Minggu lalu saya menulis artikel di Kompasiana tentang ramalan ilmiah dari sejumlah lembaga pemantau cuaca dunia, bahwa Jakarta akan tenggelam pada suatu saat bila tidak ada upaya yang signifikan untuk membendung banjir dari laut (rob) dan banjir akibat curah hujan.
Salah satu kota yang jelas-jelas disebut bakal karam bila permukaan laut naik hingga ketinggian 7 meter di tahun 2100 adalah kota London, Inggris, selain Los Angeles, Amerika Serikat. Selain curah hujan, peningkatan volume air laut dari es yang mencair di West Antartic dan Greenland adalah penyebab utama dari kemungkinan karamnya kedua kota tersebut. Publikasi resmi mengenai hal ini dapat dilihat di situs National Geographic.
Mengapa London dan Los Angeles yang disebut dan tidak memasukkan Jakarta? Bukan karena Jakarta tidak terancam, tetapi Jakarta masih relatif aman dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut (dpl), dibanding London dan Los Angeles yang ketinggiaannya hanya rata-ratanya 3 meter dpl.
Meluapnya sungai the Thames, salah satu sungai utama yang melintasi kota London dituding sebagai penyebab utama banjir, kedua adalah pemerintah Inggris, dan yang ketiga adalah Otoritas Pengelola Kota London dan Sekitarnya (Greater London Authority) yang dianggap lalai mengantisipasi perubahan iklim global yang sejak tiga puluh tahun terakhir menjadi perhatian para pakar dan pemerhati lingkungan.
Padahal pantai kota London yang rawan, termasuk muara sungai the Thames telah dilindungi oleh bendungan the Thames Barriers yang diresmikan penggunaannya sejak tahun 1982. Bendungan ini membentang sepanjang 3 km dimana pintunya bisa dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan. Awalnya bendungan ini sebenarnya ditujukan untuk mencegah banjir rob yang sebelumnya sering melanda pesisir kota London. Belakangan bendungan ini juga berfungsi sebagai pengendali volume air sungai the Thames yang kita ketahui selain menjadi simbol atau landmark kota London juga merupakan sarana transportasi air yang vital.
Jadi bagaimana banjir tiba-tiba bisa melanda kota London? Sebenarnya mirip dengan yang membuat banjir di Jakarta tahun ini lebih lama dibanding tahun sebelumnya. Permukaan air laut memang telah mengalami peningkatan permukaan, dan pada saat yang sama volume sungai the Thames melimpah akibat kiriman air dari hulu, termasuk salju yang berada di sepanjang aliran sungai the Thames di hulu yang ternyata mencair lebih cepat dari dugaan. Karena laut sedang pada posisi pasang tertinggi, air sunga the Thames tidak bisa segera mengalir ke laut dan akhirnya luber kemana-mana merendam sebahagian besar kota London. Ini mirip dengan fenomena sungai Ciliwung yang tidak bisa segera ke laut akibat pasang tinggi di laut.
Bayangkan pantai Jakarta dan muara sungai Ciliwung yang telanjang bulat, dan andaikan ketinggian rata-rata Jakarta sama dengan kota London yang hanya rata-rata 3 meter dpl, maka jangankan halaman Istana Negara, seluruh perabotnya mungkin sudah hanyut digelontor banjir. Pemerintah kolonial Belanda tahu itu, makanya dari arsip pemerintah kolonial Belanda diketahui bahwa mereka ternyata telah merencanakan bendungan di pesisir Batavia yang akan menyerupai bendungan kota Amsterdam tahun-tahun terakhir sebelum harus hengkang dari bumi Pertiwi.
Berarti Pemerintah Indonesia juga seharusnya sudah tahu ancaman itu sejak lama. Buktinya pemerintahan Jokowi bisa mendapatkan dokumen mengenai rencana pembangunan bendungan raksas yang disebut Jakarta Giant Sea Wall (GSW) yang dibuat oleh pemerintah sebelumnya. Kalau bendungan the Thames Barriers telah dioperasikan sejak tahun 1982, ternyata the Jakarta GSW barudirencanakan mulai dibangun tahun 2020.
Tapi, Gubernur DKI Jakarta, Jokowi pada suatu kesempatan seminar di Universitas Indonesia kampus Depok, dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan Jakarta GSW harus dimajukan, sedapat mungkin dimulai tahun 2014 ini. Bagi saya, keputusan ini cukup mengejutkan. Â Darimana Jokowi mendapatkan masukan yang begitu strategis. Pasti dia mempunyai pemahaman lingkungan yang sangat baik atau memang tipikalnya tidak puas hanya sekedar memegang dokumen tapi lebih pada tindakan.
Jadi, daripada menyalahkan Jokowi atas banjir yang terjadi di Jakarta, sementara jelas-jelas pola banjir yang sama terjadi di berbagai daerah, Manado contohnya, bahkan juga di mancanegara, kota London misalnya, saya memilih berterimakasih karena Jokowi ngotot untuk mempercepat pembangunan Jakarta GSW. Masa depan Jakarta sangat tergantung pada keberhasilan pembangunan Jakarta GSW ini. Mari kita kawal bersama, mudah-mudahan bisa rampung di tahun 2020 sehingga Jakarta yang bebas banjir, baik dari pasang air laut maupun dari curah hujan dapat terwujud.
Lihat saja apa yang dialami walikota London, Boris Johnson yang bulan-bulan terakhir ini sibuk mempersiapkan Olmipiade di kota London. Meski bersedih karena kegiatan persiapan Olimpiadenya harus tertunda, entah sampai kapan, tetapi masyarakat Inggris sejauh pemantauan saya di berbagai media sosial Inggris, justru menunjukkan empati, boro-boro memaki. Masyarakat Inggris memang menyalahkan pemerintah pusat yang dianggap lalai mengantisipasi perubahan iklim global, namun mereka kebanyakan memilih memperbincangkan untuk segera menaikkan tepian sungai the Thames agar peristiwa yang terjadi tahun ini tidak lagi berulang tahun depan. Bagaimana dengan Jakarta? (Ben)
** Penulis adalah pemerhati lingkungan hidup, kebijakan publik dan pengadaan barang/jasa berwawasan lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H