Tadi pagi muncul sebuah inbox dari seorang sahabat muda yang bening menawan. Isi inbox dengan jujur menceritakan kisah hidup yang membuat sahabat saya ini takut menikah. Alasan terbesar adalah latar belakang orang tuanya yang sering cekcok dan tidak rukun, sehingga dia merasa menjadi korban dari ketidak-bahagiaan pernikahan ortunya.
Selanjutnya sahabat saya ini berkisah tentang hubungannya yang beberapa kali kandas, karena phobia berkomitmen membangun rumah tangga. Ya gak' kandas gimana kalau sang pria sudah kebelet ingin segera mempersatukan mimpi, cita cita dan tubuh dengan segala tanggung jawab dan cinta abadinya, sementara sahabat saya ini masih saja trauma untuk mengikat janji sampai maut memisahkan.
Secara khusus rekan Kompasianer wanita ini meminta agar dapat dicerahkan (duh... rupa rupanya saya punya bakat jadi senter !). Dia ingin sekali menghilangkan kekhawatiran yang berlebihan mengenai pernikahan, agar bisa menjalani hubungan yang bebas takut.
My dear friend... kalau dipikir pikir, hidup ini menakutkan!. Keluar rumah saja bisa sangat menakutkan bagi yang cenderung khawatir berlebihan. Takut begitu jalan , tiba tiba ditabrak mobil dari belakang. Mending kalau yang nabrak Porsche seri terbaru. Kalau kenyataannya yang nyeruduk Kijang kotak edisi tidak diproduksi lagi, dan begitu ditabrak justru kijangnya yang hancur berkeping keping, apa gak' nyesek tuh?.
Rasa takut itu manusiawi. Namun tidak baik jika ketakutan akan terjadinya kemungkinan yang jelek, justru menghilangkan kesempatan kita memperoleh sesuatu yang baik dan menikmati keindahan hidup ini.
Bagaimanapun juga, ada sisi positifnya seseorang khawatir atau takut menikah. Artinya ada rasa penghargaan dan respek yang besar terhadap pernikahan itu sendiri. Kalau tidak respek khan sebodoh amat hari ini menikah besok cerai. Melebihi artis dong kalau gitu....!
Latar belakang pernikahan orang tua yang tidak harmonis tentu menimbulkan lebih banyak beban dengan satu perasaan berat yang penuh was was berpikir..."jangan jangan saya nanti begitu juga?". Pada saat yang sama ketakutan ini justru menghilangkan peluang baik yang jelas jelas terlihat oleh orang lain... bahwa kemungkinan anda menjadi seperti orang tua yang pernikahannya berantakan justru semakin kecil, karena anda sendiri sudah mengalami dan mengetahui dengan lebih pasti hal apa yang membuat pernikahan mereka tidak berjalan baik.
Sederhananya, sahabat saya ini justru tidak menyadari bahwa dia sudah memiliki tameng melindungi dirinya dari kegagalan pernikahan. Jika orang tua dulu tidak akur karena ibunya terlalu banyak arisan dan keluyuran, maka sahabat saya ini bisa memastikan agar dia jangan menjadi seperti mamanya yang lebih banyak diluar rumah ketimbang mengurusi anak dan suami.
Jika keretakan rumah tangga orang tuanya karena ayahnya sering judi, mabuk mabukan dan main perempuan, maka sahabat saya ini bisa lebih hati hati agar menjauhi kelompok laki laki yang lebih semangat di malam hari tanpa penerangan yang cukup. See my points my dear friend?.
Apa sih yang pasti dalam hidup ini?. Tidak ada!. Yang pasti justru bukan hidupnya, tapi matinya. Yang saya maksudkan adalah hidup tidak datang dalam kemasan bergaransi dengan instruksi lengkap dan batterai cadangan.
Tapi satu hal yang dijamin : semua yang hidup suatu ketika akan mati. Menyeramkan garansinya khan?. Nah kalau kita semua yang hidup sadar bahwa kelak kita akan sayonara dengan dunia ini, seharusnya tidak ada lagi yang perlu terlalu ditakutkan. Jalani saja semuanya dengan lebih bijaksana, dan mempersiapkan diri dengan baik.
Sisakan tempat uintuk misteri dan kejutan hidup yang indah. Bayangkan betapa bosannya kalau semua kejadian dalam hidup ini sudah kita ketahui dengan pasti. Life is beautiful when we are thankful.
Tidak ada jaminan juga bahwa menikah dengan pria dari keluarga baik baik, yang bersekolah cukup tinggi, memiliki pekerjaan cukup baik, kita pasti akan bahagia selama lamanya. Mana kita tahu kalau setelah dua puluh lima tahun berumah tangga, ada virus rambut panjang merusak otaknya dan dia jadi mendadak bertingkah seperti sapi gila, yang menyeruduk kesana sini tanpa peduli anak istri?.
Tidak ada jaminan juga seorang dari kelas menengah, orang tuanya pas pasan, wajahnya juga cenderung remedial, pasti tidak akan sukses dalam menjalani hidup dan rumah tangga.
Yang bisa kita lakukan adalah memberi diri kita peluang yang lebih besar untuk sukses dan bergaul dengan mereka yang secara persentase memiliki banyak kecocokan dengan pribadi kita. Inilah yang barangkali disebut bibit-bebet-bobot, yang perlu dijadikan pertimbangan, agar probabilita untuk hidup nyaman lebih besar tercipta.
Sahabat saya mengatakan bahwa dia barangkali lebih bahagia sendiri dan lebih siap menanggung resiko hidup sendirian karena takut tidak bisa membahagiakan suami dan anak anak. Mungkin benar, tapi lebih mungkin juga salah. Bagaimana bisa merasakan tanpa menjalani lebih dulu?.
Pernikahan bukanlah seperangkat teori yang dinikmati dengan menjadi pengamat diluar arena. You have to be in it, to feel it.
Saya juga tidak berani menjamin bahwa kalau menikah pasti bahagia. Yang bisa saya katakan adalah hal sederhana ini:
.....Jika beban hidup terasa berat dan meletihkan... selalu lebih nyaman kita menangis dalam pelukan hangat seseorang yang mengasihi kita, dibandingkan menyandarkan kepala pada bantal seempuk apapun.
Haduh... kok jadi ingin selimutan lagi ya ? Suami... mana suami ???
Wishing you all a great week end with your loved ones.
*gambar dari http://www.equip.org/wp-content/uploads/2013/03/traditional_marriage.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H