Mohon tunggu...
Ellen Maringka
Ellen Maringka Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akun Ini Tidak Aktif Lagi dan Tidak Akan Aktif Lagi di Kompasiana. Tidak menerima atau membalas pesan di Inbox.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Memangnya yang Tua Selalu Benar? (Mitos yang Perlu Dikaji Kembali)

31 Maret 2014   13:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13963095551400129428

Kebenaran tidak mengenal usia, status ekonomi dan derajat pendidikan. Catat itu baik baik!.

Sedari kecil ketiga anak, saya didik dengan mengatakan ini berulang ulang sampai mungkin otak mereka sudah di brain washed dengan baik, sehingga sekarang saya bangga melihat mereka bisa bicara untuk diri sendiri, mengemukakan pendapat mereka meski berbeda, dan bisa nyaman mengatakan tidak tanpa harus ribet dengan apa kata orang lain.

Sifat anak memang beda beda.  Dari tiga anak , yang palingk njeplak mengcopy saya seribu persen adalah Reinhart anak kedua. Kakaknya Russell adalah titisan ayahnya seribu persen.  Sangat sabar serta santun. Jadi ketika memprotespun orang lain hampir tidak bisa jengkel terhadap Russell. Beda sekali dengan Reinhart yang matanya selalu garang bersemangat.

Krystle merupakan kombinasi unik dari saya dan suami. Yang saya kagumi sekaligus terheran heran adalah sisi ketekunannya yang besar (bisa juga diartikan ngotot), tapi selalu berbalut sikap kalem. Beda banget dengan ibunya yang kalau sudah korslet otomatis meluap.

Karena mendidik mereka dengan mengkombinasikan Eastern-Western style, saya kerap dianggap sebagai ibu nyentrik yang keluar dari mainstream dan sering harus berhadapan dengan kepala sekolah, karena anak saya , khususnya yang nomor dua sering dalam argumentasi mengatakan.."because my Mum said so, and maybe you need to talk to her..."

Ketika dia hendak masuk SMP, ayahnya menginginkan dia untuk mendaftar di sekolah Katolik yang lain , tapi dia berkeras mengikuti seleranya sendiri. Saya ingat suami  setengah kesal mengatakan, "ya sudah kalau mau ngotot, kamu urus sendiri segala macam urusan pendaftarannya."

Suami saya berpikir dengan cara itu dia mungkin akan takluk dan masuk sekolah pilihan ayahnya. Kenyataannya malah terbalik, tanpa sepengetahuan kami, dia sudah membeli formulir dan benar benar mengurus sendiri pendaftarannya sampai tuntas. Saya hanya dimintai uang untuk membayar uang masuk.

Ayahnya terkesima, saya bangga luar biasa. That's my boy!. Kecil kecil sudah mampu mendaftar sendiri, sementara anak lain harus ditemani ibu-bapak bahkan kalau perlu kakek nenek sekalian. Saya juga sedikit heran, entah apa yang diisi di kolom formulirnya, sehingga uang pendaftaran relatif sangat murah dibandingkan dulu kakaknya.

Sebulan kemudian saya menerima surat cinta dari kepala sekolah, untuk datang menghadap membicarakan urusan administrasi. Wah,  mungkin ada berkas yang kelupaan, begitu pikiran saya.

Begitu bertemu suster kepala sekolahnya, sembari menyodorkan formulir pendaftran, saya ditanyakan apakah mengisi sendiri formulir tersebut ?. Melihat tulisan disitu, bisa dipastikan itu memang bukan tulisan saya, tapi tanda tangan dibawahnya adalah asli tanda tangan saya.

Rupanya anak ini meminta tanda tangan ketika saya masih mengantuk, dan menyusunnya diantara yang PR atau berkas lain, sehingga saya tidak membaca lagi dengan jelas.

Singkat cerita, suster menjelaskan bahwa ketika memeriksa kembali formulir pendafataran, mereka tersadar bahwa ini bukan diisi oleh orang tua murid, tapi oleh si anak sendiri, dan sudah diakui oleh anak saya bahwa memang dia sendiri yang mengisi formulir tersebut karena papanya tidak mau tahu kalau dia ngotot hendak sekolah disitu.

"Memangnya ada masalah apa suster?" tanya saya penasaran. Ketika  sekilas melihat semua data data yang ditulis, rasanya tidak ada yang salah, semuanya sesuai.

Suster kemudian menjelaskan sambil menunjukkan di kolom Penghasilan orang tua,  Reinhart mengisinya dengan menuliskan "Penghasilan Tidak Tetap".

Tentu saja suster terkaget kaget, karena begitu membongkar file kakaknya (sekelas diatas dia), formulir pendaftaran diisi oleh suami,  dengan jelas menuliskan sebuah angka nominal.

Dengan wibawa tinggi dan suara lantang suster kepala sekolah bertanya,"Kenapa kamu menulis penghasilan orang tua tidak tetap, padahal ayahmu dokter?".

Tidak kalah lantang dan berwibawa, Reinhart menjawab," Justru karena ayah saya dokter dan bukan pegawai negri, penghasilannya tidak tetap. Mana ayah tahu hari ini berapa pasien yang akan berobat?. "

Dengan tenang dan tetap lantang dia  kemudian melanjutkan," lagi pula saya selalu dikasih tahu oleh mama bahwa sangat tidak sopan menanyakan penghasilan orang lain. Intinya disini adalah suster hanya perlu menanyakan apakah sanggup membayar uang sekolah yang ditetapkan?. Tidak perlu menanyakan penghasilan ayah saya. Memangnya kalau kurang saya bisa gratis sekolah disini?.

Suster kepala sekolah terpaku. Saya termangu mangu. Tidak pernah begitu bangganya saya terhadap dia , sampai sampai saya ingin melompat lompat dan berteriak "Yeeeesssss !!!  that's my boy!".

Harus saya akui bahwa suster kepala sekolah cukup fair dalam bersikap. Wah kalau marah marah juga bisa berhadapan dengan emak-nya yang sudah siap dengan amunisi baru.

Suster kemudian mengatakan,"you are right. This school is proud to have you as its student".

Tidak semua sistem yang sudah dibangun itu benar. Tidak selalu yang lebih senior itu lebih tahu dan pintar. Jika bangsa ini mau maju, anak muda harus dibiasakan untuk bersikap kritis dan bisa mengemukakan pendapat dengan baik secara logis.

Menghormati orang lain, khsuusnya yang lebih tua bukan berarti harus selalu seia-sekata dan seperti bebek mengekor keputusan dan aturan yang ada. Jika salah atau kurang tepat, milikilah keberanian untuk mengatakan hal itu. Namun perlu diingat bahwa sebelum mengatakan yang benar, sikap kita haruslah konsisten dengan perkataan.

Jangan kita sendiri curang namun selalu berkoar koar bicara tentang kejujuran...(entah kenapa saya kok jadi ingat seorang pria muda, mantan ketua Parpol yang ngoceh soal gantung di Monas ketika menulis ini...)

Jadilah generasi muda yang membanggakan bangsa dan negara. Generasi yang bisa mengoreksi kekurangan yang senior, dengan diikuti sikap kritis , berintegritas, jujur dan adil. Jadilah generasi yang membawa perubahan yang dimulai dari diri sendiri.

I love you my friends.

***foto : Koleksi pribadi (si pemberani ketika SMP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun