Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ada Apa dengan Kesalahan Ahok?

28 Januari 2014   14:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada apa dengan Ahok? Ada apa dengan Cina? Ada apa dengan Sentilan-Sentilun? Ada apa dengan Metro TV? Mengapa sentilan Butet yang mengatakan Ahok Cina dan Kristen harus disensor dengan suara ‘beep’ yang nyaring seakan mengatakan dua kata yang meluncur dari mulut Butet tak layak tayang seperti kata n**er (negro) atau sh*t di TV Amerika sana. Kalau tak layak tayang kenapa tidak digunting saja? Apakah dimaksudkan untuk mengejek sebahagian pemirsa yang belum bisa menerima eksistensi dan aktualisasi diri minoritas di era demokrasi politik sekarang ini?

Saya yakin Ahok juga mungkin tidak suka dengan sensor itu, atau mungkin terhadap tayangan itu secara keseluruhan.Kesan saya tayangan Sentilan-Sentilun pada Senin 27/01 pekan lalu itu terlalu lebay.  Mengapa saya mengatakan demikian? Sepanjang saya mengenal sosok Ahok berkiprah di pemerintahan di kawasan Timur Indonesia sana hingga jadi anggota DPR Pusat dan kini jadi Wakil Gubernur, dia telah memperlihatkan bahwa ia seorang yang kesatria.

Dia sangat tidak suka kalau dikaburkan apalagi mengaburkan latar belakangnya. Ia nyaman  dan bangga dipanggil Ahok, meskipun nama Basuki lebih terkesan samar-samar latar belakang etnik dan agamanya.

Metro TV selain sebagai TV berita dan hiburan, juga saya yakin tetap mengemban misi sebagai media edukasi. Harus berani mengkonfrontasi penontonnya dengan fakta berat bahwa kita sebagai bangsa terdiri atas beragam suku, agama dan etnis, salah satunya ada etnis Cina dan ada agama Kristen yang juga adalah pemilik sah negeri ini. Fakta ini harus disampaikan secara santun dan elegan, bukannya malah mempertontonkan sikap pengecut dan memelihara kemunafikan dengan sensor ‘beeep’.

Jim C. Collins, seorang pakar manajemen dan organisasi dalam bukunya yang terkenal ‘Good to Great’ mengartikan sikap gentlemen sebagai keberanian untuk confront the brutal fact, alias keberanian menhadapi fakta yang berat, termasuk dalam urusan adanya mayoritas, minortas di negeri ini. Bukan kesalahan Ahok mengapa dia menjadi Cina dan Kristen, bahkan baginya boleh jadi itu adalah berkah, sehingga tidak perlu ada kata-kata bahwa kesalahan Ahok kalau menjadi Presiden ada dua, yakni karena dia Cina dan Kristen. Bahkan merupakan keluarbiasaan bagi bangsa ini kalau bisa menerima kenyataan itu dan tidak menghalangi Ahok atau siapapun yang berada pada posisi minoritas untuk menggapai impian tertinggi di negerinya sendiri. Bukankah bangsa Amerika dipandang luar biasa karena pada akhirnya bisa menerima Barrack Husein Obama, minoritas, berkulit hitam, putra seorang muslim berkebangsaan Nigeria perantauan bernama Husein Obama, sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-44.

Saya juga sadar bahwa bukan karena kehebatan saya sehingga saya menjadi etnis dan agama mayoritas di negeri ini. Saya harus mengatakan bahwa ini sebatas fakta, dan begitulah adanya (given).  Fakta ini tidak bisa menjadi legitimasi mutlak bagi saya untuk lebih merasa berhak menjadi ini atau itu. Semuanya akan terpulang seharusnya kepada seberapa cerdas dan taktis usaha saya untuk menggapai impian saya sendiri.

