Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Beasiswa Dari Jepit Rambut, Sebuah Inspirasi

21 Juli 2014   18:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:42 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_334552" align="aligncenter" width="638" caption="Dari limbah kain perca, jepit rambut ternyata bisa menjadi beasiswa bagi sejumlah murid SMPN 2 Pagedangan Kabupaten Tangerang Provinsi Banten | foto ilustrasi: hell22.wordpress.com"][/caption]

Apa daya seorang anak yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP menghadapi hari esok saat ayahnya yang mengidap penyakit tuberkulosis hanya bisa berbaring lemah didera batuk yang seakan tak mau berhenti. Profesinya sebagai pengangkut sampah dari rumah-rumah ke tempat pembuangan akhir tak bisa lagi ia lakoni.

Ibu si anak yang selama ini bisa menjadi pengganti dengan bekerja sebagai buruh cuci, beberapa pekan terakhir juga sedang berbaring sakit, Ia terkena penyakit asma. Jadilah Rizki, nama anak itu, beberapa hari ini tak masuk sekolah karena harus mengurus kedua orangtuanya di rumah yang terbaring sakit.

Haruskah Rizki yang sehari-harinya terkesan minder dan kurang gizi itu kali ini benar-benar kandas setelah sekian lama orangtuanya berjuang dan berharap agar nasib anak semata wayangnya dapat berubah melalui bangku sekolah?

Seharusnya sudah kandas. Seharusnya Rizki tinggal menghitung hari atau pekan sebelum alih profesi menjadi pemulung, pengemis atau padagang asongan untuk menyambung hidup dan sedikit membantu keluarganya. Ini bukan prediksi melainkan pola yang sudah terjadi pada ratusan bahkan ribuan anak di negeri yang seharusnya gemah ripah loh jenawi ini.

Menyiasati Kendala Ekonomi

Karena ekonomi yang menjadi syarat langgengnya proses pendidikan formal di dunia kapitalis, maka ekonomi tak harus disalahkan. Sebisa mungkin syarat itu direngkuh untuk meyakinkan kaum tak mampu bahwa ekonomi bisa disiasati demi mendaki tangga pendidikan menuju perbaikan kehidupan ekonomi yang lebih baik.

Maka ketika Tuti dan Heru mendatangi rumah Rizki di sebuah pemukiman kumuh dekat tempat pembuangan akhir sampah, kedua guru SMP 2 Pagedangan itu sebenarnya sedang berjalan ke dalam inti sebuah fenomena pendidikan di negeri ini. Dilema antara impian setiap anak untuk berseragam dan duduk manis di bangku sekolah sambil menerima pelajaran dengan kendala ekonomi keluarga mereka.

Tuti dan Heru tentu saja prihatin melihat kehidupan keluarga Rizki di sebuah gubuk kontrakan yang pengap, lembab, basah dan tak berventilasi. Ayah yang tuberkulosis dan ibu yang mengidap asma adalah kombinasi yang akan menguras air mata penonton bila disinetronkan. Tetapi Tuti dan Heru bukan produser sinetron.

Mereka juga bukan dari acara Reality Show Televisi yang bisa datang ke rumah-rumah penduduk miskin sembari membagikan segepok uang warna merah atau biru yang masih kaku karena baru diambil dari bank. Mereka juga bukan pembawa acara renovasi rumah yang bisa “menyulap” rumah kumuh menjadi layak huni dalam semalam.

Mereka hanya guru biasa. Mereka adalah guru kebanyakan yang mencoba melihat dunia pendidikan dari sisi yang sedikit berbeda dengan cara pandang umum, bahwa guru tugasnya cuma sebatas tembok ruang kelas atau pagar halaman sekolah. Mereka mencoba melangkah sedikit lebih jauh ke luar pekarangan.

Padahal bila seorang murid tak masuk sekolah cukup ditulis tanda merah di absen. Setelah tiga hari bertutur-turut, layangkan surat teguran kepada orang tua sang murid. Setelahnya, siapkan surat pemberhentian. Adakah cara lain agar setiap anak bisa mendapatkan perlakuan yang adil sampai batas dimana mereka sendiri yang lari dari sekolah dan bukan sekolah yang “menendangngnya” karena ketidakpedulian atau ketidak-mauan untuk peduli?

Karena kepedulianlah maka bu guru Tuti yang bernama lengkap Tuti J. Rismarini ini mengetahui bahwa kondisi anak didik di lingkungan sekolahnya yang seperti Rizki tidak hanya satu kasus.Anak didik yang usianya belum sampai bisa memikirkan dan menjawab mengapa keluarganya diperhadapkandilema antara membiarkannya tetap berada di ruang kelas bersama teman-temannya dengan ketidakmampuan orangtuanya untuk membiayai.

Tuti kemudian aktif berselancar di internet untuk mencari tahu solusi yang kemungkinan bisa ditawarkan bagi anak didiknya yang seperti Rizki. Tuhan menyambut, ia berkenalan dengan seorang tokoh yang pernah mendapatkan penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan gagasan “Rumah Moral”-nya. Melly Kiong sang pelopor menawarkan sebuah pendidikan kecakapan hidup atau yang biasa disebut life skill education melalui kegiatan pembuatan jepit rambut dari limbah kain kepada Tuti.

Cerita berlanjut, tentu saja tidak mulus. Seperti ditulis dengan sangat apik dan mengalir oleh sang guru yang sekaligus Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten ini, upaya memberikan pelajaran kecakapan hidup (life skill) kepada anak didiknya dengan keterampilan membuat jepit rambut mendapatkan dukungan dan penentangan yang tak ringan di awal ia memperjuangkannya untuk menjadi bagian dari kurikulum di sekolahnya.

Kalau akhirnya hasil dari pembuatan dan penjualan jepit rambut pada skala komersil bisa ia jadikan beasiswa bagi murid-murid yang tidak mampu, itu adalah cerita manisnya. Maka saya tinggalkan pembaca untuk menyelesaikan sendiri membaca kisah menarik tentang “Beasiswa dari Jepit Rambut” oleh Tuti J. Rismarini, dari halaman 120 – 135 di buku bertajuk ‘Oase Pendidikan Di Indonesia – Kisah Inspiratif Para Pendidik”.

[caption id="attachment_334566" align="aligncenter" width="638" caption="Oase Pendidikan, Cerita inspiratif dari para pendidik | Ilustrasi: penebar swadaya"]

14059154041627956397
14059154041627956397
[/caption]

Tiga Dalam Satu Keutuhan

Buku yang diterbitkan oleh Tanoto Foundation ini memang bukan buku sembarang. Dengan tebal 260 halaman buku ini menyajikan 16 kisah inspiratif dari para pendidik yang menamakan diri mereka Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan.

Dengan cerdas penerbit buku ini membagi tiga kelompok tulisan ke dalam tiga bagian besar yang sebenarnya sangat akrab di kepala kebanyakan orang dari lingkup displin ilmu manapun. Kalau Anda orang yang bekecimpung di bidang lingkungan, pasti akrab dengan tiga komponen yang menjamin keberlanjutan kehidupan ini yakni unsur keselamatan planet (environment), manusia yang hidup di dalamnya (people) dan kemanfaatan mutualistik interaksi antara manusia dan lingkungannya (mutual profit).

Buku ini pada bagian bertama menyajikan cerita inspiratif bagaimana para pendidik memfasilitasi proses pengenalan anak didik terhadap diri mereka. Bagaimana mengajarkan anak didik bersyukur, berempati, berkawan dan membentuk karakter mereka. Dan yang tak kalah pentingnya bagaimana pendidik memerdekakan diri dari pakem pengajaran yang kaku untuk melahirkan kreativitas pengajaran yang memerdekakan anak didik.

Diantara lima cerita yang sangat inspiratif pada bagian pertama ini, satu cerita yang sangat menguggah saya adalah inspirasi dari Bambang Wisudo yang menulis “Lagu Gaza untuk Murid-muridku”. Bambang yang mengajar bahasa Inggris di Sanggar Akar di pinggiran sungai Kalimalang Jakarta Timur ini menceritakan bagaimana lagu Michael Heart berjudul “We Will Not Go Down “ yang ia unduh dari Youtube ia tayangkan di hadapan murid-muridnya.

Ia menuliskan: “Hening sesaat ketika video klip We Will Not Go Down kuputar pertama kali di kelas bahasa Inggrisku di Sekolah Otonomi Sanggar Akar...” Ia mengajarkan bahasa Inggris dengan lagu heroik? Keren banget, pikirku. Sebuah kemewahan yang hanya mungkin didapatkan di sekolah yang tidak diatur ketat oleh pembuat kurikulum yang nyaris tidak punya jiwa.

Mengapa itu mengesankan? Saya berani bertaruh lagu itu tidak akan pernah dilupakan oleh anak didik itu seumur hidup. Apalagi karena mereka belajar bahasa Inggris dari lagu itu, mereka pada akhirnya akan tahu maknanya dan tak menutup kemungkinan ini sekaligus menjadi pembelajaran karakter, bagaimana mereka memahami penderitaan anak-anak seusia mereka di seberang samudera sana, dan mereka akan berempati.

Kami tidak akan menyerah
Di malam hari
Kalian bisa membakar masjid, rumah dan sekolah kami
Tapi semangat kami tidak akan pernah mati
Kami tidak akan menyerah
Di Gaza malam ini

Lima cerita yang disuguhkan benar-benar mewakili pesan inti yang ingin disampaikan oleh editor buku ini yakni “Pembelajaran yang Memerdekakan”. Memerdekakan anak didiknya dan memerdekakakan pendidiknya, itu yang penting karena pendidikan seharusnya tidak boleh memasung kreativitas.

Pada bagian kedua, editor membumikan kembali euforia kemerdekaan pendidian untuk melihat kenyataan bahwa urusan anak didik bukan semata urusan antara pendidik dengan anak didiknya atau antara guru dengan muridnya melainkan yang tak kalah pentingnya hubungan murid-guru dengan lingkungannya.

Sulit membayangkan bagaiamana esensi pendidikan yang memerdekakan bisa diwujudkan kalau guru tak mau tahu di lingkungan seperti apa murid-muridnya berasal, bagaimana kesulitan murid untuk sampai ke sekolah dan pulang ke rumah dengan selamat.

Satu hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana perjuangan setiap keluarga agar anak-anak mereka tetap dapat berada di bangku sekolah dan memastikan bahwa pendidikan anak-anak mereka tak akan terbengkalai hanya karena orangtuanya mengalami ketidakberuntungan secara ekonomi.

Maka ketika “Beasiswa Dari Jepit Rambut” mengawali bagian kedua dari buku yang bertajuk ‘Anak dan Komunitas Belajarnya’ ini, tentu pembaca akan sangat memahami bagaimana seorang pendidik sejati berusaha urun rembuk membantu kondisi ekonomi setiap murid dari keluarga yang kurang mampu.

Ada empat cerita inspiratif pada bagian kedua ini, semuanya menawarkan inspirasi tentang bagaimana menjadikan sekolah menyatu dengan lingkungannya. Ini kita bicara tentang sekolah secara umum, baik swasta maupun negeri bahwa seharusnya setiap sekolah berpijak pada lingkungannya sehingga orang pertama yang melihat kemanfaatan suatu institusi pendidikan adalah masyarakat yang hidup di sekitarnya.

Bagian ketiga yang awalnya saya pikir agak serius adalah cerita tentang ‘Membangun Profesionalisme Guru’. Apalagi sejumlah tulisan yang judulnya tak kalah angkernya, sebutlah yang ditulis oleh Ginanjar Hambali, guru SMA Negeri Pandeglang Banten. Di halaman 180 ia menulis sebuah tulisan “Sertifikasi Bukan Sihir”, kesannya sangat provokatif.

Ia menulis semacam otokritik bagi profesi guru dari sisi sertifikasi. Mengapa sertifikasi itu begitu penting sampai-sampai setiap Calon Presiden pun diperhadapkan pada tuntutan harus tetap melanjutkan sertifikasi guru kalau terpilih apapun yang terjadi, meskipun istilah kata, langit akan runtuh.

Ternyata, seperti ditulis Ginanjar, perkaranya bukan soal sertifikatnya yang memberikan cap bagi pemegangnya sebagai ‘guru profesional’ tetapi yang terpenting bahwa kalau telah memiliki sertifikat ini berarti sang guru yang berstatus pegawai negeri berhak atas tambahan penghasilan satu kali gaji pokokatau Rp. 1.500.000 bagi yang belum berstatus pegawai.

Seperti hukum ekonomi yang berlaku universal “income elasticity of demand” bahwa kebutuhan akan menyesuaikan diri terhadap pendapatan, maka kenaikan gaji guru dari sertifikasi ini membuat guru tidak lagi sekedar berpikir untuk suatu saat memiliki sepeda atau motor seperti Oemar Bakri, kini pikirannya adalah mobil.

Betapa tidak, dengan kenaikan gaji setara satu bulan gaji pokok, guru yang biasanya suami istri dengan gaji pokok katakanlah Rp. 2 juta,-bisa berharap menerima sekitar Rp. 40 juta setelah potong pajak, nilai yang tentu saja bisa langsung dijadikan uang muka untuk mobil baru yang seharga Rp. 150 juta.

Maka fenomena selamatan telah membeli mobil baru menjadi sebuah keseharian di kalangan guru setelah adanya sertifikasi. Itu hanya ekses dari sertifikasi sebagaimana yang banyak disorot media. Tetapi cerita lain seputar manfaat sertifikasi sangat banyak. Penulis melihat adanya peningkatan animo guru untuk mengembangkan diri, menyelesaikan S1 sampai jenjang yang lebih tinggi atas inisiatif sendiri tak kalah banyak.

Semoga Oase Itu Semakin Banyak

Walhasil buku ini memang menjadi oase, semacam tempat persinggahan sementara di tengah gersangnya padang pasir. Buku ini menawarkan segenggam kesejukan dari cerita dunia pendidikan yang belakangan banyak disorot media dari sisi kekerasan, tawuran, pelecehan seksual dan sebagaianya.

Itu semua tak lepas dari masih adanya guru yang berdedikasi pada profesinya, tulis Zaim Uchrowi, CEO, pendidik karakter dan perubahan pada pengantar buku ini. Mereka yang memberikan perhatian, mengasihi dan menyayangi setiap muridnya.

Sudah saatnya kata Zaim Uchrowi, pendidikan kembali mengangkat soal aspek ‘jiwa’ agar sama berharga dengan ‘raga’ dan ‘rasa’ didudukkan kembali sama tinggi dengan 'raga'.

Sementara Prof. Anita Lie. Ed D. Guru besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendiidikan Surabaya dalam prolognya mengingatkan bahwa guru yang baik adalah para individu yang memahami mengapa mereka menjadi guru dan peduli pada peserta didik.

Pada akhirnya, profesi guru yang sejatinya adalah profesi yang mulia akan semakin mulia oleh adanya guru-guru yang semakin kreatif megelola proses pengajaran tanpa keluar dari rel kurikulum. Mereka yang mendedikasikan waktu ekstra mereka bukan untuk mencari penghasilan tambahan melainkan menemukan solusi kreatif agar bersekolah menjadi pengalaman yang lebih mengesankan, mencerdaskan dan selalu dikenang oleh anak didik.

Itulah salah satu harapan dari pendiri Tanoto Foundation, Sukanto Tanoto bersama Tinah Bingei Tanoto, membantu dan mendorong sekolah-sekolah dan para pengajarnya lebih kreatif agar kualitas pendidikan di negeri ini lebih setara. Tanoto Foundation melihat pendidikan di Indonesia masih diwarnai dengan ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan yang berkualitas.

Sekolah-sekolah di daerah pinggiran dan yang "terpinggirkan" menampung dan mengajar anak didik sekedar mengugurkan kewajiban. Sekolah menjadi tidak menarik bagi kebanyakan anak didik yang memang cara dan metode pengajarannya ala kadarnya. Padahal Sukanto Tanoto melihat bahwa pendidikan memegang peranan strategis bagi masa depan setiap orang.

Sukanto Tanoto yang sempat terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena keterbatasan kondisi ekonomi keluarga, tak pupus semangatnya belajar secara mandiri. Semangat belajar yang dipadu dengan semangat kewirausahaan yang tinggi akhirnya mengantarkan Sukanto Tanoto menjadi pengusaha dan membangun bisnis keluarga Tanoto yang sukses hingga kini.

Semangat belajar dan berkreasi dari para guru yang menuliskan pengalamannya di dalam buku ini memiliki kesamaan dengan semangat dan kreativitas Sukanto Tanoto. Semoga mereka dapat menularkan semangat dan kreativitas itu kepada anak didik dan pengalamannya yang dituliskan di dalam buku ini menjadi oase tempat mengusir dahaga pembaca dan para guru di Indonesia yang merindukan pendidikan yang lebih memiliki jiwa, gairah dan semangat kejuangan seperti yang juga pernah diperlihatkan Ki Hajar Dewantoro ketika membina dan membesarkan Taman Siswa.

Terimakasih Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan, dan juga terimakasih kepada Tanoto Foundation. Semoga Oase itu makin meluas dan banyak. [follow: @bens_369]

———————————-oOo———————————-

Judul Buku | Oase Pendidikan Di Indonesia
Penulis | Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan
Editor | Bambang Wisudo & Lisa Esti Puja Hartanti
Penerbit | Tanoto Foundation & RAS (Penebar Swadaya)
ISBN | 978-979-013-204-7
Genre | Pendidikan/ Motivasi
Cetakan | I 2014
Jumlah Halaman |280 Halaman

——————————–@bens_369——————————–

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun