[caption id="attachment_330701" align="aligncenter" width="638" caption="Selfie duduk di trotoar seakan di negara mana gitu, kini gak perlu edit foto, datang aja ke kota Solo cari trotoar atau taman plus tongsis (tongkat narsis), lalu selfie abis deh. Kapan ya di kota-kota kita yang lain trotoar bisa selebar ini? | Ilustrasi: harumipadmaswari.wordpress.com"][/caption]
Kota Surakarta atau lebih populer dengan nama Kota Solo belakangan ini banyak menjadi pusat perhatian bukan karena ada peristiwa yang kontroversial, melainkan salah satu dari dua Calon Presiden yang bertarung di atas pentas politik Indonesia saat ini pernah menjadi Walikota di Solo. Ya, kota Surakarta atau Solo memang tidak bisa dilepaskan dari masa lalu dan kiprah Joko Widodo, kontestan Pilpres 2014 nomor urut 2.
Perjalanan saya bersama sepuluh Kompasianer ke Solo pagi Jum’at pagi pekan lalu (13/06/14) adalah dalam rangka mengunjungi Pabrik Farmasi berbahan baku herbal milik PT. Deltomed Laboratories. Sebuah muhibah yang tentunya dimaksudkan agar Kompasianer dapat menjadi mata dan telinga konsumen dan masyarakat pengguna produk Deltomed pada umumnya, untuk menyaksikan kredibilitas dan gambaran prospek industri farmasi berbasis herbal yang dikembangkan oleh PT. Deltomed Laboratories.
Dan kredibilitas itu terkonfirmasi sebagaimana saya ungkapkan dalam tulisan ini yang saya unggah pekan lalu. Selebihnya pihak Deltomed memberikan ruang kepada sepuluh Kompasianer untuk melihat sisi lain dari Wonogiri dan Solo, baik tempat wisata, tempat belanja dan situs bersejarahnya.
Namun bagi saya, kembali ke Solo lagi setelah duabelas tahun, membawa sensasi tersendiri. Setidaknya sebagai pemerhati pembangunan infrastruktur daerah, saya berkesempatan membandingkan, meski sekilas, apa saja yang telah berubah selama pemerintahan Joko Widodo yang sempat memimpin Solo selama kurang lebih satu setengah periode atau sekitar tujuh tahun. Pasalnya Gubernur DKI jakarta itu banyak mengambil contoh praktis tentang pengelolaan pemerintahan yang baik dari Solo saat menjelaskan berbagai hal yang berhubungan dengan pemerintahan dan pembangunan.
Mendarat di Bandara Internasional Adi Soemarmo, Solo sekitar pukul 9:30 Jumat pagi setelah terbang dari Jakarta sekitar 50 menit, mata saya langsung mendapat kesan kalau Solo memang telah berubah banyak. Karena terakhir seingat saya Bandara Adi Sumarmo lebih kecil dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, dan hari itu saya melihat Adi Sumarmo jauh lebih besar serta turun dari pesawat garuda Indonesia yang kami tumpangi menggunakan belalai gajah atau gerbarata menuju terminal penumpang.
Saya tidak ingat persis apakah Bandara Adi Sucipto Yogyakarta sudah menggunakan gerbarata atau tidak ya? Ingatan saya sepekan lalu, dua hari sebelum ke Solo saya naik dan turun dari pesawat masih menggunakan tangga manual. Meski hal yang kecil, tetapi seperti kata banyak pelancong, bandara udara adalah etalase dan cermin kemajuan suatu daerah tujuan.
Dari Bandara kami dijemput dua buah bus ukuran 3/4 sedianya langsung ke lokasi pabrik farmasi PT. Deltomed di Wonogiri. Ke luar dari area Bandara, sejumlah hotel baru dan bagus kelihatan berdiri di kiri dan kanan Jalan. Tidak terbayang berapa banyak orang yang datang ke Solo untuk berbagai tujuan. Ini sebuah prestasi yang layak diacungi Jempol bila Pemerintah Daerah mampu menarik pendatang yang memungkinkan hotel dan restoran tumbuh pesat.
Karena penasaran saya bertanya kepada pengemudi di samping kiri saya ada berapa banyak hotel di sekitar Bandara Adi Soemarmo.
“Ada sekitar tigapuluhan, Mas,” jelasnya.
"What? Tiga puluhan?" Maaf kalau saya terkejut. Meski didominasi hotel bintang tiga dan empat dengan beberapa bintang lima, ternyata di seantero Solo setidaknya terdapat 42 buah hotel berbagai kelas. Tak mengherankan bila kita tahu bahwa Solo sebenarnya adalah kota kedua terbesar kedua di Jawa Tengah setelah Semarang. Bagi saya mengejutkan karena saya punya memori tentang Solo setidaknya 12 tahun lalu.
Infrastruktur ekonomi ini jarang diperhatikan dan diperhitungkan sebagai indikator kemajuan, padahal hotel dan penginapan adalah salah satu bentuk bisnis jasa yang sensitif terhadap situasi perekonomian dan kondisi sosial, budaya dan keamanan setempat. Pada sisi lain, pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh sejauh mana pemerintah melakukan upaya-upaya strategis yang memungkinkan meningkatkan alasan pendatang temporer dari luar untuk datang ke Solo.
[caption id="attachment_330710" align="aligncenter" width="638" caption="Bandara Udara sejatinya ibarat teras dari sebuah rumah, beranda dari sebuah kota | www.runway-aviation.com"]
Solo On The Right Track
Mengamati infrastruktur jalan dan jembatan sepanjang perjalanan ke Wonogiri, terasa sangat lancar. Berbeda dengan kebanyakan kota lain di Jawa dan di luar Jawa yang saat ini sudah diwarnai kemacetan. Fisik jalan yang mulus dan pengaturan lalu lintas yang baik menjadikan perjalanan ke Wonogiri seakan wisata cuci mata (sightseeing).
Terbayang kalau jalan inilah yang setiap hari harus dilewati oleh armada distribusi Deltomed untuk memenuhi pasar di pulau Jawa dan tentunya luar pulau Jawa melalui ekspedisi udara. Berarti jalan ini adalah jalan ekonomi yang biasanya sangat dimaklumi bila macet seperti kebanyakan jalan di Pantai Utara Jawa. Namun karena sepertinya jalan multi fungsi, maka kemampuan untuk memadukannya sebagai jalan sehari-hari warga termasuk untuk pengguna kendaraan bermotor dan sepeda patut dicontoh oleh kota lain.
Di tengah kota Solo yang seharusnya semakin padat, justru di beberapa bagian terlihat lengang. Sejumlah pejalan kaki tampak menikmati trotoar lebar seperti laiknya di manca negara pepohonan yang rindang mengesankan adanya arahan pengembangan kota ini menjadi kota yang ramah lingkungan.
Lagi-lagi saya terpesona dan harus jujur mengakui bahwa sentuhan tata kota yang direncanakan untuk berkembang ke arah kota yang asri 20 hingga 50 tahun ke depan terlihat pada tata kota Solo yang di sana-sini masih terdapat banyak space yang tentu akan memudahkan untuk pembangunan infrastruktur lain bila diperlukan sesuai peruntukannya.
Candi Di Atas Awan
Bergerak sedikit ke luar kota Solo untuk melihat Solo dalam keseluruhan landscape-nya kami pada hari kedua berada di Solo sepakat menuju Kabupaten Karanganyar mendekati sebuah kawasan pegunungan yang dikitari gunung berapi. Setidaknya dari lokasi dimana mobil yang kami tumpangi mulai mendaki samar-samar kelihatan Gunung Lawu, Gunung Merbabu, Gunung Merapi dan di kejauhan teridentifikasi oleh pengemudi kami Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.
Rupanya kami sudah meninggalkan kota Solo sejauh 30 km lebih namun seiring dengan pendakian kami menuju Candi Cetho di puncak Gunung Cetho, hamparan kota Solo terkadang muncul di balik gumpalan kabut yang semakin menebal. Demikian pula pusat kota Kabupaten Karanganyar terkadang hanya seperti mengintip pelancong yang merangkak meliuk-liuk beriringan di atas mobil wisata, pribadi dan kendaraan roda dua. Fenomena kabut yang terus merangkak naik ke ketinggian membawa sensasi tersendiri, seakan kita sedang mendaki 'Candi Di Atas Awan.
Di sana-sini jalanan mulai rusak yang kalau tidak segera diperbaiki dalam dua atau tiga tahun ke depan bukan mustahil jalan terjal itu tak lagi bisa dilewati kendaraan roda empat. Padahal melihat hamparan pertanian masyarakat di hampir semua sisi lereng, didominasi sayuran dan palawija. Tak bisa disangkal jalan ini lebih besar fungsi ekonominya bagi masyarakat daripada fungsi wisata bagi pendatang.
Memang Candi Cetho yang diperkirakan dibangun di akhir kejayaan kerajaan majapahit di Abad 15 di desa Cetho, dusun Gumeng, Kabupaten Karanganyar, sejatinya dibangun bukan sebagai obyek wisata melainkan sebagai tempat peribadatan umat Hindu yang ajarannya masuk ke wilayah Nusantara dari India. Makanya sebahagian pakar sejarah malah memperkirakan Candi Cetho dibangun beberapa abad sebelumnya bahkan sebelum Majapahit berdiri.
Artefak yang berupa arca, perangkat peribadatan dilengkapi dengan simbol-simbol kesuburan, kelahiran dan kematian yang dilambangkan dengan alat reproduksi, senjata dan binatang, melihat kondisinya saat ini, tak akan lama lagi berada di tempat itu. Kesan tua dan lapuk di sana-sini memang tak mengganggu pengunjung wisata yang sekedar ingin seru-seruan telah membuktikan diri berada di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut.
Namun tentunya tidak bagi sejarawan yang belum banyak mengungkap jati diri masyarakat yang hidup turun temurun bergantung pada keramahan alam dan kelimpahan sumberdaya di sekitar mereka. Bagi saya sebagai pengamat yang kebetulan terdampar di puncak gunung Cetho hari itu mungkin hanya bisa berharap akan ada orang dari pihak masyarakat, kalangan ahli atau pemerintah kabupaten Karanganyar yang mencoba berpikir dan menggalang tindakan menyelamatkan situs purbakala itu bukan atas nama agama melainkan dalam perspektif yang lebih besar yakni menyelamatkan aset budaya Nusantara dan peninggalan budaya dunia.
Demikian pula dengan infrastruktur penunjang ke tempat situs budaya dan peribadatan umat Hindu itu, ada baiknya diintegrasikan dengan pengembangan pariwisata yang lebih luas, bukan sekedar milihat candi tua dan minum teh setelahnya, melainkan mencoba melihat kehidupan agraris penduduk gunung Cetho dengan segala keunikan dan produktivitasnya, bagian dari paket wisata agro yang layak dipromosikan secara bersama-sama.[@bens_369]
[caption id="attachment_330713" align="aligncenter" width="638" caption="Candi di atas awan, pertanian dan akses jalan menikmati semua itu kiranya mendapat perhatian | Ilustrasi Ben B. Nur"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H