Mohon tunggu...
Ashiya
Ashiya Mohon Tunggu... -

saya hanya seorang gadis belia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kebahagiaan Sejati

31 Juli 2010   15:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:25 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hahaha. Ini adalah dongeng yang saya buat sendiri saat melamun di SMA. Mungkin agak kekanak-kanakan karena saya memang masih anak-anak. Yah, saya butuh kritik dan saran, karena saya suka menulis dongeng dan ini pos saya yang pertama di kompasiana. Please enjoy :)

Fulan adalah seorang nelayan Arab berkulit hitam yang sangat raJin. Setiap hari ia pergi ke lautan mencari ikan. Akan tetapi, keberuntungan selalu tidak pernah berpihak padanya. Ia pergi melaut sejak subuh menjelang sampai adzan magrib berkumandang, tapi tak satu pun ikan yang berhasil ditangkapnya. Semakin lama, hidupnya semakin susah. Ia memiliki anak dan istri yang harus diberi makan sedangkan ia tidak punya apa-apa untuk dimakan. Para tetangganya yang baik selalu memberi makan dia dan keluarganya tiga kali sehari agar mereka bisa bertahan hidup, namun Fulan tidak mau dikasihani terus-terusan.

Suatu ketika, saat ia hendak pergi melaut, ia berdoa, “Ya Allah berikanlah hambamu ini rezeki yang cukup.” Lalu dengan langkah yang mantap, ia pun pergi melaut. Berjam-jam ia terapung-apung di lautan, tapi tak satu pun ikan yang bersedia mampir ke jaringnya. Kemudian ia bersumpah jika kali ini ia tidak mendapatkan apa-apa, ia akan beralih menjadi seorang pencuri. Maka ia melempar jaringnya sekali lagi, tanpa diduga, jaringnya terasa berat. Fulan mendapatkan semangat baru, ia tarik dan tarik terus jalanya sampai ia tahu apa yang tersangkut di jala itu. Bukan ikan yang tersangkut di situ, tapi sebuah lampu usang yang memiliki tanda cap Nabi Sulaiman AS.

Fulan sangat kesal, ia pun berhenti mencari ikan dan bertekad untuk melakukan aksi pertamanya sebagai pencuri. Fulan membawa lampu itu pulang karena kebetulan ia tidak memiliki lampu di rumahnya. Saat ia tiba di rumah, hari sudah gelap. Ia pun duduk di atas bangku kecil, mencoba membersihkan lampu barunya. Dengan sebuah lap, ia pun mengeringkannya.

Tiba-tiba, malam menjadi lebih gelap dari biasanya, satu-satunya penerangannya yang berupa lilin tiba-tiba mati walaupun angin tak bertiup. Fulan pun merasa ketakutan. Bulu kuduknya meremang dan ia pun membisu. Segumpal asap putih tiba-tiba muncul keluar dari lampu yang dipegangnya. Karena ketakutan, ia pun melempar lampu tersebut ke atas tanah. Tiba sebuah Jin muncul dihadapannya. Jin itu sangat menakutkan. Berwarna hitam dan bertaring dengan tawa yang menakutkan.

Fulan pun jatuh terpaku.

“Siapa yang berani mengeluarkanku dari lampu ini?” Jin itu bertanya seraya tertawa. Lalu dengan penasaran ia melihat Fulan yang terduduk terpaku dihadapannya.

“Hai, manusia, apakah kau yang mengeluarkanku?” tanyanya lagi.

Fulan yang ketakutan menjawab, “Ampun wahai Jin yang sangat perkasa, aku tidak bermaksud mengeluarkanmu dari sana. Jangan sakiti aku maupun keluargaku.”

“Justru, kebalikannya wahai manusia, aku sangat berterimakasih karena sudah hampir seribu tahun Nabi Sulaiman AS mengurungku di dalam situ.” Jin itu kemudian tertawa lagi. “Sekarang kau boleh meminta tiga permintaan apapun yang kau mau. Tapi aku tidak bisa mengabulkan dua hal: membuat orang jatuh cinta dan menghidupkan orang mati.”

“Kau akan memberikan apapun yang aku mau?” tanya Fulan.

“Apapun kecuali dua hal itu.”

Fulan merasa sangat senang. Ia pun berpikir keras tentang apa yang akan dimintanya. Lalu timbulah sebuah ide.

“Aku ingin menjadi raja dari seluruh raja di seluruh dunia,” ujar Fulan dengan nada yang mantap.

“Permintaan bagus,” jawab Jin Hitam. Seketika semua pun berubah. Rumahnya berubah menjadi istana yang sangat besar, pakaiannya terbuat dari kain emas tenunan para penenun yang sangat handal, dan koin-koin emas memenuhi lantai marmernya yang mengilap. Hari ini, Fulan bisa tidur dengan perasaan yang sangat damai dan bahagia.

Keesokan harinya, menteri-menteri mulai bermunculan. Para penari datang bersama pelayan-pelayan. Kehidupannya pun berubah total. Setiap hari ia makan enak tanpa harus bekerja. Ia bisa mendapatkan apapun yang ia mau. Para penari menari setiap hari untuk menghibur dirinya. Istrinya pun tidak perlu memasak lagi, dan anaknya pun bisa mendapatkan pendidikan dari cendekiawan-cendekiawan terkenal masa itu.

Kemudian, tibalah seuatu hari ketika ia merasa bosan dan tidak lagi bahagia. Makanan yang paling enak terasa hambar di lidahnya dan penari-penari pun sudah tak sanggup menghibur dirinya lagi. Ia pun memanggil Jinnya lagi untuk kali kedua.

“Apa yang kau inginkan kali ini, Tuanku,” ujar sang Jin Hitam.

“Aku merasa tidak bahagia, wahai Jin. Aku ingin bahagia, maka buatlah aku terus tertawa agar aku bahagia.”

Sejak saat itu, Fulan selalu tertawa. Semua hal ia anggap lucu, semua perkataan seakan-akan lelucon, semua tindakan seakan-akan seperti gerakan badut pelucu. Setiap hari ia tertawa terus-menerus sampai ia merasa lelah. Tapi ia tak bisa berhenti tertawa karena semua hal selalu membuatnya tertawa. Ia kemudian tahu bahwa walaupun ia tertawa, ia tak bahagia. Bahkan ia lelah terus tertawa.

Ia pun memanggil Jinnya lagi.

“Ada apa, Tuanku?” ujar sang Jin.

“Ahahaha, wahai Jin, hahaha, aku tertawa, hahaha, tapi aku tidak bahagia, hahaha,” bahkan saat berbicara pun ia tak bisa berhenti tertawa.

“Lalu apa keinginanmu kali ini ini, Tuanku?”

“Aku hanya ingin kebahagiaan, hahaha, berilah aku kebahagiaan.”

“Apakah Tuan yakin?” sang Jin memastikan.

“Hahaha, aku yakin, hahaha.”

“Baiklah, ini dia,” ujarnya.

Tiba-tiba semua kembali normal. Tak ada istana yang megah, tak ada penari-penari cantik yang gemulai, tak ada pelayan, tak ada harta, dan ia pun tak terus-terusan tertawa. Yang ada hanya rumahnya yang dulu, jalanya yang dulu, juga kapal nelayannya yang dulu. Fulan pun kebingungan.

Ia pun bertanya kepada sang Jin, “Kenapa kau memberiku kemiskinan yang dulu?”. “Kemiskinan tak akan membuatku bahagia, wahai Jin. Ia membuatku lelah dan merana. Apakah kau menipuku?”

“Wahai manusia yang tidak pernah puas. Kebahagiaan itu adalah hasil dari sebuah pencarian yang panjang. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Kau harus mencari dan berusaha untuk mendapatkannya. Aku tidak bisa memberikanmu kebahagiaan. Tapi aku bisa memberimu sesuatu yang bisa membuatmu bahagia. Ini adalah lahan bagimu untuk mencari yang kau sebut sebagai kebahagiaan. Bekerjalah dan jangan berputus asa, maka kau pun akan bahagia pada akhirnya tanpa harus berlimpah harta,” ujar Jin.

“Tapi aku dulu sudah bekerja keras, wahai Jin.”

“Ya, tapi kau tidak bersabar. Bersabarlah dan tunggulah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersabar.”

Lalu Jin itu pun menghilang.

Sejak saat itu, Fulan kembali bekerja dengan penuh kerja keras dan kesabaran. Setelah lama ia berjuang, akhirnya ia pun mendapatkan kebahagiaan sejati yang ia impikan. Kebahagiaan tanpa harta berlimpah di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun