Nanti akan ada tabung kaca lho yang bisa kita nonton film apa saja sesuka kita. Kita bisa lihat orang-orang di Amerika, di Belanda dan di mana saja di seluruh dunia dari tabung itu.
Itu kenangan topik obrolan saya semasa kecil saat tivi baru dikabarkan akan muncul di Indonesia awal tahun 60-an, maklum tivi hitam putih pertama baru mengudara di Amerika sendiri tahun 1947. Kendala kecepatan produksi, infrastruktur pendukung, distribusi dan kesiapan sumberdaya manusia membuat barang-barang canggih masa itu butuh waktu tahunan untuk tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Ketika muncul pertama kali 24 Oktober 1962, TVRI menyiarkan pembukaan Asean Games langsung dari Gelora Bung Karno, Senayan. Selanjutnya waktu tayang meningkat tiga kali seminggu, dari pagi hingga siang dan malam hari daei jam 06:00 sampai jam 09:00. Film yang saya tonton adalah Superman hitam putih disusul kemudian dengan film kartun the Mighty Mouse lalu The Lucille Ball, semuanya hitam putih. Menyusul serial yang sangat populer, cerita keluarga The Little House In The Prairie dibintangi Michael Landon.
Jangan berpikir bisa pindah-pindah saluran, karena cuma satu, Televisi Republik Indonesia (TVRI) dengan seruan popler saat muncul: "Dari Senayan Jakarta Televisi Republik Indonesia mempersembahkan bla.. bla... bla.." Merekalah yang berjasa memperkenalkan nama televisi di Indonesia. Andai kata mereka mengatakan: "Dari Senayan Jakarta, Tabung Kaca Republik Indonesia...bla... bla..." Maka saya sangat yakin bahwa sekarang televisi Indonesia pasti kita sebut Tabung Kaca Republik Indonesia.
Terlepas kemudian nama ini tidak relevan lagi saat munculnya tabung kaca berteknologi cairan Dioda semacam LED atau LCD. Well, cerita-cerita teknologi masa lalu ini saja kalau diceritakan ke generasi Now mereka akan ternganga bahkan sampai ileran mendengarnya.
Jadi tidak usah ceritakan tentang Si Kancil yang cerdik mencuri metimun pak Tani. Ini cerita tidak bermoral yang mengajarkan kecerdikan itu identik dengan jago nyolong. Lihat aja akibatnya sekarang anak-anak yang dulunya suka diceritakan tentang Si Kancil pada cerdik nyolong uang negara. Kalau ketangkap juga tidak malu-malu nyengir kayak kancil di depan kamera.
Ceritakan saja bagaimana dulu kita antusias menunggu siaran iklan yang punya waktu tayang khusus bertajuk "Manasuka Siaran Niaga." Lalu setelahnya kita meniru gaya iklan untuk ditebak oleh lawan bermain kita sebagai suatu permainan yang mengasyikkan.
Itu lebih bermanfaat untuk melengkapi kepingan puzzle di kepala mereka tentang perkembangan teknologi. Soalnya anak perempuan saya sampai sekarang tidak percaya kalau waktu sekolah dulu saya tidak punya handphone.
"Lalu bagaimana ayah menghubungi teman-teman untuk kerja PR bareng?" Dan ada lagi komentar tak kelah serunya, "Bagaimana Ayah bilang ke rumah kalau terlambat pulang?"
"Tapi mbah Google sudah ada kan Yah waktu itu? Pasti sudah ada, kan pasti susah kerja PR kalau tidak dibantu sama mbah Google!" celetuknya bernada memaksa. Lalu? Haruskah saya bertengkar dengan anak saya sambil mengatakan semua itu tidak ada. Tidak Ada Google, Yahoo, Youtubu, sms, Instagram, Line, Whatsapp yang penuh komentar sok tahu dan lain sebagainya.
Saya khawatir anak saya berimajinasi Ayahnya hidup di dalam gua sambil pake celana cawat seperti Flinstone. Karena semua piranti keras dan piranti lunak yang sekarang menjadi keseharian mereka memang tidak ada di zaman saya. Broro-boro handphone, telpon rumah saja butuh waktu setahun lebih mengajukan permohonan pemasangan baru dilayani.