Karena saya baru bergabung di komunitas Kompasiana, jadi suka iseng berkelana ke lapak kompasianer lain. Jangan dibilangin kepo, saya sedang mencoba mencari hubungan antara rentang waktu keanggotaan kompasianer dengan produktivitas. Selain itu, saya juga mencoba melihat hubungan antara produktivitas komentar seseorang dengan produktivitas menulisnya.
Hasilnya? Entah mengejutkan anda atau memang sudah terprediksi, bahwa dari 50 kompasianer yang saya kunjungi halamannya secara acak, saya mendapatkan gambaran bahwa ternyata kompasianer yang sering berkomentar memiliki produktivitas tulisan yang jauh lebih tinggi daripada yang jarang atau tidak pernah berkomentar. Jadi sepertinya ada hubungan yang berbanding lurus antara kesukaan berkomentar dengan kesukaan menulis. Atau kalau dibalik, berbanding lurus antara kesukaan menulis dengan kesukaan berkomentar. Penyebabnya mungkin karena yang rajin menulis juga harus rajin menanggapi komentar-komentar atas apa yang telah ditulisnya. Atau kemungkinan lain karena sering berkomentar – yang berarti membaca tulisan orang lain – akhirnya tergoda untuk menulis juga.
Sementara hubungan antara usia keanggotaan kompasianer dengan produktivitas tulisan, tidak menunjukkan korelasi yang positif. Ada yang telah menjadi kompasianer sejak tahun 2010, tulisannya masih bisa dihitung dengan jari. Sementara banyak yang keanggotaannya baru sekitar setahun bahkan kurang, tulisannya mencapai ratusan, bahkan ada yang ribuan.
Temuan ini mendorong saya untuk sedikit memberikan motivasi kepada rekan-rekan kompasianer yang membaca tulisan ini yang kebetulan masih enggan untuk nimbrung menulis, untuk dapat lebih giat menulis. Menurut penelitian yang dilakukan seorang ahli syaraf Amerika, maaf lupa namanya, menemukan kenyataan bahwa orang yang suka menulis dan/atau membaca memperlihatkan kecenderungan lebih lambat mengalami pikun.
Sementara peneliti lain dari Texas, Amerika,Prof James W. Pennebaker, Ph.D., seorang pakar psikologi sosial menemukan bahwa dengan menulis secara rutin, membuat seseorang membiasakan diri membuka file lama yang ada di dalam ingatannya, sehingga neuron otak yang tersentuh oleh pencarian memori si penulis akan tetap dalam posisi aktif. Salah satu penyebab pikun adalah karena neuron otak, terutama pada bagian terjauh - ingatan jangka panjang - mengalami pemadaman secara perlahan-lahan karena jarang dipakai.
Selain itu menurut Pennebaker, menulis secara ekspresif dapat meningkatkan kesehatan mental dan menyembuhkan penyakit kejiwaan yang diakibatkan oleh trauma masa lalu. Temuan ini mendorong tumbuhnya sejumlah pusat rehabilitasi di Eropa dan Amerika dengan menjadikan aktivitas menulis ekspresif sebagai medium.
Mungkin pembaca mengenal seorang pakar hukum di negeri ini bernamaProf Dr. J. E. Sahetapy, SH, MA, sering tampil sangat vokal di acara Indonesia Lawyer Club (ILC), karena kebiasaan membaca dan menulis yang intensif, ingatannya terhadap hal detil masih sangat kuat di usianya yang menjelang 82 tahun (lahir di Saparua, Maluku, 6 Juni 1932).
Tak jauh berbeda adalah Prof Dr. Ing. Bachrudin Jusuf Habibie, Presiden Indonesia ketiga, di usianya yang sudah menjelang 78 tahun (lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936) masih memiliki kemampuan mengingat yang sangat tinggi bahkan masih aktif menulis sampai sekarang.
Protes yang sering disampaikan orang yang saya ajak menulis, katanya tidak semua orang dilahirkan bisa menulis karena menulis itu adalah bakat. Suatu anggapan yang sangat salah menurut saya, karena menulis pada hakekatnya adalah keterampilan. Karena keterampilan berarti bisa dipelajari, dan akan semakin baik tergantung seberapa sering dilakukan dan dilatihkan dengan cara yang benar.
Saya yakin, berkaca pada teman-teman sekolah saya di Skotlandia sana, tampaknya semuanya bisa menulis, dan saya lihat tidak hebat-hebat amat. Mungkin karena mereka mendapatkan proporsi tugas menulis di sekolah yang lebih banyak dibanding sekolah di Indonesia yang lebih menekankan pada pelajaran hitungan dan hapalan, makanya keterampilan menulis mereka lebih terasah. Apalagi mereka tidak bisa berharap mendapatkan seseorang yang menyediakan jasa penulisan paper atau desertasi di sekitar sekolah mereka.
Tanpa bermaksud menjelekkan kondisi di negeri sendiri,saya pernah bertemu setidaknya beberapa kali dengan orang yang menawarkan mengerjakan tugas kertas karya saat saya mengikuti kursus penjenjangan di salah satu lembaga diklat ketika masih menjadi pegawai negeri sipil dahulu kala. Itu yang saya tahu, tapi menurut seorang rekan yang saya kira tidak perlu saya sebutkan namanya, bahkan ada orang sanggup menuliska tesis, skripsi, disertasi atau apapun namanya dengan bayaran tertentu, cukup diberikan bahan yang akan ditulis.
Mungkin kondisi yang saya gambarkan di atas sedikit berpengaruh terhadap animo menulis di negeri ini. Memang sih kalau ada jalan pintas, meski harus nginjak rumput atau halaman tetangga, lebih menggoda untuk dilewati daripada jalan resmi yang panjang dan berliku. Akibatnya, saat gelar sudah melekat di belakang nama apalagi bersusun dua atau tiga, produktivitas menulisnya tidak bisa melambung. Bahkan karya akhirnya untuk mendapatkan gelar sesedikit mungkin terpublikasi, mungkin takut ketemua kembarannya.
Saya tidak akan memperpanjang soal ‘kemalasan’ intelektual tadi. Lupakanlah, apapun yang terjadi anda harus bisa menulis dan mempublikasikannya agar pada saat anda meninggalkan alam fana ini, ada sesuatu yang tersisa dari otak yang diberikan Tuhan kepada kita, baik itu sekedar tulisan pendek, buku atau apapun yang bila bermanfaat akan menjadi amalan yang tak putus-putusnya mengalirkan pahala.
Kuncinya, bila anda masih tergolong pemula, jangan berharap tulisan yang bagus menurut ukuran yang biasa kita baca. Mulailah menulis, ekspresikan apa saja yang anda pikir, rasakan, lihat di sekitar anda atau di dalam diri anda. Tulislah sesuatu yang pernah anda alami, sama ketika anda menuturkannya. Cobalah menulis minimal setengah halaman A4 sehari. Tempatnya dimana saja, kapan saja. Kalau hanya ada selembar kertas tissue, dan tempatnya (maaf) di kamar buang hajat, gunakan kesempatan itu. Nanti bisa diketik ulang di komputer bila anda ada waktu. Karena sesederhana apapun tulisan anda, pasti ada keunikan di dalamnya yang tidak dimiliki orang lain.
Bukankah kalau pertama kali kita belajar berenang kita tidak harus memikirkan segala macam gaya, apakah gaya dada, kupu-kupu, punggung dan sebagainya. Yang penting tidak karam seperti batu saja sudah bagus. Intinya anda harus belajar mengapung dengan nyaman dan aman. Pelampung boleh diikatkan ke badan. Artinya dalam menulis anda juga boleh menggunakan berbagai bahan yang tersedia asal jangan dijiplak mentah-mentah.
Jangan takut atau malu mempublikasikan tulisan anda, apakah di halaman jejaring sosial, di blog sendiri atau di blog komunitas seperti Kompasiana ini. Aturan Kompasiana sangat lunak soal konten, yang penting jangan kurang dari 70 huruf atau kira-kira dua paragraf pendek saja dianggap sudah pantas untuk ditampilkan.
Takut dikritik, dicaci, dianggap tulisan anda tidak berbobot? So what gitu loh! Emang kuping anda hilang sebelah kalau dikritik? Enjoy aja lagi. Bersiaplah untuk menyiapkan sekeranjang kata maaf dan terimakasih untuk membalas setiap kritikan dan komentar miring yang anda terima dari pembaca. Buat diri anda seperti penggorengan teflon, apapun yang digoreng gak ada yang lengket. Bilaslah semua kritikan dengan senyum, pasti akan lewat, jangan membalas apalagi membela diri, tidak perlu.
Karena keterampilan berbahasa dikendalikan otak kiri, dimana otak kiri sangat terstruktur, kalkulatif, menghitung resiko, tertata, maka saat anda mulai menulis peran otak kiri sangat dominan menghambat. Dia terus mengirimkan sinyal tentang tata bahasa, pilihan kata, struktur, resiko kalau nanti tulisan anda di baca orang, jadinya proses menulis tersendat-sendat dan sama sekali tidak menyenangkan. Makanya sangat perlu diimbangi dengan otak kanan, tempat dimana kebebasan, imajinasi, keindahan dan sebagainya bersemayam. Akhirnya menulis bisa menjadi lepas, bebas menyenangkan dan membahagiakan.
Pesan saya, menulislah secara ekspresif dan imajinatif seperti ketyika anda bertutur yang melibatkan gerakan tangan, gerakan bola mata, kepala dan sebagainya. Dengan cara itu, selain menyembuhkan karena melegakan bagi siapa saja yang melakukannya, juga sekaligus menjadi kesempatan melatih otak kiri dan kanan secara seimbang, sehingga pada saatnya anda akan memiliki kemampuan menulis yang lebih baik dan benar tata bahasanya, kata J.S Badudu, dan isinya juga bisa membuat hidup lebih hidup.
Selamat berkarya, semoga tulisan singkat ini ada manfaatnya. (Ben)
Referensi:
Writing to Heal: A guided journal for recovering from trauma & emotional upheaval [James W. Pennebaker]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H