Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Tengah Lukisan Alam (Episode 1 Novel: Okid Princesa)

20 Februari 2014   10:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

----------------------------------------------0O0----------------------------------------------

RINGKASAN

Okid Princesa, adalah episode pertama dari trilogi Sang Penabur yang mengisahkan seorang bocah perempuan yang dipanggil Upik, pencari anggrek hutan yang ditinggal ibu dan ayahnya semenjak kecil. Hingga usia sembilan tahun, ia bahkan belum punya nama selain dipanggil Upik, nama panggilan untuk anak perempuan yang belum punya nama. Ayahnya yang meninggalkannya begitu saja semenjak ditinggal mati istrinya, dan anak laki-lakinya, adik Upik, yang sangat ia dambakan, membuat Upik harus menjalani kehidupan bersama kakeknya di desa yang juga sebatang kara.

Meski tumbuh tanpa bimbingan seorang ibu, Upik tidak merasakan kekurangan, karena kakeknya senantiasa melimpahinya kasih sayang yang tulus meskipun dalam kondisi ekonomi yang sangat sederhana.

Sebuah cita-cita akhirnya muncul di kepala Upik setelah sempat belajar membaca, menulis, berhitung serta budi pekerti selama lima bulan dari seorang mahasiswi, Sugiharti, yang kebetulan sedang melakukan tugas sosial dan penelitian skripsi di desa Dulang, tempat dimana okid bersama anak-anak perempuan seusianya melewatkan hari-hari yang penuh keceriaan, meski tidak ada satupun sekolah dasar yang resmi.

Cita-cita Upik menjadi guru muncul begitu saja di benaknya setelah merasakan indahnya kehidupan bila pandai membaca dan menulis. Dan itu berkat sosok yang disebutnya ”guru”, ibu Sugiharti. Perempuan inilah yang juga berjuang meyakinkan kakek Upik agar ”murid” kesayangannya itu mendapatkan haknya memperoleh nama yang baik, dan Upik akhirnya mendapatkan hak itu, jadilah namanya Okid Princesa.

Seperti kata pepatah, guru akan datang saat murid sudah siap, itulah yang terjadi pada Okid yang suatu hari bertemu seorang kakek di hutan yang kemudian menjadikannya ”murid” dan memberinya penugasan khusus, mengembangbiakkan lima pohon anggrek langka yang sarat makna bagi kehidupan Okid selanjutnya.

Perjalanan nasib yang menurut Okid bukan suatu kebetulan, melainkan suatu pilihan impian yang diperjuangkan sungguh-sungguh, mengantarnya hingga ke perguruan tinggi dan menjalani profesi sebagai pengusaha anggrek sekaligus pembicara publik yang terkenal.

Meskipun sudah terbilang sukses, tapi Okid menyimpan satu impian yang tidak pernah diutarakannya kepada siapapun, menemukan sepotong mozaik kehidupannya yang hilang, sang ayah, yang Okid yakin masih hidup tapi kini entah berada di mana.

Selama membaca novel motivasi ini, pembaca akan terus tergelitik mempertanyakan siapa dan dimana ayah Okid, sipakah ”guru” yang ditemui Okid di hutan, siapa Sugiharti, wak Wacik, mak Ijah, Artha dan sejumlah figur yang ada di sekitar kehidupan Okid. Dan siapakah Sang Penabur, apa hubungannya dengan kekak Okid dan pilihan-pilihan hidup apa yang akan diperjuangkan Okid selanjutnya.

Bagian pertama dari Trilogi Sang Penabur ini adalah novel yang sebaiknya tidak dilewatkan oleh setiap remaja putri, karena inilah novel remaja yang mencoba menawarkan falsafah hidup yang dapat mengatasi kegamangan kebanyakan remaja yang mencari identitas di usia pancaroba.

----------------------------------------------0O0----------------------------------------------

EPISODE 1

Suatu pagi di hutan hujan Borneo. Kehidupan di belantara yang tersohor ini baru saja menggeliat. Okid, gadis dari desa di pinggiran hutan yang baru tiba di tepi sebuah sungai kecil yang airnya bening, membasuh wajahnya beberapa kali. Meskipun ia sudah mandi di rumah, tapi membasuh wajahnya dengan air sungai adalah seperti ritual yang menyatukan jiwa Okid dengan sungai ini.

Murai batu bersiul dari puncak pohon seakan menyapa Okid yang kemudian bercermin di beningnya air. Kabut tipis tampak masih mengapung di beberapa bagian permukaan sungai kecil yang mengalir dari pegunungan di belantara itu. Semilir angin pagi membuat airnya beriak kecil berirama laksana getaran tali kecapi yang mengikuti irama yanyian burung murai. Pepohonan tak mau ketinggalan memberi sentuhan di atas kanvas lukisan alam yang indah itu. Dilepasnya dedaunan kering ke permukaan air yang menciptakan riakan kecil melingkar-lingkar hingga ke tepi.

Inilah lukisan dan simfoni alam yang sering membuat Okid duduk berlama-lama di tepi sungai sambil memegang tali sampannya. Seperti pagi ini, Okid masih memilin-milin tali sampan itu seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Rupanya Ia hanya tidak sampai hati mengusik keindahan alam yang begitu mempesona, meski sebenarnya ia telah melihatnya hampir setiap pagi.

Sambil mengetatkan gelung rambutnya yang hitam legam, Ia berdiri dan memungut kampak kecil di sampingnya lalu menyelipkannya ke pinggang yang dillit kain motif kembang-kembang. Dayung kecil yang tadi merasa terabaikan karena hanya disandarkan ke pohon, kini kembali bersemangat, siap mengacak-acak air demi sampan Okid dapat melaju. Dorongan untuk segera mendapatkan anggrek hutan yang sedang berbunga, membuat Okid bergegas memeriksa semua perlengkapannya. Bekal makan siang yang dibawanya dari rumah, diletakkan ke dalam keranjang anyaman kulit bambu yang ada di tengah sampan kecilnya.

Setelah menghabiskan beberapa potong ubi manis bakar yang dibawanya dari rumah, Okid perlahan mendorong sampannya masuk ke air. Ujung sampan yang kecil dan ramping itu segera menyatu dengan sungai menjadi bagian dari lukisan alam. Okid mengatur posisi duduknya senyaman mungkin sebelum mengayunkan dayungnya dengan satu ayunan ringan. Sampan kecil dengan gadis kecil rupawan di atasnya memang tidak akan membuat lukisan alam jadi cacat, bahkan kehadirannya justru menghidupkan lukisan itu. Makanya air sungai pun seperti sengaja melonggarkan genggamannya agar sampan itu melaju dengan tenang.

----ooo----

Okid teringat beberapa tahun lalu pernah menemukan anggrek sangat unik yang kebetulan sedang berbunga di salah satu tempat di tepian sungai ini. Mendapatkan anggrek hutan unik, apalagi sedang berbunga, adalah impian setiap pencari anggrek hutan seusia Okid di desa-desa pinggiran hutan, khususnya desa Dulang tempat di mana Okid berdua dengan kakeknya tinggal di sebuah rumah kecil yang asri.

Pagi yang indah dan arus sungai yang tenang bersahabat seperti sengaja membawa ingatan Okidberkelana melompat dari satu peristiwa ke kejadian yang lain, seakan semua itu baru saja terjadi beberapa hari lalu. Okid masih ingat persis tempat di mana anggrek unik itu tumbuh, di pangkal sebuah batang pohon besar yang mungkin sudah berusia ratusan tahun. Okid selalu melewati tempat itu setiap menyusuri sungai, tapi tak pernah terpikir untuk singgah, meskipun sekedar mengintip kehidupan di balik semak rimbun yang seperti sengaja menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.

Teman-teman Okid juga tak ada yang pernah menyinggahi tepi sungai itu. Alasannya macam-macam. Ada yang mengatakan karena pernah melihat seekor buaya putih berjemur di dekat pohon. Teman lainnya mengaku melihat seorang peri berpakaian satin putih dengan rambut berkilau seperti emas. Bahkan cerita yang lebih seru adalah adanya kuda putih yang konon sering mondar mandir tak jauh dari pohon itu. Kesimpulannya, tempat itu angker. Kata angker bagi siapa saja berarti sesuatu yang sebaiknya dihindari.

Okid tidak pernah singgah bukan karena terpengaruh cerita angker yang pernah didengarnya. Ia memang tidak melihat ada kemungkinan anggrek yang tumbuh di situ. Lagi pula, karena semak yang begitu rapat dan rimbun, sebahagian bahkan masuk ke dalam sungai, menyulitkan sampan untuk merapat ke tepi.

Tapi tidak pagi itu. Semak yang rapat dan rimbun menjadi tidak berarti ketika suatu pagi, Okid melihat kilauan benda berwarna keemasan di balik semak. Pagi itu, mentari memang baru bangkit dari peraduannya, dan dengan cahayanya yang gemilang, menerobos celah pohon dan semak yang baru saja lepas dari selimut gelap yang merengkuhnya sepanjang semalam.

Rasa penasaran yang sangat kuat mendorong Okid segera membelokkan sampan kecilnya menepi ke dekat semak. Lalu dengan susah payah, Okid akhirnya berhasil menyibakkan rimbunan semak yang memberinya ruang pandang melihat lebih jelas sumber cahaya yang kemilau tadi.

“Ya Tuhan!! Anggrek unik yang baru berbunga!!” Pekik Okid.

Okid surut ke belakang untuk menenangkan degupan jantungnya yang lebih cepat dari sebelumnya. Beberapa saat ia terduduk diam di dalam sampannya sambil berpegangan pada ranting semak.

”Mungkinkah itu anggrek ratu bidadari?” Gumam Okid seakan masih sulit mempercayai apa yang barusan dilihatnya.

Setelah berhasil menguasai diri, Okid mulai berpikir bagaimana bisa mendekati anggrek itu. Okid mendayung sampannya pelan di sepanjang rimbunan semak untuk mencari bagian yang lebih tipis untuk memudahkannya naik ke darat. Ia akhirnya menemukan celah yang dicarinya meskipun sedikit agak jauh. Perlahan ia menarik setiap ranting semak yang bisa diraihnya. Setiap tarikan menjadi seperti dorongan yang mendekatkan sampannya dengan daratan.

lalu dengan lompatan kecil yang mantap, ia menjejakkan kakinya di atas rumput. Tali sampan segera ia ikatkan ke sebatang pohon kecil sebelum memperhatikan keadaan sekitarnya. Ia memandang sekitarnya dengan penuh ketakjuban. Ini adalah bagian terindah dari tepi sungai manapun yang pernah ia singgahi. Tampak masih sangat alami. Ia takjub melihat ada hamparan rumput halus di kejauhan, seperti ada yang sengaja menanam dan memeliharanya.

Ia masih berdiri menikmati pemadangan yang luar biasa itu sebelum berpikir jalan mana yang sebaiknya ia tempuh untuk sampai ke anggrek unik yang dilihatnya tadi. Ia membetulkan ikatan sepatu khususnya, celananya dan baju lengan panjang lusuh yang membungkus tubuhnya. Meskipun ia menggunakan sepatu khusus, tapi duri bunga putri malu tetap harus ia perhitungkan. Apalagi bila ada duri yang cukup besar pasti tak bisa dihalangi oleh sepatu unik buatannya itu.

Sebenarnya itu hanya sendal jepit biasa yang ia bungkus dengan kain tebal lalu diikat tali dari sobekan kain, jadilah seperti sepatu para biksu Shaolin seperti yang ada di film-film silat.

Okid mulai melangkah, dan setiap langkah ia harus perhitungkan dengan cermat. Rumput jarum yang sangat subur sebenarnya cukup empuk andaikata tidak bercampur dengan bunga putri malu yang justru sering tidak nampak oleh jalinan batang rumput yang menjurai-jurai. Tapi celana panjang kain yang ia balut lagi dengan plastik bekas, membuat buah rumput jarum tak bisa melekat di celananya. Rumput ini memang dikenal sebagai rumput penitip. Setiap yang melewatinya, baik hewan maupun manusia, pasti ia titipi dengan benihnya agar dibawa kemana saja orang atau hewan itu pergi.

----ooo----

Okid terus melangkah sambil sesekali berhenti untuk memperhatikan sekelilingnya. Meskipun tidak percaya kalau ada mahluk angker di tempat ini, tapi Okid sangat sadar akan adanya mahluk buas yang nyata seperti ular, beruang atau mungkin buaya. Bisa saja satu diantaranya sedang berbaring di dalam semak yang sepertinya tidak pernah dijamah manusia ini. Kengerian perlahan-lahan menyergap Okid. Siapa yang akan menolongnya kalau tiba-tiba ada ular besar yang melilit karena merasa terusik oleh kehadirannya?

”Wuuushhhh...!!!Uuuukkk!!! Uuuuukkkk!!!” Seekor burung hantu yang terusik terbang serampangan. Okid hampir terjengkang ke belakang karena kaget merasakan burung hantu besar itu seperti sengaja mau menabrak kepalanya. Sejenak semangat Okid ikut terbang entah kemana. Tinggallah tubuhnya yang berdiri kaku dengan wajah yang seakan tidak menampakkan tanda-tanda kehidupan.

”Ya Tuhan...” Okid menggumam pelan setelah bisa menguasai kembali seluruh panca inderanya. Okid tahu kalau burung hantu itu hanya kaget, tapi cara terbangnya yang serampangan ia sempat rasakan sebagai sebuah serangan mendadak sebelum ia tahu kalau itu adalah burung hantu.

Menyadari kegentingan yang dihadapinya, Okid tentu saja berusaha mengingat pesan kakeknya. Lalu dengan penuh keyakinan ia menyapa alam sekitarnya dengan bahasa anak-anaknya. ”Hai hewan-hewan buas sahabatku. Aku ke sini tidak bermaksud jahat. Aku hanya mau mengambil anggrek itu.”. Okid percaya hewan bisa mengerti bahasa hati manusia, makanya ia ucapkan kata-kata itu sungguh-sungguh.

Ia kini sudah sangat mantap. Kapak kecil yang terselip di pinggangnya segera ia cabut untuk berjaga-jaga. Semangatnya benar-benar sudah pulih. Apalagi setelah mengamati telapak tangannya dan melihat garis tangannya masih utuh, ”berarti ajalku tidak di sini” gumam Okid lagi. Menurut kakeknya kalau sedang dalam bahaya, perhatikan garis tangan, kalau masih utuh, berarti umur masih panjang. Kakeknya juga pernah bercerita bahwa tidak ada mahluk buas yang akan mengganggu manusia selama mahluk itu benar-benar melihat kita sebagai sosok manusia.

Mengingat pesan itu, Okid lalu mempertemukan kedua telapak tangannya untuk kemudian menggosokkan yang satu ke yang lain. Setelah merasakan udara panas yang timbul dari kedua telapak tangannya, Okid membukanya dan mengitarkannya ke semua penjuru angin. Itu adalah cara yang diajarkan kakek untuk memperlihatkan kepada mahluk lain bahwa ia adalah manusia.

Kedengarannya musykil, tapi bagi Okid yang meskipun termasuk anak yang selalu logis dalam berpikir, tetapi kalau kakek yang mengajarkan, tidak ada hubungannya dengan urusan logis atau tidak. Harus dipercaya, titik. Dan memang cukup beralasan untuk mempercayai. Setidaknya, apa yang diajarkan kakek selama ini terbukti bisa membuat Okid punya nyali dan tentu saja masih selamat.

Setelah keyakinannya sangat mantap, Okid kembali melangkah. Kali ini lebih pasti. Namun baru beberapa langkah, ia kembali tertegun. Ia memperhatikan sejumlah rumput jarum rebah di beberapa tempat secara teratur. Bahkan semak pun tampak seperti sengaja menepi.

”Mungkinkah ada orang, atau mahluk lain yang pernah datang ke sini?”

Untuk memastikannya, Okid memilih mendekati bagian rumput yang rebah dan memeriksa pola rebahannya. Okid tersenyum karena yakin itu bekas dilalui manusia. Tapi siapa? Okid tidak mau memikirkannya saat ini karena perhatiannya terpusat ke anggrek unik itu.

Kini Okid tinggal mengikuti kemana arah rumput yang rebah itu akan berakhir. Ternyata rumput rebah itu seperti membentuk jalan setapak menuju ke pohon besar itu. Sekitar tiga meter dari pohon besar, Okid berhenti sejenak untuk melihat jejak yang ditinggalkannya. Penting ia lakukan ini untuk memastikan bisa kembali ke tempat ia menambatkan sampannya. Ia menoleh ke sebelah kanan dan tersenyum melihat ada pohon api-api yang tumbuh seperti sengaja rebah ke sungai. Sepintas mirip leher jerapah yang menjulur untuk minum, itu yang membuat Okid tersenyum.

Sebenarnya pohon mirip leher jerapah itu adalah jalan terbaik dan terdekat untuk ke darat. Dari situ, jarak ke pohon besar yang ada di depannya jauh lebih dekat. Kini Okid berdiri tepat di samping pohon besar yang baginya ternyata lebih mirip kaki raksasa. Okid merentangkan lengannya untuk mengukur lingkar pohon itu.

”Hmm... Setidaknya butuh tujuh orang anak sepertiku yang saling berpegangan untuk dapat memeluk seluruh batang pohon ini.” Gumam Okid sambil mulai berjongkok memperhatikan dari dekat obyek yang telah merenggut perhatiannya dan membuatnya berani menempuh resiko untuk sampai ke dekatnya.

Okid bersimpuh di tanah dekat anggrek itu, bukan untuk memberinya penghormatan, tetapi melepas penat setelah beberapa saat yang lalu diliputi suasana yang menegangkan. Ia mendekatkan hidungnya ke bunga anggrek itu berharap mendapatkan aroma khas karena mitos tentang anggrek ini sebagai kesayangan bidadari, sangat banyak ceritanya.

Ada yang mengatakan kalau kita menyimpan bunga anggrek unik ini ke dalam botol, maka air di dalam botol akan berubah menjadi minyak wangi yang aromanya sangat mempesona. Ada pula yang bercerita kalau sekali waktu pernah ada yang menemukan serbuk emas di sekitar bunga anggrek jenis ini.

Okid menjauhkan wajahnya dari anggrek itu. Ia jadi tersenyum sendiri menyadari kalau kelakuannya tadi mungkin dipengaruhi mitos yang pernah di dengarnya. Kebanyakan bunga anggrek sebenarnya memang tidak memiliki aroma, dan Okid sudah tahu itu.

Kemampuan anggrek menarik perhatian serangga mendekat untuk membantunya melakukan penyerbukan, lebih banyak karena warnanya yang menarik dan sedikit nektar pada pangkal bunganya. Tapi meskipun tidak harum, Okid tetap sangat terpesona memandang anggrek yang memiliki bunga berwarna kuning keemasan ini. Okid berusaha menahan diri untuk tidak segera menyentuhnya. Usianya memang baru sepuluh tahun, tapi pengalamannya hidup di alam, membuatnya memiliki kewaspadaan yang tinggi. Ia sangat paham, setiap mahluk di hutan ini telah dilengkapi Tuhan dengan berbagai keunikan, dan itu bukan tanpa tujuan.

----ooo----

Okid suatu hari pernah kaget melihat ada mata besar yang seakan menatapnya dari balik semak. Ternyata itu adalah kupu-kupu yang ketika kedua sayapnya yang berwarna hitam terbuka penuh, terlihat seperti lingkaran mata harimau di mana bagian tubuhnya yang berwarna putih berbentuk seperti kornea mata hewan buas. Kesan menyeramkan yang tercipta, membuat burung tidak berani mendekat. Padahal, kupu-kupu ini selain terbangnya tidak gesit, juga tidak beracun sama sekali.

Pada kali lain, Okid pernah mendapati seekor burung yang menggelepar hanya karena memakan kupu-kupu kecil berwarna kuning yang ternyata beracun. Bahkan bunga bangkai tak mungkin bisa menjebak burung, serangga bahkan kelelawar kalau bukan karena daya tarik pucuk sarinya yang berwarna merah segar dan mengundang selera pemangsa. Manusia juga harus menghindari bunga berukuran raksasa itu karena baunya yang tidak sedap, makanya mansia menyebutnya bunga bangkai.

Itulah kehidupan hutan. Kehidupan yang telah dilengkapi oleh Sang Maha Pencipta dengan aturan-aturan yang begitu luar biasa dan tiada cacatnya. Okid mencoba mereka-reka kemungkinan hukum Tuhan yang berlaku atas anggrek ini.

“Kalau aggrek ini beracun atau berbahaya, pasti jumlahnya banyak, karena manusia akan menghindarinya. Tapi karena warnanya indah dan tidak berbahaya, pasti manusia sudah sering memetiknya sejak jaman dahulu kala.” Okid membatin untuk memastikan langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya.

Sejurus kemudian, ia sudah mencabut kapak kecil dari pinggangnya dan mulai mengayunkannya dengan hati-hati ke arah kulit kayu pohon raksasa itu. Ia memberi tanda segi empat untuk dapat mengambil anggrek bersama dengan kulit kayu tempatnya menyerap sebahagian nutrisi.

Jari-jarinya yang lentik begitu cekatan memainkan kapak, menyisir bagian kulit pohon sehingga tak sebatang akar anggrekpun yang kena. Ia melakukannya dengan sengat hati-hati untuk memastikan anggrek ini tidak kaget. Untuk urusan yang satu ini Okid percaya. Tanaman memang adalah mahluk hidup yang bisa kaget bahkan mati seketika saat mendapat perlakuan yang tidak semestinya.

-----------  Bersambung ke episode berikutnya:  Bertemu Wak Wacik -----------

Okid masih terus mengayuh sampannya perlahan sambil dengan mata yang waspada memperhatikan setiap bagian pohon besar yang dilewatinya. Matanya yang terlatih selalu bisa membedakan mana bagian dari pohon dan mana yang bukan. Bahkan ular daun berwarna hijau sebesar telunjukpun bisa ia bedakan dari warna ranting ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun