merupakan salah satu bagian dari Postmodernisme. Untuk memahami Culture Jamming, kita akan menguak dasarnya, yakni terkait Postmodernisme.

Menilik Postmodernisme

Istilah Postmodernisme pertama kali muncul pada tahun 1930-an untuk mengkritik seni modern, namun eksistensinya semakin tinggi pada tahun 1960-an dalam berbagai bidang. Hadirnya postmodernisme ini merupakan bentuk kritik atas gagalnya rezim modernisme. Modernisme menyebutkan bahwa akal pencerahan (enlightenment) merupakan bentuk kemajuan pengetahuan yang mampu menunjukkan kebenaran secara universal. Namun hal ini ditentang dengan anggapan tidak ada sesuatu yang layak dan bisa memaksakan suatu kebenaran untuk pemikiran dan tindakan manusia.

Pandangan tersebut menyadarkan bahwa pemikiran modernisme yang berfokus pada suatu titik tertentu tidak mampu mengukur kebenaran yang ideal dan rasional. Hal ini mengantarkan kita pada pemikiran Lyotard terkait Postmodernisme, di mana semangat postmodernisme memberikan pandangan secara komprehensif terkait nilai yang berbeda dan menitikberatkan pada pluralisme. Inti dari postmodernisme adalah ide dari budaya, bahasa, estetika, kebebasan dalam menginterpretasikan sesuatu atau memberi 'meaning'. (Retnawati, 2016, h.120). 

Dalam Barker & Jane (2016: 230) juga dijelaskan bahwa bagi postmodernisme segala kebenaran yakni terkait dengan budaya, dan mengacu pada tingkat kesepakatan sosial dalam tradisi tertentu. Kebenaran bersifat interpretif, tergantung perspektif individu dan tidak ada batasan terkait hal tersebut. 

Selain dari aspek budaya, gagasan postmodernisme juga tidak lepas dari konteks ekonomi yang berfokus pada konsumsi individu. Postmodernisme memandang dunia secara subjektif, dalam hal ini postmodernisme menyumbangkan pikiran bahwa individu mampu berkomunikasi dan berpikir secara rasional. Hal ini ditandai dengan pemikiran Jean Baudrillard terkait adanya pergeseran produksi Barat dari produksi barang menjadi produksi informasi. (Storey, 2015).

Mengenal Culture Jamming

Istilah Culture Jamming memanglah kurang akrab di telinga kita, namun secara tidak sadar kita sering melakukan atau menemui peristiwa terkait Culture Jamming. Seperti yang telah dijelaskan di atas, Culture Jamming merupakan bagian dari pemikiran postmodernisme. Lebih tepatnya, Culture Jamming merupakan bentuk dari representasi politik postmodernisme yang hadir pada kisaran tahun 1980. Representasi ini hadir dengan memanipulasi gambar dengan tujuan menumbangkan pesan media melalui sindiran, sehingga nilainya dapat diperiksa kembali. 

Implikasi Culture Jamming sendiri mengacu pada tradisi semiotik dalam konteks yang ingin dirusak . Dalam hal ini, terdapat penyampaian makna yang bertolak belakang dari aslinya mengubah pesan menjadi anti-pesan dengan tujuan meningkatkan kekhawatiran dan menyadarkan masyarakat. (Barker & Jane, 2016, h.241)

Walt Disney: War Dirty

Seperti yang kita ketahui, Walt Disney Company merupakan salah satu perusahaan konglomerat yang bergerak di industri hiburan. Pada awalnya, Disney merupakan studio kartun sederhana yang berdiri pada tahun 1920-an. Perusahaan ini dibangun oleh Keluarga Disney, yakni Walt Disney dan saudaranya Roy Oliver Disney dengan nama Disney Brothers Cartoon Studio yang berpusat di California. Dilansir dari Encyclopedia Britannica, Perusahaan Disney merupakan salah satu konglomerat media terbesar di dunia, dengan kepemilikan terkenal seperti ABC, ESPN, Pixar, Marvel Entertainment, dan 20th Century Fox.

Sebagai salah satu pemasok dalam industri hiburan, khususnya pada kartun, Perusahaan Disney sangat digemari oleh masyarakat luas dari segala kalangan usia. Hal ini dikarenakan Disney sebagai pionir utama produksi kartun dan dongeng di dunia. Selain itu, konten yang dihasilkan begitu menarik perhatian masyarakat dengan ciri khas fairytale miliknya. Mayoritas dari produk yang dihasilkan kian booming dan terkenal, seperti tokoh pertama yang diciptakannya Mickey Mouse, kemudian ada Disney Princess, Pinocchio, Tom and Jerry, dll. 

Tentunya kalian sudah tidak asing lagi bukan? Berbagai kartun tersebut merupakan dongeng dan teman masa kecil kita yang seharusnya menghibur dan membahagiakan. Namun, tanpa kita sadari nilai yang diberikan oleh Perusahaan Disney dalam kartun dan dongengnya cukup kelam dan mendoktrin masyarakat kepada suatu hal yang negatif. Hal ini disadari oleh sebagian kelompok masyarakat dan memicu adanya kritik dalam bentuk Culture Jamming. Kritik yang diberikan yakni berupa 'plesetan' nama dari Walt Disney menjadi War Dirty.

Mengapa disebut sebagai War Dirty? Jika diperhatikan, banyak dari dongeng-dongeng Disney yang mengandung unsur kekerasan, siksaan, kekelaman, bahkan kematian. Namun berbagai nilai tersebut dikemas dengan dongeng kartun yang dipertontonkan untuk anak-anak. Salah satu contohnya adalah Mickey Mouse.

Sumber: http://dewirisn.blogspot.com/2019/04/wow-teori-konspirasi-dari-film-film.html
Sumber: http://dewirisn.blogspot.com/2019/04/wow-teori-konspirasi-dari-film-film.html

Pada gambar di atas, kita dapat melihat bagaimana kartun utama Disney menampilkan footage bunuh diri. Hal ini menjadi banyak perbincangan dengan asumsi bahwa Disney membantu negara untuk mengontrol populasi masyarakat yang kian membengkak. Dari footage tersebut, akan memotivasi dan mendoktrin orang-orang yang mengalami depresi dan masalah berat untuk mengakhiri hidupnya.

Selain itu, ada pula kartun yang sangat populer di masyarakat, yakni Tom and Jerry. Kartun tersebut menggambarkan seekor kucing dan tikus yang selalu bertengkar. Namun, banyak sekali adegan yang menampilkan kekerasan dan siksaan. Hal ini tentunya kurang pantas untuk dipertontonkan, terlebih lagi untuk anak-anak. Tidak dapat menutup kemungkinan, tayangan tersebut dapat dicontoh dan direalisasikan oleh penontonnya. Telah banyak kritik terkait hal ini, dan berbagai artikel yang memberitakan bagaimana dampak buruknya bagi psikologis individu. 

Dilansir dari tirto.id, salah satu permasalahan terbesar dari kartun Tom and Jerry yakni kartun tersebut dituding sebagai akar kekerasan di Timur Tengah. Opini ini disampaikan oleh Salah Abdel Sadek, Kepala Layanan Informasi Mesir. Baginya, serial kartun ini memberikan gagasan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang wajar karena dikemas dengan cara yang lucu. 

Disney is Cheesy

Sumber: https://www.pinterest.pt/pin/498984833686550889/
Sumber: https://www.pinterest.pt/pin/498984833686550889/

Selain adanya kritik terkait War Dirty, Disney juga menuai kritik terkait dongengnya yang dianggap cheesy. Kritik ini mengacu pada dongeng-dongeng Disney Princess yang begitu romantis dan berakhir happy ending. Disney Princess merupakan salah satu produk marketing unggulan, karena masyarakat banyak yang menyukai atau menyelami dunia dongeng. Namun hal ini tidak sepenuhnya membawa dampak positif, karena masyarakat dapat terjebak dalam stigma tersebut.

Perlu kita ketahui, beberapa kisah yang ditayangkan oleh Perusahaan Disney merupakan adaptasi dari novel berbagai penulis. Dibalik kisah yang menyenangkan tersebut, konon aslinya merupakan suatu kisah yang kelam. Hal ini banyak ditelusuri dan diungkap oleh masyarakat luas, salah satunya pada channel YouTube milik Hirotada Radifan dengan judul "Cerita Sadis Dongeng Disney", yang diunggah pada tahun 2019 lalu. Selain itu, ada pula teori konspirasi yang dijelaskan pada channel YouTube milik Nessie Judge pada 2020 lalu, dengan judul "Teori Konspirasi Kartun Disney Terser4m!". Hal tersebut menunjukkan betapa klisenya kisah yang ditampilkan oleh Disney dan menjebak masyarakat.

Lebih dari pada itu, terdapat suatu penelitian mengenai Disney Princess yang mampu mengganggu psikologis penonton. Pertama, mayoritas princess Disney yang menggambarkan perempuan dengan fisik putih, mulus, langsung, dan anggun. Tayangan seperti inilah yang membentuk standar kecantikan wanita hingga saat ini yang diukur secara fisik. Kedua, pada jurnal milik Renny Amelia (2013), yang menjelaskan terkait posisi subordinasi perempuan yang lebih rendah dibandingkan wanita. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kisah, seperti Aurora, putri tidur yang hanya dapat diselamatkan dengan cara dicium oleh seorang pangeran. Ada pula kisah Snow White, yang diracuni apel namun hanya dapat diselamatkan dengan ciuman pria. Begitu juga dengan kisah Belle, yang rela dibawa ke kastil seorang monster demi menukarkan nasib dengan ayahnya.  Berbagai kisah tersebut mendoktrin masyarakat dengan pandangan bahwa posisi perempuan berada di bawah laki-laki. Sehingga yang berhak berkuasa dan mengatur segala sesuatunya yakni kaum adam.

Nah, apakah kalian menyadari hal tersebut? Bagaimana tanggapan kalian?

Daftar Pustaka

Amelia, R. (2013). Konten male gender role dalam film animasi walt disney. Jurnal E-Komunikasi. 1(2). diakses dari media.neliti 

Barker, C. & Jane, E.A. (2016). Cultural studies: theories and practices. 5th ed. London: Sage Publications.

Buana, A. (2016). Kartun Tom and Jerry Akar Kekerasan di Timur Tengah. Tirto.id. diakses dari tirto.id

Retnawati, B. B. (2016). Perubahan pandangan modernism dan postmodernism dalam konsep konsumsi dan konsumen. Fakultas Ekonomi Universitas Soegijapranata. diakses dari journals.ums

Storey, J. (2015). Cultural theory and popular culture: an introduction, 7th ed. New York: Routledge. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun