Musyawarah mufakat yang selama ini menjadi sebuah tradisi melekat di paripurna beralih bentuk jadi panggung makian nan penuh aksi koboi.
Menyetir kalimat mantan Presiden RI yang booming lewat istilah 'Kok Repot' Alm Gus Dur pernah berujar "parlemen kita layaknya sebuah pangung 'taman kanak-kanak' yang dapat disaksikan langsung oleh rakyat melalui media televisi".
Pangung taman kanak-kanak itu pun kian dipenuhi kerikil. Terlebih usai sang presiden menuding lembaga tersebut sebagai salah satu dalang penghalang dan penghabat laju program kerjanya dalam membangun Indonesia hebat.
Gelisah melihat para menteri satu persatu mengeluarkan kebijakan yang dianggap 'aneh-aneh' oleh publik. Selang beberapa hari usai dilantik dan disumpah, Menetri Dalam Negeri pilihan Jokowi dan tim transisi yakni Tjahyo Kumolo menjadikan lembaran kartu tanda penduduk (e-KTP) sebagai pijakan pertama program kerjanya.
Pengurus teras DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini dianggap 'aneh' oleh sebab kolom agama di KTP boleh steril alias sah dikosongkon demi menghormati ragam penganut kepercayaan yang tinggal di bawah atap negara Republik Indonesia.
Bagi Tjahyo Kumolo kolom agama di KTP tidaklah begitu penting dengan alasan politik seperti yang ia sampaikan secara resmi di media massa. Dan itu tidak aneh aku Tjahyo menjawab kegelisahan publik.
Mantan Presiden SBY dan puluhan mantan mentri kabinentnya juga gelisah. Gelisah karena beredar kabar bila rumusan pembangunan negara jangka panjang yang sudah digariskan dengan tanda bintang, tiba-tiba terhapus entah dengan sengaja atau tidak oleh pemerintahan jokowi.
Program nasional rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda yang selama 10 tahun digesa oleh pemerintahan SBY, satu misalnya.
Konon kabarnya, kata sejumlah pakar, impian bertautnya pulau Jawa dan Sumatra demi satu tujuan seperti melecut kesejahteraan rakyat lewat multiefek player positif dari pergerakan roda ekonomi di kedua pulau itu pun sirna.
Di mata para sufiisme, kerikil-kerikil tajam yang melambung dan jatuh lagi ditabuh Jokowi di atas gendang rakyat adalah sebuah awal yang tinggal menungu senja menjemput. Dan memang benar, gelisah rakyat bukan gelisah 'mereka'. ***