Sebaliknya, bukan karena kelemahan Ahok sehingga berada pada posisi etnis dan agama minoritas di negeri ini. Ini hanyalah fakta yang harus diterima, dijalani dan disyukuri. Tetapi tidak dengan demikian dia kehilangan kesempatan atau hak untuk menggapai impiannya yang tertinggi di negerinya sendiri. Kalau dia bermimpi suatu hari untuk menjadi Presiden di negerinya sendiri bernama Indonesia, seharusnya itu bisa dia capai tergantung seberapa keras dan taktis dia berjuang dan tidak perlu terhalang hanya karena kebetulan dia minoritas dimana dia sendiri tidak menghendakinya.

Bangsa Indonesia bisa memilih untuk selalu bersembunyi dan takut menghadapi fakta berat keberagaman anak bangsa ini dan mempertahankan superioritas mayoritas atas dasar dalil apapun. Tetapi kita mungkin hanya tumbuh menjadi bangsa yang ‘Good’ alias baik-baik saja. Hanya bila kita berani menghadapi kenyataan berat bahwa kita berada dalam keberagaman, ada mayoritas dan minoritas dan ada hak azasi setiap orang untuk mewujudkan impian tertingginya di negerinya sendiri, termasuk mereka yang tergolong kaum minoritas, saya berkeyakinan Indonesia akan tumbuh menjadi bangsa yang ‘Great’ alias luar biasa.

Saya terinspirasi oleh cerita Ahok yang sebenarnya bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama, bukan karena kami sama-sama berzodiak cancer, Tapi pertarungan hidupnya menegakkan nasionalismenya dalam posisi minoritas, membuat saya harus mengintrospeksi diri.

Pada beberapa kesempatan, sebagaimana yang pernah saya saksikan di Youtube, Ahok menceritakan bahwa ia pernah dinasehatkan oleh ayahnya agar dia mau masuk ke dalam pemerintahan untuk membantu rakyat miskin yang ada di sekitar mereka.

Ahok mencoba menyadarkan ayahnya dengan menghadapkannya kepada brutal fact bahwa itu mimpi siang bolong bagi kaum minoritas. Ahok sampai berkata:”Bagaimana mungkin rakyat Belitung Timur mau memilih saya? Muka minyak babi kayak gini?” kata Ahok yang membuat ayahnya marah besar. Ahok tidak salah menyodorkan brutal fact kepada ayahnya bahwa sepertinya mustahil masyarakat Belitung Timur yang berpenduduk 93% muslim mau memberikan kepercayaan kepada seorang keturunan etnis Tionghoa, beragama Kristen pula untuk mengambil peran penting di dalam pemerintahan.

Namun ayah Ahok kukuh pada keyakinannya bahwa suatu hari kelak rakyat Belitung Timur akan meminta Ahok menjadi pemimpin mereka asal dia tetap konsisten tulus membantu masyarakat yang bisa dibantunya. Dan keyakinan itu terbukti, Ahok akhirnya terpilih menjadi Bupati Belitung Timur yang prestasinya selama satu periode tidak bisa dipandang sebelah mata.

Ahok sudah rampung menyelesaikan pertarungan psikologisnya sebagai kaum minoritas. Ia merasakan dirinya bukan lagi bagian dari minoritas dan juga tidak harus berpura-pura menjadi bagian mayoritas. Ia utuh sebagai putra Ibu Pertiwi. Baginya kini adalah bagaimana bekerja dengan cerdas, tulus dan bersih untuk negerinya. Kalau Jokowi akhirnya terpilih sebagai Presiden, maka dapat dipastikan bahwa secara sistem Ahok akan menjadi DKI-1, bukan orang pertama sih dari kalangan minoritas yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta karena sebelumnya ada Henk Ngantung yang juga pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Kalau setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta, yang mudah-mudahan sukses, lalu Ahok mau maju menjadi calon Presiden RI, saya berharap tidak ada lagi suara ‘beep’ dari tivi manapun yang mewawancarainya, tak lain karena dia telah membuktikan lebih merasa Indonesia daripada kebanyakan dari kita, termasuk saya. Ia telah berpesan kepada istrinya bahwa kalau dia gugur dalam pengabdiannya kepada bangsanya, dia minta dituliskan pesan di batu nisannya “Mati Adalah Keberuntungan”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun