Tetapi sebelum mengemukakan itu, Prof. Sidu mengutip satu kata bijak Yunani yang kebetulan juga salah satu kata ilhami yang saya sukai: “Nil Novi Subsole” yang artinya, di bawah matahari sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru. Konsep pembangunan komunitas (community development) sudah dikembangkan sejak lama oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Bahkan Di Korea Selatan, masih tulis Prof. Sadu, sudah lama dikenal konsep “Saemaul Undong” atau The New Community Movement yang dimotori oleh mantan Presiden Korea Selatan di era 1970-an, Park Chung He.
Lalu apa yang sebenarnya menarik dari konsep Yansen yang dituangkan dalam buku setebal hampir 180 halaman ini? Saya yakin ini pertanyaan umum yang menghadang kesadaran setiap orang yang akan menginvestasikan waktu membaca buku ini.
Setelah membaca keseluruhan isi buku Revolusi dari Desa ini, meskipun tergolong serius, tetapi dari segi bahasa dan gaya penuturan yang masih tergolong ringan, saya sampai pada kesimpulan kalau Yansen sebenarnya ingin menegaskan bahwa janganlah kita berharap banyak bisa memetik buah pembangunan kalau tidak sungguh-sungguh melakukannya di desa, oleh orang desa dan dirasakan hasilnya oleh orang-orang di desa.
Saya akhirnya tersadar kalau pendekatan GERDEMA layak disebut sebagai paradigma baru dikarenakan sungguh-sungguh memandang perangkat pemerintahan desa sebagai aktor utama pelayanan pemerintahan yang sanggup menjalankan tugas-tugas pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat yang selama ini dominan dikeluhkan oleh masyarakat dapat diatasi dengan cepat dan efisien.
Karena cara pandang GERDEMA seperti itu, maka dalam prakteknya hamoir semua potensi pemerintah didistribusikan ke desa-desa sehingga tersedia dana untuk meningkatkan kapasitas aparat desa, membangun sarana dan prasarana yang diperlukan untuk terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat serta dana untuk menjamin imbalan yang layak bagi perangkat desa dapat dipenuhi.
“Yang tidak biasa berkantor, didampingi, diberdayakan dan dibimbing untuk bisa berkantor layaknya aparat pemerintah,” jelas Yansen saat memberikan presentasi tentang GERDEMA kepada sejumlah Kompasianer beberapa waktu lalu.
Dengan berseloroh Yansen menggambarkan suasana penerapan GERDEMA awalnya seperti lakon sinetron yang ditonton oleh khalayak. Tentu saja ada yang suka dan memberikan dukungan sejak awal namun tidak sedikit yang skeptis terhadap kemungkinan kelanggengan pendekatan itu.
Namun Yansen sangat optimis mengenai kelangsungan pendekatan ini karena baik aparat desa maupun masyarakat terlihat mulai menikmati manfaat dari pelayanan yang memungkinkan segala urusan mereka yang berhubungan dengan pemerintah menjadi sangat lancar.
“Saya berkeyakinan bahwa apabila masyarakat desa diberikan kepercayaan dan tanggungjawab yang jelas, pasti mereka akan mengemban kepercayaan itu dengan baik,” tulis Yansen.
Yansen seakan ingin menegaskan bahwa roh dari GERDEMA ini adalah “kepercayaan” atau “trust” yang tidak setengah-setengah. Ini juga ditegaskan pada sub judul yang menyebutkan: “Saatnya Dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya Kepada Rakyat.”
Saatnya percaya sepenuhnya, tersirat maksud bahwa sebelumnya kita atau mungkin yang dimaksud elit pemerintahan pada tingkat yang lebih tinggi kurang memberikan kepercayaan kepada masyarakat desa meskipun program pembangunan yang dilaksanakan mengatasnamakan masyarakat desa.