Pemeriksaan psikologis yang diberikan oleh Yayasan Pulih bahkan tidak dianggap sebagai bukti yang valid dan tidak dapat dijadikan alat bukti. Pemeriksaan psikologis seharusnya dapat menjadi bukti di dalam pengadilan. Di Amerika Serikat, keterangan ahli dan psikolog dalam bentuk pemeriksaan psikologis diakui sebagai bukti yang valid karena sudah diakui oleh American Psychological Association. Jenis trauma yang dialami oleh RW juga sudah masuk ke dalam buku pedoman psikolog seluruh dunia, yaitu The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Pemeriksaan psikologis pada dasarnya berisi tentang kondisi kejiwaan korban. Apabila korban mengalami trauma, maka dapat dipastikan bahwa hubungan seksual yang dialami korban berada di luar keinginannya, dengan kata lain korban mengalami pemerkosaan.
Proses penyidikan kasus ini telah berjalan berbulan-bulan. Namun, hingga hari ini pihak kepolisian belum mengambil langkah-langkah yang tegas untuk menyelesaikan perkara ini. Bahkan, pihak kepolisian telah memindahkan tanggung jawab penanganan kasus ini dari Subdit Remaja, Anak dan Wanita ke Subdit Keamanan Negara. Hal ini terbilang janggal karena Subdit Keamanan Negara bukan subdit yang memiliki kompetensi dalam menangani kasus pemerkosaan. Pihak kepolisian juga telah memeriksa RW, kedua korban Sitok lainnya, serta saksi-saksi dari pihak RW. Akan tetapi, Sitok sendiri malah tidak pernah
dipanggil kepolisian untuk diperiksa. Ia masih bebas berkeliaran seolah tak tersentuh hukum.
Saat ini, kasus ini terancam diberhentikan oleh kepolisian. Alasannya disebabkan oleh tidak terdapat bukti fisik yang cukup kuat pada tubuh korban. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan di atas, Sitok melakukan tindak kekerasan seksual berupa soft rape sehingga memang tidak terdapat bukti fisik. Padahal, beberapa kali tes psikologis menunjukkan bahwa korban mengalami depresi berat. Akan tetapi, saat ini landasan peraturan tentang kekerasan seksual belum mengakomodir bukti-bukti psikologis sebagai data pendukung suatu kasus. Hal ini membuat Sitok belum ditetapkan sebagai tersangka hingga saat ini dan kasusnya belum diusut secara tuntas. Ini tentu sangat merugikan korban. Padahal, korban membutuhkan keadilan.
Pada kesimpulan, kami pecaya bahwa apa yang dialami oleh RW merupakan sebuah kasus pemerkosaan. Trauma yang dialami RW merupakan salah satu bukti adanya suatu desakan sikap dari Sitok terhadap RW. Seperti kita ketahui, trauma akan hadir saat adanya kejadian / pengalaman yang tidak menyenangkan terjadi. Secara logika, jika kejadian ini merupakan kehendak dari RW, maka RW tidak akan mengalami trauma yang mendalam. Selain itu, kami mengharapkan adanya perbaikan terhadap pandangan kasus pemerkosaan dari segi hukum. Hukum di Indonesia harus lebih mempertimbangkan bukti psikologis sebagai pertimbangan dalam mengusut suatu kasus pemerkosaan.
REFERENSI
Kring, A. M., Davison, G. C., Neale, J. M., & Johnson, S. (2010). Abnormal psychology. NJ: John Wiley & Sons, Inc.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H