Sahabat kompasianer yang saya cintai, rasanya rindu sekali hampir sebulan saya absen menulis di Kompasiana. Tidak terhitung banyaknya inbox yang masuk menanyakan kabar, sekaligus ingin memastikan bahwa saya ada dalam keadaan yang baik.
Sunguh mengharukan bahwa pertemanan di medsos seperti Kompasiana bisa terjalin tulus meski belum pernah bertemu, dan saya bisa merasakan kebaikan hati teman teman sekalian yang peduli dengan saya dan keluarga. Atas semua doa dan harapan baiknya, saya sampaikan banyak terima kasih. Kiranya kebaikan Tuhan selalu menyertai kita sekalian.
Selama absen menulis saya memang sibuk mengurusi beberapa kepentingan pribadi yang tidak bisa diwakilkan, sekaligus liburan ke beberapa tempat.
Menjadi suka cita saya untuk selalu bisa liburan pulang kampung, ke sebuah pulau kecil tempat ayah saya dilahirkan dan dibesarkan. Daerah dimana keindahan pantainya sangat luar biasa, dan disana juga masih ada beberapa sepupu terkasih yang dekat dengan saya.
Dalam suatu perbincangan hangat di sore hari antara saya dan beberapa kerabat dekat, saya mengajak mereka untuk lebih sering berkunjung ke Manado. Dijawab oleh seorang sepupu saya bahwa dia tidak begitu betah di Manado, yang sudah dianggapnya sebagai kota besar. Hahaha, kalau Manado dianggap kota ramai, saya ngeri-ngeri sedap membayangkan tanggapannya tentang Jakarta atau New York.
Ketika saya tanyakan lebih lanjut mengapa tidak betah di Manado ? Banyak hal yang bisa dilakukan di Manado yang juga menyenangkan. Sepupu saya dengan polosnya menjawab," di kota besar semua orang terburu buru dan hampir selalu harus cepat cepat tidak punya waktu. Kalaupun duduk ngopi dan santai, maka isi pembicaraanya melulu tentang tokoh politik, berita bombastis dan kebanyakan malah jadi ajang pamer pengetahuan dan harta benda."
Ah, jawaban sederhana ini begitu menyentuh hati saya. Sudah sedemikian parahkah mindset orang orang di kota besar, sehingga kita jadi terlalu sibuk dengan urusan remeh temeh kehidupan dan lupa memaknai esensi hidup yang sebenarnya?.
Jawaban singkat sepupu saya ini membawa banyak perenungan sekaligus membuat saya kembali menata skala prioritas hidup ini. Diantara hiruk pikuk pekerjaan dan kebutuhan akan materi dan status, kita sering lupa bahwa suatu saat kelak kita tidak akan diingat berdasarkan berapa banyak uang yang kita miliki, tapi kita dikenang lewat kontribusi dan perbuatan baik terhadap sesama.