Setelah sekian lama ditunggu tunggu, akhirnya Pepih Nugraha menulis artikel mengenai kehebohan akun PK alias GT. Pasca artikel Kang Pepih, begitu banyak kompasianer menulis penuh semangat menggelora, isinya kurang lebih sama... kuciwaaaaa....!
Berbondong bondonglah kritikan, kripik, saran, sanggahan dan kalimat protes terangkai dalam artikel para kompasianer yang cerdas cerdas. Dari sekian banyak artikel yang ditujukan meng-counter artikel PI, pada umumnya merasa takjub dan kaget dengan penjelasan PI yang panjang dan runut namun berputar putar pada adanya peluang bahwa belum tentu PK itu GT.
Tidak peduli segala fakta termasuk foto sudah jelas terpampang di depan mata, seluruh Indonesia sudah geram, dan kasus ini dibahas di berbagai media main stream, toh Kang Pepih dengan polosnya masih menulis bahwa tidak cukup bukti PK itu GT.
Saya tidak akan membahas panjang lebar lagi, baik secara logika, teori, fakta maupun bukti nyata akun Ifani kosong melompong, dan Vita Sinaga diam seribu bahasa. Saya harus menerima (meski kecewa) bahwa seorang Pepih Nugraha memang tidak memiliki semangat kuat memberantas korupsi di negara ini.
Kang Pepih lebih memikirkan tentang hak seorang narapidana koruptor untuk berekspresi lewat tulisan (medsos), meski jelas jelas sudah ada peraturan napi tidak boleh bergadget ria. Selebihnya agar ringkas dan cepat, PI melempar issue ini ketangan aparat hukum.
Padahal yang ingin diketahui segenap warga Kompasiana adalah dimana jelasnya Kang Pepih berdiri dalam gerakan bangsa memberantas korupsi?.Â
Dengan artikel PI yang menjadi headline tadi malam, saya tidak hendak memperdebatkan lagi pemikiran dan keputusan kang Pepih tentang akun Pakde Kartono.
Saya memilih untuk logis. Ketika saya menulis di Kompasiana, tentu dengan tujuan membawa kebaikan bagi sesama lewat kritik dan saran kepada pemerintah atau seruan seruan agar Indonesia menjadi negara maju yang sejahtera, aman dan damai bagi semua. Penyakit korupsi yang menggerogoti seperti kanker, sudah selayaknya diberangus dengan sikap luar biasa.
Ketentuan yang tersirat maupun tersurat di Kompasiana, secara eksplisit dapat diartikan bahwa semua penulis harus tunduk pada ketetapan dan kebijakan admin. Bahasa sederhananya lagi, kalau tidak cocok dengan apa yang digariskan admin, ya sudah tidak usah menulis di Kompasiana.
Ini bukan soal beda pendapat mengenai topik tertentu seperti yang sering terjadi di K. Dulu kasus Sitok, kemudian Pilkada. selalu ada dua kubu yang bersikeras bahwa masing masing mereka lebih benar dari yang lain.Â
Ketika sudah menyentuh korupsi, saya sangat yakin bahwa sesungguhnya kita semua bersatu hati ingin memberantas. Sayangnya dalam artikel kang Pepih tadi malam, saya benar benar tidak melihat sedikitpun ada keinginan yang sungguh sungguh dari Kang Pepih untuk berdiri sebagai patriot melawan koruptor.