Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Subsidi BBM Membengkak, Kemenkeu Surati Kemenperind

28 Maret 2014   04:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="638" caption="Keliru Logika Mobil "][/caption] Menyusul surat dari Kementerian Keuangan kepada Kementerian Perindustrian yang mengingatkan pembengkakan pengeluaran negara untuk BBM bersubsidi. Kenapa bisa membengkak? Ternyata penjualan mobil murah ini sudah di atas 14 persen, jauh di atas perkirakan kuota  Kementerian perundustrian yang hanya memprediksi penjualan tidak lebih dari 10 persen dari total penjualan kendaraan pribadi sampai akhir tahun 2014 ini, padahal masih tersisa beberapa bulan lagi sebelum 2014 berakhir.

Salahkah konsumen menengah ke bawah yang awalnya dijadikan alasan oleh Kementerian Perindustrian untuk memproduksi mobil "murah" dan "ramah lingkungan ini, bila ternyata animo pembelian mereka meningkat? Tentu saja tidak bisa disalahkan. Apa tidak boleh orang yang keuangannya terbatas memiliki mobil? Tentu sangat boleh.

Salahkah konsumen mobil murah ini bila ikut menggunakan BBM bersubsidi? Sangat tidak salah. Karena bila mereka sudah sanggup membeli pertamax, berarti daya belinya bukan lagi mobil murah, dan memang yang membuatnya murah karena Kementerian Perindustrian sejak awal menggunakan dasar perhitungan premium bersubsidi.

Salahkah produsen yang berlomba memproduksi besar-besaran demi mengejar keuntungan? Tentu saja tidak bisa disalahkan, ini hukum supply and demand. Bila permintaan meningkat pasti harus diiringi peningkatan pasokan, dan karena menguntungkan, masak ada produsen tidak tergiur oleh keuntungan? Mereka akan memproduksi sebanyak dan secepat mungkin.

Sejak awal program mobil murah ini digagas memang sudah keliru logika, sekarang malah ada indikasi antara pemerintah bertengkar di tengah jalan. Itulah mengapa kita mendambakan adanya pemerintahan yang cerdas dan bersih, karena kecerdasannya bisa menghasilkan kebijakan publik yang masuk akal dan (maaf) bukan seperti akal-akalan. Saya mencatat setidaknya ada beberapa kekeliruan logika dari kebijakan mobil murah ini.

Murah?

Darimana murahnya bila negara harus melepaskan sebagian sumber pendapatannya karena tidak mengenakannya kepada mobil yang katanya murah itu. Bila pajak itu dikenakan, maka harga mobil tersebut jatuhnya juga di atas Rp.120 juta, selisih sedikit dengan mobil Avansa dan Xenia yang sudah tersedia di pasar. Kenapa tidak dikenakan pajak saja lalu pemerintah mensubsidi calon pembeli dari pajak yang dikenakan atas mobil “murah” itu? Kenapa harus kelihatan bahwa swasta “berbaik hati” membantu rakyat mendapatkan mobil murah padahal mereka semata-mata berbisnis mengejar keuntungan maksimal? Sesat kan logikanya?

Ramah Lingkungan?

Darimana ramahnya? Kata M.S. Hidayat berulang-ulang, bahwa katanya kalau mobil biasa rata satu liter per kilometer jarak tempunya hanya 12 km, mobil murah bisa 20 km. Jadi ilmu baru yang saya peroleh dari seorang Menteri bernama M.S. Hidayat adalah bahwa kalau sebelumnya saya membuang sampah ke sungai satu tong per hari lalu saya kurangi menjadi setengah tong, maka saya sudah ramah pada lingkungan. Tidak bisa pak Menteri! Itu bisa disebut (maaf), sesat logika. Meskipun hanya segenggam sampah tapi saya buang bukan pada tempatnya apalagi di sungai, tetap tidak ramah lingkungan.

Semua pengguna mobil di dunia ini, apapun jenisnya, selama menggunakan bahan bakar yang tak terbarukan dan mengeluarkan hasil pembakaran yang mencemari udara, itu TIDAK ramah lingkungan Pak! Mungkin bisa disebut ramah lingkungan kalau “mobil murah” ini menggunakan listrik karena tidak menghasilkan gas buang. Kenapa mungkin? Ya, kalau pembangkit listriknya menggunakan solar atau batu bara yang tergolong energi tak terbarukan serta menghasilkan polusi gas buang, ya secara keseluruhan tetap TIDAK ramah lingkungan. Kecuali kalau listriknya dihasilkan dari tenaga matahari atau arus air (hydro). Apalagi kalau mobilnya memang menggunakan bahan bakar tak terbarukan dan menghasilkan gas buang.

Kalau saya punya mobil Fortuner yang setiap hari saya pakai ke Stasiun KA Kranji (sekitar 6 km pp = + ½ liter) karena saya memilih naik KRL ke kantor saya, apakah itu ramah lingkungan? Harusnya mobil saya lebih ramah lingkungan dibanding mobil “ramah lingkungan” tetangga saya yang dia pake ke tempat kerjanya di Tangerang yang berjarak sekitar 60 km pp (= + 3 liter).

Mobil saya lebih mahal? Tunggu dulu. Mobil saya adalah mobil second yang saya beli seharga Rp.120 juta dari rekan saya. Jadi harganya seharusnya sama dengan “mobil murah” tetangga saya seandainya tidak dipangkas pajaknya jatuhnya juga sekitar Rp. 120 juta juga. Ini sekedar ilustrasi, maaf saya tidak punya Fortuner dan tetangga saya juga tidak punya ‘mobil murah’.

Sebagai penutup, saya hanya mau menyarankan kepada pemerintah, pertama: agar mengoreksi kekeliruan logika penyebutan “mobil murah” dan “mobil ramah lingkungan”. Sebuat saja seperti nama umumnya, city car tanpa embel-embel. Dan alangkah lebih baik lagi bila meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas kekeliruan yang mungkin tidak disengaja itu.

Kedua: Menghapuskan subsidi premium terhadap semua kendaraan pribadi tanpa kecuali. Kendaraan yang bisa disubsidi adalah semua jenis angkutan umum yang plat nomor polisinya berwarna kuning. Tindakan keras dan pengenaan denda dikenakan kepada SPBU yang kedapatan menjual BBM bersubsidi kepada yang tidak berhak.  Sebagai alat kendali pengawasan, setiap pengelola angkutan umum wajib mengambil kupon khusus subsidi dari Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR). Setiap pengemudi angkutan umum wajib menyerahkan kupon subsidi kepada SPBU  yang selanjutnya meminta penggantian kepadai pemerintah sesuai volume BBM bersubsidi yang mereka jual. Jadi pada saat membeli BBM dari Pertamina, SPBU membayar harga penuh dan penggantian atas subsidi tergantung berapa volume yang terjual.

------------ @ben369 -----------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun