Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pergulatan Terakhir Membangun Koalisi Menjelang Deadline

15 Mei 2014   01:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deklarasi Koalisi Partai Pendukung Capres Jokowi, Rabu 14/05/14 | foto: screenshot TV-One/ Ben

Deklarasi Koalisi Partai Pendukung Capres Jokowi, Rabu 14/05/14 | foto: screenshot TV-One/ Ben

Percayalah, tidak ada satupun partai yang memilih kawan koalisi yang tidak menghitung untung rugi, kalau tidak bisa dapat keuntungan jangka pendek, pasti berhitungnya jangka panjang. Dan hampir bisa dipastikan yang dikejar tentu saja keuntungan yang maksimal dengan resiko kerugian yang sekecil-kecilnya. Kesamaan platform atau ideologi partai memang penting tetapi yang terpenting adalah kebersamaan dalam menangguk kemenangan.

Maka ketika koalisi sudah terjadi, segala bentuk justifikasi bisa dikemukakan. Tentu sah-sah saja dilakukan, platformatau ideologi partai dicocok-cocokkan agar kelihatan sama atau setidaknya mirip. Demikian pula dengan program kerja dicari persamaannya, kontras bila tidak menjadi kawan seiring dalam koalisi, pasti yang terus dicari adalah perbedaannya. Sekali lagi saya katakan bahwa itu sah-sah saja dilakukan. Ibarat orangtua yang menjodohkan anaknya, meski awalnya tidak pas, tapi karena kedua belah pihak sudah merasa cocok, apalagi lamaran sudah resmi diterima, maka segala jurus justifikasi untuk membenarkan bahwa mereka memang sejodoh akan dikemukakan.

Maka mari kita amati perkembangan koalisi beberapa hari ke depan dengan mencoba menggunakan perspektif bahwa:Pertama,  ternyata batasan platform semakin cair dan bisa dijustifikasi. Kedua, siapapun yang merapat ke kubu yang disebut kubu “potensil menang” pasti didasari keyakinan bahwa kubu yang dipilih adalah yang mereka anggap paling berpotensi menang. Ketiga, kemendesakan mengejar deadline 20 Mei membuat partai-partai yang belum jelas sikapnya akan cenderung membuat pilihan yang mungkin sulit diterima nalar masyarakat pada umumnya.

Pergulatan di Kubu Jokowi

Partai asal Jokowi yakni PDI-P yang sejak awal sudah bergandengan dengan Partai Nasdem kini semakin mantap dengan masuknya PKB tanpa syarat membawa potensi suara kemenangan berdasarkan hasil rekapitulasi resmi sebanyak 9,04 % sehingga total bertiga menjadi 34,71 %. Tentu PDI-P dan Nasdem sadar bahwa angka 9,04 persen itu bukan angka yang utuh. Mengapa demikian? Harus diingat bahwa angka itu sebahagian hasil utangan dari pendukung fanatik H. Rhoma Irama, katakanlah 2,5 % dan Mafud MD katakanlah 1,5 % sehingga bawaan murni milik PKB hanya sekitar 5,04 %. Meski demikian, mengingat hubungan kesejarahan Megawati dan Gus Dur, dimana Muhaimin adalah salah satu keponakan Gus Dur yang mungkin sudah dimaafkan oleh keluarga besar Gus Dur, pertimbangan menerima PKB boleh jadi dipengaruhi juga oleh hal tersebut.

H.Rhoma Irama telah jauh hari menyatakan menarik dukungannya dari PKB dan meminta pendukungnya menentukan sikap sendiri bila PKB berkoalisi dengan PDI-P Nasdem. Sementara itu, Mahfud MD menyatakan akan melihat perkembangan terakhir sebelum menentukan sikap. Bila pada akhirnya Mahfud juga mengambil sikap, maka PKB akan kehilangan suara sekitar 4 % yang berarti secara keseluruhan koalisi ketiga partai tersebut hanya memiliki potensi real sekitar 30,71 %. Tetapi untuk perhitungan aset, maka  yang digunakan adalah angka 34,71 %.

Kalau Jokowi berharap dukungan lebih, katakanlah menargetkan perolehan suara di atas 50 % pada Pilpres mendatang, maka ada dua strategi yang harus diupayakan oleh kubu Jokowi. Pertama, memaksimalkan apa yang oleh pendukung Jokowi disebut Jokowi Effect, jargon yang secara cerdas oleh Jokowi sendiri diganti namanya menjadi “Rakyat Effect” pada beberapa kali kesempatan wawancara dengan media.

Kapan efek seperti itu efektif? Biasanya pada saat tokoh yang diam-diam disukai oleh mereka yang sebelumnya Golput, berada pada posisi terpojok atau terdzolimi. Sebutlah contoh saat Pilgub DKI dimana pasangan Jokowi-Ahok yang disebut “pendatang” dikeroyok oleh sejumlah partai besar yang mem-backup kandidat petahana (incumbent), Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli yang mencitrakan diri sebagai “tuan rumah”. Fenomene golput turun gunung diakui memang terjadi pada saat itu.

Tak ayal pasangan Jokowi-Ahok yang diusung PDI-P dan Gerindra akhirnya menang, meskipun tidak besar-besar amat kemenangannya, tetapi itu sudah termasuk luar biasa untuk menjatuhkan Foke – Nachrowi yang tergolong kuat dalam hal segalanya kecuali dalam hal kinerja selama memimpin DKI di periode sebelumnya. Makanya kita tidak usah heran bila muncul model kampanye kontroversial model “RIP” yang mengisukan Jokowi yang “ternyata” warga keturunan itu meninggal dunia.

Tetap ada dua kemungkinan sumber dari model kampanye kontroversial seperti itu. Bisa berasal dari pendukung Jokowi yang “salah langkah”, atau memang murni dari kubu lawannya yang tujuannya sebenarnya sekedar mengejek dan ingin meyakinkan bahwa Jokowi memang warga keturunan yang identitas agamanya diragukan, ayahnya warga keturunan sehingga sangat beralasan kalau dia memang didukung oleh konglomerat hitam.

Mengapa pendukung Jokowi harus membuat model kampanye seperti itu? Kata kubu lawannya agar Jokowi tercitrakan sebagai orang terdzolimi dan akhirnya “dikasihani” untuk membangkitkan simpati rakyat terutama kalangan golput yang ternyata di Pileg 2014 ini yang diperkirakan sekitar 24,89 %. Karena kampanye “RIP” itu sudah beredar dengan penyebaran pola spiral yang luar biasa di berbagai media sosial, maka tidak perlu lagi pendukung Jokowi menyanggahnya.

Ingat kata-kata bijak filsuf  Tiongkok bernama Sun Tzu dalam bukunya The Art of War.He who knows when he can fight and when he cannot, will be victorious.” Barang siapa yang tahu kapan harus bertarung dan kapan tidak harus, akan menjadi pemenang.Kubu lain yang membaca artikel ini juga bisa memanfaatkan nasehat ini. Lebih baik sama-sama menahan diri kalau yakin anda benar bukan sumber dari iklan konyol itu. Percayalah, kaum golput itu bukan pemilih biasa. Mereka umumnya kalangan berpendidikan yang memang memilih untuk tidak memilih dengan alasan-alasan rasional. Mereka diam-diam mengamati kubu mana yang benar dan mana yang salah. Karena sepandai-pandai manusia menyembunyikan bangkai pada akhirnya akan tercium juga.

Strategi kedua yang bisa ditempuh Jokowi adalah menambah satu lagi mitra koalisi bila perlu. Katakanlah memang perlu, maka setidaknya dengan 5 % suara saja sudah cukup pasti sehingga potensi dasar koalisi PDI-P akan mencapai angka 39,97 %.  Ingat satu lagi nasehat Sun Tsu: “Know your enemy and know yourself and you can fight a hundred battles without disaster. Siapa sajakah koalisi bakal pesaing PDI-P  di luar sana? Siapa saja partainya dan siapa Calon Presiden dan Wakil Presiden yang kemungkinan akan diusung. Karena bagaimanapun dalam pertarungan Pilpres mendatang faktor partai dan tokoh yang diusung pengaruhnya masih signifikan.

Pergulatan di Kubu Prabowo

Di kubu Prabowo sekarang ini, setidaknya juga sudah ada dua partai yang meyakini kubu Prabowo yang akan keluar sebagai pemenang selain Gerindra tentunya. Partai itu adalah PPP dan PAN.  Keduanya berbasis massa islam yang akan melengkapi Gerindra yang lebih dikenal sebagai partai kaum nasionalis.

Potensi suara koalisi ketiga partai ini baru mencapai 25,93, atau kurang sedikit mengingat adanya friksi di dalam tubuh PPP sebelum benar-benar merapat ke kubu Prabowo. Hanya pendaratannya yang agak kurang mulus, demikian pendapat sebahagian kalangan. Pernah dilakukan pendaratan pertama yang dipiloti oleh Surya Dharma Alie lalu karena co-polit-nya belum memberikan persetujuan, pesawat PPP mengudara lagi. Setelah berputar di udara beberapa saat akhirnya mendarat kembali di bandara yang sama dengan mulus. Pendaratan yang sempat mengundang kontroversi ini tentu saja mengundang kekecewaan penumpang, dan ada kemungkinan sejumlah orang mungkin berpikir untuk tidak ingin lagi menjadi penumpang.

Untuk dapat menjadi rival sesungguhnya dari koalisi PDI-P maka menjadi keharusan bagi kubu Koalisi Gerindra untuk menambah sejumlah potensi suara agar angkanya bisa di atas 30 %.  Partai mana gerangan yang paling mungkin ditarik oleh kubu Prabowo untuk menggenapi angka itu? Di luar orbit kubu Jokowi dan Prabowo yang saat ini sudah bisa disebut planet yang utuh lengkap dengan satelitnya, masih ada sejumlah partai yang belum jelas akan masuk ke orbit planet mana. Diantaranya ada PKS (6,19 %) , Golkar (14,75 %), Hanura (5,25 %) dan Demokrat (10,19 %).

Kalau anda adalah pengambil keputusan di kubu Prabowo, partai apa yang paling strategis untuk anda tarik masuk ke orbit anda? Tentu anda sepakat bahwa ukuran besarnya suara bukanlah jaminan. Besar atau kecil itu adalah sesuatu yang bisa diukur, di dalam ilmu manajemen, biasa disebut tangible asset (Aset Terukur).

Di balik itu semua ada hal yang tak kalah pentingnya yang biasanya tidak bisa diukur secara pasti besarannya, hanya bisa diasumsikan, yakni intangible asset (Aset Tak Terukur).  Apa saja yang ada di dalamnya? Sebutlah loyalitas anggota partai, semangat juang, militansi, budaya partai, tingkat kebersihan, intelektualitas kolektif, bahkan termasuk pencitraan).

Maka bila saya yang diminta menilai, saya cenderung mengatakan bahwa diantara keempatnya, PKS yang memiliki total aset 6,19 namun karena massa PKS relatif merupakan massa pendukung yang loyal dan militan, maka itu bisa menjadi kekuatan tersendiri bagi kubu Prabowo. Apalagi di sana sudah ada PAN yang meskipun secara tangible assetnilainya hanya 7,59 % tetapi PAN dicitrakan sebagai partai berbasis massa Muhammadiyah yang lebih egaliter. Kehadiran PKS dan PAN akan melengkapi kubu Prabowo yang telah memiliki PPP yang berbasis massanya bisa disebut mayoritas kaum Nahdiyin yang sangat loyal terhadap fatwa para Kiyainya.

Jadi bila PKS bergabung, total aset suara kubu Prabowo akan menjadi 32,72 %, sudah mendekati angka aset Jokowi yang mencapai 34,71 %, asal kubu Jokowi tidak menambah suara lagi sehingga partai yang tersisa cukup percaya diri untuk membangun poros ketiga. Apalagi kubu Prabowo dengan senang hati telah memberikan kursi wakil kepada Hatta Rajasa, maka selain akan mengentalkan loyalitas dukungan di dalam tubuh PAN sendiri, juga tidak menutup kemungkinan akan menarik simpati kalangan Muhammadiyah yang sekarang ini banyak tersebar di sejumlah partai berbasis nasionalis, terutama di tubuh Golkar dan Demokrat.

Mungkin hal yang saya sebutkan di atas menjadi pertimbangan Hasyim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto yang menurut kabar menjadi pemberi masukan ke Prabowo sehingga tawaran Aburizal Bakrie (ARB), meski telah menurunkan harga menjadi sekedar Calon Wakil, ditolak oleh kubu Prabowo.  Pertimbangannya antara lain bahwa asset 14, 75 % yang dibawa Aburizal Bakrie, sebahagian tersandera oleh para pendukung Musyawarah Nasional (Munas) Golkar yang telah kadung mematok ARB sebagai calon Presiden dari Golkar atau tidak sama sekali.  Ditambah realitas bahwa Hatta Rajasa yang meskipun aset suaranya hanya setengah dari ARB tapi memiliki intangible asset yang jauh lebih baik dari ARB.

Rupanya putra-putra begawan Ekonomi di era Orde Baru, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo ini masih mewarisi kepiawaian berhitung sang ayah. Apalagi mereka baru saja melewati satu pengalaman buruk dari “perkawinan dini” dengan PPP yang ternyata membawa huru-hara di tubuh partai berlambang Ka’bah itu. Bisa dipastikan, bila Prabowo mengakomodasi ARB, maka huru-hara akibat “perkawinan terlarang” dengan partai berlambang pohon beringin itu akan terjadi seperti kejadian di dalam tubuh Partai PPP beberapa waktu lalu.

Jadi PAN memang adalah opsi mitra koalisi terbaik bagi kubu Prabowo saat ini sehingga kursi Calon Wakil Presiden bagi Ketua PAN, Hatta Rajasa kiranya adalah imbalan yang setimpal.  Prabowo dan Hatta Rajasa telah datang bersama ke Istana Negara pada hari Selasa kemarin (13/05) untuk maksud meminta izin sekaligus wejangan dari Presiden SBY dalam rangka pengukuhan pasangan mereka maju sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Presiden 9 Juli 2014 mendatang.

Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa mendeklarasikan koalisi di Istana Negara | foto: Screenshot Metro-tv/ Ben
Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa mendeklarasikan koalisi di Istana Negara | foto: Screenshot Metro-tv/ Ben
Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa mendeklarasikan koalisi di Istana Negara | foto: Screenshot Metro-tv/ Ben

Bergabungnya PAN ke kubu Prabowo tidak menjauhkan Golkar dari kesulitan.  Katakanlah Golkar berpikir untuk berkoalisi dengan Demokrat dan Hanura. Total asset suara mereka hanya mencapai 30,19 %, dimana ARB tetap sebagai Calon Presiden dan wakilnya menunggu hasil konvensi Demokrat.

Melihat aset yang jauh di bawah kubu Jokowi dan Prabowo, tentu akan membuat kubu ARB berpikir untuk lagi-lagi tidak membuat kesia-siaan dan menghamburkan dana partai buat sesuatu yang tidak jelas. Mereka pasti akan kalah di putaran pertama oleh salah satu dari dua kubu yang sudah lebih mapan koalisinya. Ini asumsinya bila Pilpres berlangsung dua putaran karena baik kubu Jokowi atau kubu Prabowo, katakanlah tak satupun yang cukup meyakinkan melewati perolehan suara di atas 50 % bila ada tiga poros koalisi.

Kecuali kalau ARB tetap nekad demi harga diri dan meingingat semboyan, “Jangan kalah sebelum bertempur!” maka kemungkinan besar mereka maju dengan kompoisi itu dan setelahnya, memasuki putaran kedua, tinggal mereka mengatur strategi, kalau perlu dagang sapi dengan salah satu dari dua kubu yang berpotensi menang di putaran kedua. Apalagi bila ternyata kontribusi kubu yang kalah menjadi “penentu” kemenangan salah satu kubu yang masuk di putaran kedua.

Sampai pada titik ini, kelihatannya kekuatan masih berimbang antara kubu koalisi pendukung Jokowi dengan kubu koalisi pendukung Prabowo. Tapi coba perhatikan eksistensi, manuver dan suasana kebatinan di kubu partai Hanura. Penolakan kubu Prabowo terhadap ARB bisa jadi mendorong mengentalnya solidaritas di dalam tubuh Hanura dan Golkar untuk membiarkan ketua partai masing-masing mengambil tindakan untuk menyelamatkan masa depan partai agar tetap bisa eksis di lingkaran kekuasaan.

Kompisisi koalisi sementara yang dideklarasikan bersama antara PDI-P, Nasdem dan PKB hari ini (14/05) memastikan situasi peta koalisi yang harus benar-benar dihitung oleh kubu Prabowo. Sementara kemungkinan bergabungnya Golkar masih dalam posisi harap-harap cemas. Demikian pula kubu Hanura sepertinya masih melihat situasi. Tetapi, baik kubu Jokowi maupun kubu Prabowo telah resmi mengumumkan komposisi koalisinya seperti pada ilustrasi di atas.

Tinggal empat partai di luar sana yang kemungkinan bisa berkoalisi yakni Golkar dan Demokrat dan Hanura dan PKS. Tetapi mengingat kemungkinan kesulitan PKS bergabung dengan kubu poros koalisi ketiga maka atas dasar pertimbangan ini, PKS "dimasukkan" ke dalam kubu Prabowo.

ARB mencoba berbicara dengan SBY dalam kapasitas sebagai sesama ketua Partai mengingat ketidakpastian Golkar bisa bergabung ke kubu Jokowi. Ada harapan koalisi poros ketiga bisa terbentuk dalam situasi yang mendesak. Berapa asset mereka berdua?  Tidak banyak, hanya 30,20 %, tetapi cukup memenuhi syarat untuk mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden. Kemungkinan besar mereka akan berkoalisi meskipun hanya bertiga, alasannya sederhana.

Bagi Golkar sebagai partai yang masih diselimuti gengsi sebagai partai besar dan the ruling party beberapa periode di era orde baru, tentu tidak mudah menurunkan gengsi. Lihatlah hasil Munas mereka yang belum mengukur kekuatan sudah terlanjur menjebak diri mengusung calon Presiden. Tapi jangan coba under estimate kekuatan individu kader-kadernya yang banyak diantaranya sudah melewati beberapa masa dan situasi perpolitikan di negeri ini. Mereka adalah penggagas konvensi pertama di Indonesia.

Bagi Demokrat yang terlanjur menikmati kekuatan figur SBY sejak kelahirannya pertama kali, juga dihadapkan pada situasi yang sulit dimana kader-kadernya kurang terbiasa mandiri dalam pengambilan keputusan. Maka meskipun gregetan, galau dan kelimpungan, mereka harus tetap sabar menunggu pimpinan partainya yang mengambil terobosan atau sikap.

Bagi Hanura, mungkin masih berharap bahwa bila Pilpres berlangsung dua putaran, mereka masih bisa memiliki kesempatan untuk memposisikan diri untuk mendukung salah satu dari kubu yang paling berpotensi menang sehingga harapan Hanura bisa terlibat di dalam pemerintahan dapat terwujud.

Terobosan yang tersisa adalah hasil konvensi yang entah momentumnya masih dapat atau tidak, mengingat hari-hari belakangan kekuatan momentum dihitung berdasarkan hitungan hari bahkan jam.  Masihkah hasil konvensi ini laku terjual? Demokrat akan menanggung malu seumur hidup bila hasil konvensi itu tidak bermuara pada pencalonan, apakah Presiden atau Wakil Presiden. Maka koalisi “berani kalah” itu masih ada potensi untuk terjadi kecuali kalau Demokrat juga “berani malu,” maka poros ketiga ini tidak akan terbentuk. Kemungkinan lain SBY terpaksa melimpahkan dukungannya kepada kubu pendukung Prabowo karena Golkar bubar jalan menuju ke kubu pendukung Jokowi.

Potret Koalisi Paska Deklarasi Koalisi Kubu Jokowi

Akankah Hanura mau bergabung ke kubu koalisi pendukung Jokowi? Pertama cermati pernyataan Wiranto saat tahu partainya memperoleh suara jauh di bawah harapan mereka. “Kami sudah capek selalu berada di luar sistem,” kata Wiranto. Artinya Wiranto dan kemungkinan Hary Tanoe kali ini ingin menyampaikan isyarat bahwa mereka akan bergabung ke koalisi yang paling berpotensi menjadi the ruling party pada periode 2014-2019 mendatang.

Pernyataan itu bila diterjemahkan dalam konteks sekarang bisa berarti bahwa Hanura akan bergabung ke salah satu kubu, mungkin kubu Jokowi atau kubu Prabowo. Namun melihat perkembangan terakhir dimana dalam suatu acara penting dimana Wiranto “didudukkan” semeja dengan Megawati Soekarno Putri untuk mengesankan itu hal yang kebetulan terjadi.  Namun di mata pengamat, itu adalah isyarat, terutama kubu Jokowi juga merasa penting untuk mencitrakan bahwa kubunya didukung oleh unsur TNI, meski tidak mengambil Jenderal (purn) Ryamisad Ryacudu atau Jenderal Moeldoko sebagai kandidat Wakil Presiden di kubu mereka.

Apalagi ditambah realitas kesejarahan dan hirarki yang dikenal kental di tubuh TNI dimana Prabowo sempat berbeda jalur di masa transisi pemerintahan semasa reformasi. Apalagi ternyata pangkat Wiranto di atas pangkat Prabowo dimana pada suatu masa Jenderal (purn) Prabowo adalah anak buah Jenderal (purn) Wiranto. Berdasarkan analisis tadi, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa hanura akan bergabung ke kubu Jokowi.

Skenario kejutan yang banyak ditunggu saat ini adalah bila ARB memilih tidak menjadi siapa-siapa kecuali sekedar menyelamatkan partainya, apalagi setelah “dipermalukan” oleh Prabowo yang menolak pinangannya. Maka ada kemungkinan Golkar akan menyerahkan diri bulat-bulat kepada kubu Jokowi. Suatu tindakan yang boleh jadi dipandang sebagai hal kontroversial karena keterdesakan mengingat bagaimana kubu Golkar selama ini tak kurang serangannya terhadap kubu Jokowi dibanding serangannya terhadap kubu Prabowo.

Indikasi kemungkinan Golkar merapat ke kubu PDIP terlihat dari manuver petinggi Golkar yang menemui Megawati beberapa hari lalu di Bali yang semula dianggap sekedar khabar burung. Tetapi pertemuan Jokowi dan ARB di pasar Gembrong Jakarta, Selasa (12/05) bukan kabar burung lagi. Pertemuan itu memberi sinyal kuat "penyerahan diri" Golkar atas nama jargon "demi Indonesia yang lebih baik" ke dalam lingkaran kubu yang mendukung Jokowi.

Pasar Gembrong yang merepresentasikan realitas ekonomi kerakyatan menjadi saksi pertemuan ARB - Jokwowi, sebuah tawaran koalisi yang agak kontroversial tetapi sepertinya tak ada pilihan lain bagi ARB | Foto: screenshot TV-One - Ben
Pasar Gembrong yang merepresentasikan realitas ekonomi kerakyatan menjadi saksi pertemuan ARB - Jokwowi, sebuah tawaran koalisi yang agak kontroversial tetapi sepertinya tak ada pilihan lain bagi ARB | Foto: screenshot TV-One - Ben
Pasar Gembrong yang merepresentasikan realitas ekonomi kerakyatan menjadi saksi pertemuan ARB - Jokwowi, sebuah tawaran koalisi yang agak kontroversial tetapi sepertinya tak ada pilihan lain bagi ARB | Foto: screenshot TV-One - Ben

Pada pertemuan itu, Ical, panggilan akrab ARB masih sedikit memperlihatkan gengsi dengan mengatakan belum ada keputusan karena Golkar adalah partai yang besar dan Jokowi juga perlu berbicara kepada Ketua partainya. Mungkin maksud ARB adalah bahwa untuk dia tidak menimbulkan masalah seperti yang pernah terjadi pada diri ketua PPP, Surya Dharma Alie, dia harus lebih dahulu dicabut mandatnya secara resmi melalui forum Rapimnas Golkar yang direncanakan diadakan pada 17-18 Mei.

Namun harapan ARB atau Golkar mungkin agak meluntur setelah mendengar pidato Megawati pada deklarasi kubu Jokowi siang ini (14/05). Pasalnya Megawati menyinggung adanya perilaku parpol yang mungkin menganggap bahwa dengan mendekati Jokowi, semuanya bisa diatur. Ini sepertinya mengindikasikan ketidaksukaan pertemuan ARB dengan Jokowi sebelum menemui dirinya sebagai Ketua Partai.

Bila ternyata kemudian Megawati bersedia menerima tawaran koalisi Golkar untuk bergabung ke kubu pendukung Jokowi, dan Rapimnas Golkar juga memutuskan setuju bergabung ke kubu Jokowi, maka aset suara kubu pendukung Jokowi akan menjadi 54,72. Koalisi ini terlalu gemuk dan kuat. Kemungkinan besar Megawati, seperti juga Prabowo, akan menolak mentah-mentah tawaran koalisi dari Golkar.

Lihatlah sekenario koalisi di bawah ini bila ternyata hanya dua kubu, posisi PDI-P sudah terlalu kuat di atas kertas sehingga akan membuat pertarungan Pilpres ke depan menjadi tidak menarik lagi.

Potret koalisi di atas didasarkan pada asumsi bahwa Partai Demokrat yang kehilangan legitimasi untuk membentuk koalisi akhirnya memilih ikut membantu besannya, Hatta Rajasa yang telah resmi mendeklarasikan diri berpasangan dengan Prabowo Subianto. Bila ini terjadi maka total suara kubu Prabowo akan menjadi 42,91 %. Lumayan besar tetapi masih di bawah aset suara partai yang dimiliki kubu Jokowi yang mencapai 54,72. Ada tersisa suara 2,37 % milik dua partai yang tidak lolos Parliamentary Treshold milik PKPI dan PBB.  Katakanlah suara itu bulat berpihak kepada kubu Prabowo (tanpa alasan), maka total aset suara kubu Prabowo baru mencapai 45,29 %.

Itulah peta kekuatan koalisi masing-masing kubu tanpa membicarakan intangible asset yang orang biasa sebut “The X Effect”.  Pada situasi seperti ini, selain ‘The X Effect”, faktor suara golput yang tidak memilih pada Pileg yang baru saja berlangsung yang diperkirakan mencapai 24,89 %. Siapapun diantara kedua atau ketiga kubu yang akan berhasil menggerakkan hati kaum golput untuk berpartisipasi dan memaksimalkan “Efek X” boleh berharap kemenangan pada Pilpres kali ini, baik di putaran pertama maupun kedua. Kubu yang manakah gerangan? [@bens_369].  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun