Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Cicak dan Buaya Tak Akan Pernah Bentrok

25 Januari 2015   21:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_366028" align="alignnone" width="618" caption="Cicak vs Buaya hanya mungkin bentrok di kepala yang kurang waras | Ilustrasi: www.rmol.co.id"][/caption]

Cicak dan buaya tidak pernah akan bentrok, sampai kapanpun. Mengapa kita mau begitu saja dibodohi oleh orang yang memperkenalkan istilah ini pertama kali, siapapun itu bahwa cicak bisa bentrok dengan buaya?

Pasalnya mereka hidup di alam yang berbeda. Cicak hidup di tempat kering, buaya di tempat basah. Cicak makan serangga, buaya makan daging, cicak cenderung berjalan vertikal di dinding, buaya berjalan melata horizontal di darat.

Kalau tetap memaksa sang buaya bertarung berhadapan dengan mahluk yang lebih kecil darinya dan agak mirip bentuknya, mungkin bisa dijajal dengan biawak, sama-sama reptilia pemakan daging. Atau kalau dibutuhkan dramatisasi yang besar melawan yang kecil, kadal masih bisa dipaksakan masuk ke arena sebagai pemeran pengganti.

Lihatlah orangtua kita dahulu membuat pepatah, “Buaya dikadalin”. Sangat cerdas, kan? Karena memang kadal yang relatif besar, sebutlah biawak, sering dipandang saru disangka buaya, apalagi di rawa-rawa yang lembab dan gelap. Sebaliknya buaya yang kurus karena jarang dapat mangsa sering disangkakan kadal besar (biawak) sehingga lahirlah pepatah itu.

Ada situasi kadang dimana seseorang memandang enteng orang lainnya karena hanya memandang sekilas tampilan luar di keremangan. Disangkanya hanya seekor biawak yang umumnya dianggap tidak berbahaya karena hanya memangsa hewan peliharaan seperti ayam atau bebek, begitu didekati malah mencaplok kaki bahkan batang leher. Saat itu terjadi baru sadar bahwa yang dihadapi bukan biawak tapi buaya, meski buaya yang rada kurus tapi tak kurang ganasanya.

Coba andaikata orangtua dahulu membuat pepatah, “Buaya koq dicicakin”, pasti saya dan mungkin anda, kalau mau ikut, ngakak sambil berguling-guling membayangkan kebodohan cicak diperbandingkan dengan buaya. Mata apa yang anda pakai koq bisa menyangka buaya cicak, mata rabun pun bisa membedakan itu. Tapi kadal besar (biawak) dengan buaya kurus, memang bisa saru. Cerdas !

Lihatlah bagaimana sekarang para pelawak, dan munhgkin juga kita, sering memperolok-olokkan lagu “Bintang Kecil” yang kadung terkenal dengan syairnya: “bintang kecil di langit yang biru, amat banyak menghias angkasa...” Memang pantas diprotes syair ini karena untuk melihat bintang kecil, bahkan bintang yang besar sekalipun dibutuhkan langit yang gelap atau hitam, dan kemungkinan besar itu di malam hari. Sementara langit biru mustahil terjadi di malam hari, pasti siang hari. Lalu adakah diantara kita yang pernah melihat bintang dengan mata telanjang di langit yang biru? Hmmm, mikir lagi kata cak Lontong.

Makanya, mungkin admin dan pembaca lain agak bingung membaca tulisan saya yang bertajuk Selamatkan KPK, Rengkuh POLRI Dengan Cinta yang barusan saya tayangkan di Kompasiana karena saya menggunakan istilah kadal vs buaya bukan ikut “istilah populer tapi salah kaparah” cicak vs buaya.

Karena KPK ranah tugasnya di bidang penyidikan dan penindakan perkara, meskipun khusus pidana korupsi, dan POLRI juga di ranah yang sama, bahkan lebih luas lagi, maka memang mereka berpotensi berkonflik. Ibarat kadal dengan buaya paling tidak bisa berkompetisi meskipun sangat kecil kemungkinannya kecuali dengan kadal yang lebih besar bernama biawak atau komodo.

Terlepas dari keinginan meluruskan istilah itu, sebagai warga negara biasa yang saya impikan bukanlah kadal vs buaya melainkan kadar dan buaya bersinergi menjaga habitatnya dan ekosistem Indonesia secara keseluruhan dari predator-predator berwajah seribu yang bernama koruptor. Begitu saja, silahkan simak tulisan saya pada tautan di atas. Selamat berakhir pekan. [@bens_369]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun