iPhone Kalian di-judge sama teman-teman di circle Kalian?
Guys, pernah gak hanya karena gak punyaDi tengah dunia di  mana semua orang udah punya gadget, kepemilikan iPhone telah berkembang menjadi semacam "patokan" kelas sosial, seolah-olah siapa pun yang gak punya dianggap ketinggalan atau bahkan dianggap "gak mampu". Masyarakat pun mulai menilai "kelas" seseorang dari merek dan jenis gadget yang mereka gunakan. Istilah seperti "Gak Punya iPhone, Miskin?" mungkin terdengar berlebihan, namun nyatanya, stigma ini diam-diam menghantui banyak orang, terutama di kalangan anak muda yang kerap terpapar media sosial dan standar tren global. Standar baru ini semakin menekan banyak orang untuk membeli iPhone hanya supaya mereka dapat diterima di lingkungan sosialnya. Lantas, apakah benar nilai seseorang di masyarakat hanya ditentukan gadget bermerek? Yuk, kita bongkar bareng-bareng fenomena ini!
IPhone merupakan salah satu produk andalan dari Apple yang menggemparkan dunia saat pertama kali diperkenalkan pada tahun 2007. Seiring berjalannya waktu, fungsinya pun meluas: iPhone tidak hanya lagi digunakan sebagai sarana komunikasi, namun juga kerap kali dijadikan standar untuk mengukur status sosial seseorang di mata masyarakat. Status sosial adalah sebuah konsep dalam sosiologi yang menggambarkan kedudukan relatif seseorang maupun kelompok dalam suatu struktur sosial. Bukan hanya sekedar label, status sosial juga merupakan sebuah konstruksi sosial kompleks yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita, mulai dari interaksi sehari-hari hingga peluang yang kita miliki. Melalui status sosial, masyarakat dapat dibagi menjadi berbagai lapisan berdasarkan kekuasaan, kekayaan, hingga prestise. Nah, di sinilah letak peran gadget seperti iPhone dalam mencerminkan status, bukan sekadar sebagai teknologi, melainkan sebagai simbol dari sebuah konstruksi sosial yang bernilai tinggi (Muallif, 2024).Â
Wah, jadi penasaran, kok bisa ya iPhone berubah jadi simbol status sosial?
Fenomena ini erat kaitannya dengan budaya konsumerisme yang kian berkembang, di mana keinginan untuk punya barang bermerek menjadi bagian dari gaya hidup. Budaya konsumerisme merupakan pola perilaku dan sikap masyarakat yang cenderung mengutamakan konsumsi barang atau jasa secara berlebihan, seringkali melampaui kebutuhan dasar (Putri, 2020). Hal ini terlihat jelas pada fenomena "prestise gadget", di mana orang merasa perlu memiliki iPhone atau gadget bermerek lainnya agar diterima dalam pergaulan, terlepas dari kebutuhan sebenarnya akan fungsi dari perangkat tersebut. Di bawah pengaruh konsumerisme, individu terdorong untuk mengejar tren terbaru, kadang tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau kondisi finansial mereka. Gadget yang awalnya alat bantu komunikasi kini berubah menjadi simbol status dan kesuksesan. Ketika perilaku konsumtif ini menjadi bagian dari gaya hidup, dampaknya bisa berupa pengeluaran berlebihan hingga menciptakan tekanan finansial bagi mereka yang merasa harus memiliki barang mahal demi pengakuan sosial. Pada akhirnya, budaya konsumerisme membentuk pola perilaku yang berfokus pada kepemilikan materi demi mendapatkan penerimaan sekitar (Herwanto, 2014).
Di samping itu, popularitas iPhone juga dipengaruhi oleh brand-image yang dibangun oleh Apple loh!
Apple sendiri memahami psikologi konsumen dan menggunakan berbagai strategi untuk memperkuat produk kesayangan mereka. Dengan harga tinggi yang jarang di diskon, Apple menegaskan eksklusivitas iPhone sebagai barang prestisius, sementara fenomena antrian panjang saat peluncuran produk memanfaatkan Social Proof, seolah menegaskan bahwa produk ini layak dimiliki oleh semua orang. Melalui pendekatan ini, Apple berhasil menciptakan persepsi bahwa iPhone adalah produk dengan kualitas tinggi dan bergengsi, sehingga menjadi bagian dari identitas sosial pemiliknya. Media dan pemasaran juga memiliki peran yang signifikan dalam memperkuat persepsi bahwa iPhone adalah simbol status. Dengan berbagai kampanye dan influencer di media sosial, iPhone ditampilkan sebagai produk eksklusif yang digunakan oleh mereka yang "berkelas." Kehadiran iPhone di berbagai platform media serta sorotan dari figur publik membuatnya semakin diinginkan, mengesankan bahwa produk ini tidak hanya sekedar gadget, tetapi juga bagian dari gaya hidup. Persepsi ini terbentuk melalui paparan yang terus menerus, mendorong masyarakat untuk membeli produk tersebut agar diakui sebagai bagian dari kelompok sosial elite (Shaw, 2020).
Terlepas dari stigma yang telah hadir di masyarakat, merek gadget semestinya tidak bisa dijadikan standar mutlak dalam menentukan nilai seseorang. Ketergantungan pada simbol status seperti iPhone justru mengaburkan kualitas sejati yang menentukan harga diri individu. Menilai orang lain hanya berdasarkan merek yang mereka miliki menciptakan pola pikir dangkal, sementara nilai seseorang jauh melampaui apa yang tampak di permukaan. Sebaliknya, harga diri sejati terletak pada karakter dan integritas masing-masing. Marilah bersama-sama menggeser fokus, meninggalkan penilaian materialistik yang bersifat fana dan menghargai kualitas yang sesungguhnya.
Referensi:
Herwanto, P. (2014) PENGARUH PERSEPSI MEREK MEWAH, PENGARUH SOSIAL, SIFAT SOMBONG TERHADAP NIAT BELI PADA APPLE IPHONE DI SURABAYA, SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PERBANAS SURABAYA. Diakses pada 30 Oktober 2024, dari http://eprints.perbanas.ac.id/606/1/ARTIKEL%20ILMIAH.pdfÂ
Muallif (2024) Universitas Islam An Nur Lampung, Jenis-Jenis Status Sosial. Diakses pada 30 Oktober 2024, dari  https://an-nur.ac.id/blog/jenis-jenis-status-sosial.htmlÂ