Mohon tunggu...
ben10pku
ben10pku Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati (yang kata banyak orang) sangat jeli menilai sesuatu.

Generasi 70an. Suka membaca novel pengembangan kepribadian. Tokoh favorit adalah karakter-karakter Walt Disney.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Carut Marut Perpajakan Kita

31 Agustus 2016   12:19 Diperbarui: 31 Agustus 2016   12:35 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya adalah wajib pajak pribadi yang sudah melaporkan pajak saya mulai dari tahun 2008 sampai sekarang (gara-gara aturan bebas fiskal tahun 2008 lalu). Saya juga membantu pelaporan pajak teman dan keluarga saya. Selama 8 (delapan) tahun pelaporan pajak ini saya memiliki beberapa unek-unek yang menurut saya semuanya adalah penyebab carut marutnya perpajakan kita. Berikut adalah beberapa unek-unek saya yang saya rasa wajib diperhatikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan supaya membuat pajak itu lebih menyenangkan dan manusiawi.

Pertama,membayar pajak kok dipersulit? Perlu diperhatikan bahwa teman saya yang sudah sarjana ekonomi jurusan perpajakan mau melaporkan pajaknya terpaksa harus ikut kursus BREVET A. Bisa disimpulkan bahwa membayar pajak itu gampang tetapi membuat laporan pajaknya itu yang sulit. Apalagi sekarang ditambah dengan keharusan wajib pajak melaporkan pajaknya menggunakan sistem komputer dan mengunggahnya via online. Teman saya yang jurusan teknik informatika aja sampai harus bolak balik kantor pajak untuk belajar penggunakan aplikasi komputer dan sistem online itu.

 Masalah tambah kacau dimana di tempat saya (Pekanbaru), Konsultan Pajak (Account Representative/AR) malah ada yang tidak menguasai pelaporan pajak via komputer ini. Pertanyaannya sekarang adalah yang wajib kerja ekstra sekarang itu wajib pajak atau pegawai pajak? Lebih baik bercermin ke perusahaan asuransi atau pembayaran saja dimana kita sebagai pelanggan taunya cuman bayar saja. Lalu kalau kita kurang bayar kita akan diberitahu berapa kekurangan bayar kita. Kan gampang kalau sudah begitu?

Kedua, pengisian sendiri (self assestment) yang merepotkan dan membingungkan. Menyambung poin (1), bahasanya halusnya dari self assestment adalah pemerintah mempercayai warganya supaya mau melaporkan pajak sesuai perhitungan wajib pajak sendiri. Bahasa kasarnya adalah pemerintah (bagian pajak) malas (atau kekurangan pegawai) untuk menginput dan memeriksa laporan pajak dari wajib pajak dan jika ditemukan penyimpangan maka wajib pajak bisa langsung dihukum dan pihak pajak tidak bisa disalahkan karena bukan mereka yang mengisi laporan pajaknya. 

Seharusnya seperti poin (1)  tadi, kita cukup membayar sedangkan soal isi mengisi kan urusan pegawai pajak. Untuk perusahaan-perusahaan besar mereka sanggup menggaji ‘orang-orang pintar’ untuk melaporkan dan membayar pajak mereka. Tetapi untuk masyarakat khususnya orang pribadi tentunya dia akan merasa kesulitan karena ‘dia tidak sepintar orang-orang yang dipekerjakan perusahaan besar tadi’.

Ketiga, aturan-aturan perpajakan yang terlalu kaku dan bertele-tele. Contohnya, teman saya seorang dosen dengan penghasilan tidak tetap, pihak kampus sudah memotong pajak penghasilan teman saya tetapi teman saya tidak diberikan bukti potongnya padahal sudah memintanya berkali-kali. Walhasil teman saya harus membayar pajak penghasilan teman saya lagi di bagian penghasilan lain-lain atas saran dari konsultan pajak. 

Lalu ada orang tua teman saya yang sudah berumur 70 tahun dan pensiun tetapi memilki aset rumah dan uang tunai. Dia sekarang bingung bagaimana melaporkan pajaknya gara-gara pelaksanaan pengampunan pajak. Intinya adalah seharusnya aturan-aturan pajak itu sudah membahas hal-hal kecil atau yang mungkin terjadi jadi jangan hanya berpikir bahwa aturan pajak itu sudah bagus dan sempurna.

Keempat, kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Ini juga menjadi salah satu penyebab minimnya pembayaran pajak di negara kita ini. Sekali-kali petugas-petugas pajak itu dikirimkan ke pelosok-pelosok melakukan penyuluhan pajak ke masyarakat itu baru benar. Jadi jangan hanya sibuk berdiam di kantor pajak dan cuman sibuk memeriksa laporan pajak untuk menemukan kesalahan pembayaran pajak supaya bisa memberikan sanksi denda. 

Saya jadi teringat kejadian beberapa tahun yang lalu, dimana saya dimarahi oleh AR (Account Representative) saya gara-gara saya salah melaporkan pajak anggota keluarga saya karena saya tidak menyadari bahwa tahun itu ada perubahan aturan perpajakan. Agak sedikit kesal sih tapi yah mau bagaimana lagi dan dalam hati saya berkata, “masih syukur saya mau bayar pajak tapi kok malah dimarahi karena salah isi padahal sebenarnya kan yang harus isi itu kan saudara AR.”

Kelima, kurangnya ketegasan dalam penegakan hukum dimana petugas pajak masih tebang pilih objek pajak dan petugas pajak kurang jeli melihat peluang pajak. Teman saya seorang penjual nasi goreng kaki lima. Sehari dia bisa menjual sampai 100 bungkus nasi goreng dengan harga @ Rp. 8.000,- Omzetnya sebulan mencapai Rp. 24.000.000,- dan itu adalah jumlah yang lumayan besar. Tetapi saat orang pajak meminta dia melaporkan pajaknya dia malah berkeras tidak mau bayar dan petugas pajak tidak bisa berbuat apa-apa karena teman saya adalah pedagang kaki lima. 

Sudah menjadi rahasia umum kalau omzet penjualan makanan dari pedagang kaki lima itu luar biasa besar. Ada beberapa penjual makanan yang memiliki omzet sampai di atas Rp. 40.000.000,- per bulan. Mereka bisa beli rumah, mobil, kebun sawit. Tetapi mereka-mereka ini malah tidak pernah tersentuh oleh pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun