[caption id="attachment_367090" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Hampir dua bulan absen menulis karena saya benar-benar sibuk mengurusi beberapa hal penting yang tidak bisa didelegasikan. Beberapa inbox yang masuk menanyakan kabar belum sempat terbalas, tapi lewat artikel ini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan kepedulian rekan Kompasianer yang ketulusannya terasa sampai di tulang. (halaaah... mudah mudahan tidak terdengar lebay....! Nyengir lebaaaar.)
Beberapa hari lalu, mobil kesayangan yang saya pakai sehari-hari (tidak usah menyebutkan merek, nanti disangka promosi), dikejar-kejar orang untuk dibeli. Hidup memang kadang aneh. Sering kita mau menjual sesuatu sampai sudah maksimum berusaha, tapi sepertinya sepi peminat. Giliran tidak ada niat menjual, kok malah yang berminat banyak, lengkap dengan agenda perbujukan setengah ngotot ingin membeli.
Karena penasaran saya bertanya kepada yang ngejar-ngejar mau membeli mobil, kenapa tidak cari mobil baru saja? Atau sono' deh kunjungi show room mobil bekas yang bertebaran dengan aneka ragam pilihan banyak jenis kendaraan. Lha iya, daripada capek-capek ngejar mobil yang justru tidak mau dijual.
Jawaban yang saya dapat dari yang berminat membeli justru membuat saya berpikir dan banyak berkontemplasi (eheeemmm!). Satu kata sederhana ini sesungguhnya adalah kunci menjalani kehidupan yang berkualitas. Yang saya maksudkan dengan kualitas hidup; mencakupi kesehatan, kebahagiaan, keseimbangan dan kecukupan lahir-batin.
"Saya memang sudah lama tertarik dengan mobilnya, karena untuk jenis mobil ini yang sudah tidak diproduksi lagi, mobil ibu ini sangat mulus, bagus kondisinya dan sangat terurus." Itu yang dikatakan calon pembeli yang sayangnya gagal beli beberapa hari lalu.
Kata "terurus" atau "diurusi" ini terus melekat dalam benak saya. Tidak semata-mata untuk urusan mobil, tapi dalam segala aspek kehidupan segalanya hanya bisa berjalan lancar dan berkualitas kalau diurus dengan baik.
Bagaimana mungkin berharap memiliki hubungan yang dekat dengan anak-anak jika ngobrol santai saja tidak pernah? Bagaimana bisa memiliki persahabatan yang langgeng kalau urusan sepele saja dibiarkan berlarut-larut tanpa ada itikad yang baik untuk berdamai? Bagaimana cinta bisa terus terjalin indah jika perhatian terhadap hal-hal kecil tidak pernah kita berikan?
Jaman modern serba canggih yang memampukan manusia untuk mengerjakan tugas dan beban pekerjaan dengan lebih cepat dan otomatis, ternyata tidak berlaku jika sudah menyangkut hubungan antar sesama secara emosional.
Persaingan dan ambisi manusia banyak mengubah pola pikir dan gaya hidup serta anggapan umum bahwa lebih banyak lebih baik. Sayangnya kita sering tidak menyadari bahwa prinsip universal tentang pergerakan alur hidup, selalu menganut asas keseimbangan. Selalu ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang memulai, ada yang mengakhiri. Ada yang lahir, ada yang meninggal.
Hidup bukan semata-mata mengenai berapa banyak tahun yang kita miliki, tapi seberapa berkualitasnya tahun-tahun yang kita jalani? Untuk apa memiliki 500 orang teman di contact list Anda, jika tidak satu pun dari mereka Anda pedulikan dan sekedar bertegur sapa menanyakan kabar? Untuk apa memiliki banyak rumah dan villa mewah, jika Anda tidak pernah menikmatinya dan hanya menghabiskan miliaran rupiah merawat itu semua tanpa pernah didiami? How absurd.
Setiap rejeki atau berkat yang kita terima, selalu ada tanggung jawab yang mengikutinya. Tidak selalu lebih banyak itu lebih baik. Pernahkah kita mengambil waktu untuk benar-benar berpikir berapa banyak dari yang kita miliki benar-benar kita nikmati? Jika yang kita miliki lebih banyak membebani dan mendatangkan sakit kepala yang tidak perlu, sudah saatnya meringankan hidup dengan melepaskan yang non esensi, dan fokus pada hal utama yang mendatangkan senyum bahagia.
Lebih baik hanya memiliki sepuluh orang teman dalam contact list Anda tapi mereka cukup peduli menanyakan bagaimana kaki Anda yang keseleo minggu lalu, apakah sudah lebih baik? Daripada 500 nama yang tidak punya waktu untuk sekedar mengucapkan selamat pagi dan apa kabar.
Mengurusi memerlukan biaya, waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya yang memang meletihkan, maka pastikan bahwa yang kita urusi adalah hal-hal yang penting dan membawa banyak kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.
Hidup harus memiliki skala prioritas dan kemampuan untuk menentukan yang mana yang menjadi tanggung jawab kita, yang mana sebaiknya tidak perlu kita campuri. Jangan menjadi ahli dalam hal remeh-temeh yang tidak penting, tapi kemudian selalu mengeluh betapa dunia ini tidak bersahabat dan selalu tidak punya waktu.
Simplify. Ada kekayaan dalam kesederhanaan. Ada ketenangan dalam cara berpikir yang tidak ribet. Kita tidak berdaya mengatur seberapa banyak tahun yang dipercayakan Tuhan kepada kita, tapi tanggung jawab kita adalah mengurusi dengan baik, setiap waktu yang diberikan kepada kita, dan mengisinya dengan banyak kebaikan.
Hava a great weekend my friends. I wish you well. Keep kindness alive!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H