Mohon tunggu...
Mirwanda
Mirwanda Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Berpikir

Tidak berlindung dibalik pemakluman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ditanya "Kapan Hamil?"

5 Mei 2020   20:33 Diperbarui: 6 Mei 2020   05:51 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku mungkin hanya sebagian yang beruntung, karena hanya mendapatkan pertanyaan seperti itu. Temanku, (sebutlah namanya Biru) mendapat pertanyaan dari yang mengaku seorang Ibu. Beginilah bunyinya: "Ruu, naha can boga budak wae?" -- pertanyaan itu ia anggap lelocon karena setelahnya ia tertawa terbahak bahak sambil menasehatinya cara berhubungan suami istri yang baik dan ikhlas. Sebenarnya apa yang dipikirkan dan diinginkannya? Tidakkah ia sadar, bahwa apa yang dikatakan hanya akan menyakiti hati.

Memang benar, sudah menjadi daur hidup: lahir - sekolah - lulus - menikah - melahirkan - mengurus anak - mati. Tapi heyy, semua punya waktunya masing-masing. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, aku sama sekali tidak semakin termotivasi, tetapi malah membuat beban pikiran. Kami baru menikah, dua bulan lalu tepat satu tahun. Apa yang salah bila belum punya anak. Kalapun usaha kami masih kurang, kami tetap dan akan terus berproses. Kami baru menikah, masih menikmati menjadi sepasang suami istri. Sedang belajar bagaimana caranya menyenangkan hati dan menurunkan ego satu sama lain. Sedang belajar bagaimana mengerti satu sama lain. Masih belajar baaaaanyak hal lagi.

Hamil bukanlah sebuah kompetisi dimana siapa yang hamil duluan, dialah pemenangnya. Bagaimana mungkin dijadikan kompetisi ketika hasil yang diinginkan bukan lagi kita yang menentukan, tapi ada Allah Swt. di balik semuanya. Ada pasangan yang tanpa perlu menunggu lama, begitu menikah sudah bisa langsung hamil. Tapi, tak sedikit juga yang harus melakukan banyak cara untuk bisa hamil. Jadi, tolong jangan bandingkan dengan mereka yang hamil lebih dulu.

 Anak tidak hanya dikandung, dikeluarkan, kemudian diurus tanpa pertanggungjawaban. Anak adalah titipan, anak adalah salah satu penuntun kita menuju syurga-Nya, bila kita mendidiknya atas dasar keimanan dan ketaqwaan. Tapi ingat, anak bukanlah satu-satunya hal yang akan menjadi kesempuraan dan kebahagiaan sebuah keluarga. Belum hadirnya anak dalam keluarga bukan suatu kesalahan, bukan suatu kecacatan. Ini soal waktu dan kesiapan. 

Aku yakin, Allah bukannya tidak percaya padaku dan suami dengan hadirnya seorang anak untuk saat ini, tapi aku yakin Allah percaya bahwa aku dan suami mampu untuk sejenak bertafakur, mengevaluasi diri dan menikmatinya hanya berdua. Masih berdua. Mendo'akan dalam diam akan lebih baik dibandingkan berkomentar atau bertanya yang membuat hati terluka.

Terimakasih teman, dengan semua pertanyaan itu aku jadi lebih bisa menghargai orang lain, dan lebih bisa menahan untuk bertanya tentang hal-hal yang bersifat pribadi. Keingintahuan lebih terkendali dengan tujuan ngaji diri dan menjaga hati.

Sebenarnya tulisan ini ingin sekali aku bacakan pada saat pengumuman upacara senin pagi atau speaker masjid dan posyandu, tapi jang naon? Asa teu kudu. Hhhaaa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun