Mohon tunggu...
Ellen Maringka
Ellen Maringka Mohon Tunggu... wiraswasta -

Akun Ini Tidak Aktif Lagi dan Tidak Akan Aktif Lagi di Kompasiana. Tidak menerima atau membalas pesan di Inbox.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Emang Kenapa kalau Jokowi Kalah?

8 April 2014   14:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55 4910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik  tidak  bicara pada skala rasional. Semua di-blow-up, semua dikemas lebih megah dari yang sebenarnya. Kelebihan kecil dibesar-besarkan, kekurangan ditutupi, kebaikan lawan dipadamkan, kekurangan lawan dibuat jadi bombastis dan sensasional.

Aneh kedengarannya? Tidak juga. Politik sebenarnya merepresentasikan realita hidup bahwa sebagian besar manusia senang bicara mimpi dan lebih suka mengejar keuntungan besar yang tak pasti daripada berpeluh dan maju selangkah demi selangkah.

Lalu kotorkah politik itu? Kembali lagi kepada diri kita sendiri, karena suka tidak suka, langsung maupun tidak, kita berperan serta dalam perpolitikan, khususnya setiap Pemilu.

Salahkah para caleg yang berkoar-koar "menjual diri" demi memperoleh suara untuk duduk mewakili kita sebagai rakyat? Tidak juga....! Para caleg kita justru sebagian besar sedang mempraktekkan ilmu marketing secara otodidak. Tidak ada penjual kecap yang tidak berteriak kecapnya gurih dan manis.

Istilah "lu jual gue beli" artinya ada transaksi dan kehendak dua belah pihak yang tidak dipaksakan. Tidak usah ribut menyalahkan para Caleg ketika kita sendiri mudah tergiur dan hanyut dengan janji-janji perubahan yang ditawarkan, tanpa mengkaji lebih jeli. Track record dan prestasi serta gambaran kehidupan sehari-hari tetaplah merupakan indikator yang logis dan realistis menggambarkan siapa yang kita pilih.

Menjadi dewasa butuh waktu dan  pengalaman.  Seberapa  dewasanya kita ditentukan oleh pilihan hidup yang kita buat.  Apakah kita sudah belajar membedakan isi dan kemasan?  Tidak beda jauh dengan kedewasaan berpolitik.

Indonesia lambat maju karena kita kurang pintar belajar dari pengalaman. Kita terlalu cepat silau dengan janji-janji perubahan dan gaung demokrasi tanpa memahami esensinya. Jangan bicara demokrasi ketika kita hanya bisa menuntut hak tanpa melakukan apa yang harus kita lakukan.

Sudahkah kita membayar pajak dengan benar? Apakah kita bekerja dan merancang sistem yang bebas KKN serta bersikap adil? Mampukah kita mengatakan tidak pada ketidakjujuran dan memberi hak orang lain sama seperti kita memperjuangakan hak sendiri?

Kita memerlukan pemimpin yang konsisten bekerja keras dan memiliki integritas. Kita tidak memerlukan setumpuk janji-janji baru menyuarakan kesejahteraan seolah-olah itu hadiah yang bakal turun dari langit begitu kemenangan diraih.

Kita memerlukan pemimpin yang bisa memberi contoh bahwa bekerja untuk rakyat berarti bertanggung jawab dan memiliki rasa malu menggunakan fasilitas dan digaji besar dari keringat rakyatnya yang masih banyak miskin.

Kita memerlukan pemimpin yang bisa menuntun rakyat melalui perjuangan karena dia sendiri berada di medan perang dan memahami bagaimana rasanya berdarah-darah demi mencapai hasil yang pantas. Kita membutuhkan pemimpin yang marah atas ketidakadilan dan kecurangan.

Maka ketika kita memiliki kesempatan untuk memilih, jangan buang akal sehat dan hati nurani kita untuk memilih dengan rasional. Saya tidak setuju golput. Semua perubahan dimulai dari pilihan, sekecil apa pun itu.  Menggunakan hak pilih berarti kita  berpartisipasi dalam proses demokrasi yang baik.

Soal kemudian apakah kita salah pilih, semuanya adalah bagian dari pembelajaran berpolitik. Sekecil apa pun itu, ketika kita memiliki kesempatan untuk berpartisipasi membangun negara dan melakukan sesuatu demi kebaikan bangsa, seharusnya kita lakukan itu dengan penuh semangat.

Kalau Jokowi menang memangnya seluruh rakyat akan langsung sejahtera? Jangan mimpi di siang bolong! Tidak ada kesejahteraan tanpa bekerja keras dan perjuangan. Presiden sebagai pemimpin tak lebih dari membuka jalan dan memberi keteladanan kepada rakyat, dan memastikan bahwa sistem yang berjalan membuka kesempatan yang adil dan merata kepada seluruh rakyat Indonesia.

Lalu kenapa juga kalau Jokowi kalah? Biasa saja, hidup terus berlanjut, perjuangan rakyat tidak selesai hanya dengan satu kekalahan tokoh yang menjadi idola. Kita sudah terlalu sering menelan pil pahit kalah dengan bangsa lain, kalah memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi mereka yang pantas menerimanya. Satu kekalahan lagi tidak harus membunuh semangat kita dan membuat kita berhenti berjuang.

Bangsa ini terlalu besar untuk tidak lagi menghasilkan Jokowi lainnya.

Kekalahan satu Jokowi bukan merupakan akhir perjuangan, tapi ketika kita punya pilihan untuk menentukan arah nasib dan membuka kesempatan terhadap kepemipinan yang berintegritas, maka keputusan kita untuk memilih pemimpin negara, menggambarkan siapa kita dan seberapa pintarnya kita belajar dari masa lalu.

Mari memilih dengan pintar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun