Mohon tunggu...
Mirwanda
Mirwanda Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Berpikir

Tidak berlindung dibalik pemakluman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ditanya "Kapan Hamil?"

5 Mei 2020   20:33 Diperbarui: 6 Mei 2020   05:51 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesering apa kalian ditanya kapan lulus, saat memasuki semester akhir? Setelah lulus, sesering apa kalian ditanya kapan menikah? Daaan setelah menikah, sesering apa kalian ditanya seperti:

        "Udah isi belum?"

        "Tos namper teu acan?"

        "Asa alit ayeuna mah, nuju ngandeg?"

        "Kapan hamil? Si Mawar yang nikah bulan lalu udah positif, lho!"

Itu hanya sebagian pertanyaan budaya yang dilontarkan hampir semua orang yang kujumpai setelah menikah, tentu dengan tujuan menanyakan a.k.a peduli. Aku yakin, daaan sangat yakin. Jutaan wanita di negara yang ramah ini mendapat pertanyaan yang sama bahkan sebelum usia pernikahannya mencapai dua bulan sekalipun. Takjub dengan perhatian mereka.

Entah mengapa, diantara tiga tahapan pertanyaan budaya dalam hidup ini, pertanyaan kapan hamil menjadi pertanyaan yang.....? apa yaa....? (sulit dijelaskan). Terlebih, pertanyaan dengan kontinuitas yang tinggi oleh orang yang tidak dekat dengan kita membuat terasa cukup mengganggu.

Setelah itu, apa yang biasa kalian jawab dengan pertanyaan itu? Apakah hanya dengan senyuman manis atau jawaban seperti "Teu acan Bu, pidu'ana". Perlu diketahui oleh sodaraa, bahwa jawaban minta do'a bukanlah jawaban retoris yang basa-basi, tapi ini benar-benar minta do'a. Atau kalian jawab dengan: "Kedah guguru ka Ibu heula rupina mah." 

Sepertinya jawaban itu pun belum membuat mereka puas, karena besok dan besoknya lagi mereka akan terus bertanya sampai mereka bosan. Damn, sayangnya mereka memang tidak pernah bosan bertanya. Selama masih belum melihat aku pusing dan mual, tidak sholat karena menstruasi, perut membuncit, payudara mengembang, napsu makan bertambah,  maka akan muncul nasihat seperti, "Minum jamu ..... (blablalaa)", "Minum susu...(blalala)", sampai pada posisi berhubungan suami istri yang harus...(blablabla) supaya sperma cepat masuk pada ...(blablabala......). 

Aku sangat menghargai dan mengikuti beberapa saran yang diberikan. Namun kemudian, bukannya termotivasi, tapi aku merasa tertekan dengan tuntutan society yang mengharuskan aku hamil saat itu juga. Bukannya tidak mengindahkan nasihat-nasihat itu, tapi aku merasa masih butuh waktu.

Karena setelah hampir enam bulan perutku belum membuncit, maka ada yang bertanya "Tos diparios ka dokter teu acan?". Bila jawabanku "teu acan", maka aku akan disarankan untuk segera diperiksa. Bila jawabanku "atos", maka akan muncul pertanyaan baru yang berbunyi, "Tapi sehat pan nya? Kumaha saur dokter? Diparios duanana teu?". Apakah aku juga harus menjawab semua pertanyaan itu? Kita tak pernah tahu usaha apa yang telah dilakukan seseorang. Periksa ke dokter, mengikuti program hamil, mengonsumsi obat herbal, minta do'a ke Pa Ustadz, cek laboratorium, dan mungkin banyak lagi yang dilakukan, apakah harus beritahukan seluruhnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun