Mohon tunggu...
BEM FKIP UHAMKA
BEM FKIP UHAMKA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA

LEMBAGA EKSEKUTIF FKIP UHAMKA

Selanjutnya

Tutup

Financial

Kenaikan PPN 12%

28 Januari 2025   22:10 Diperbarui: 28 Januari 2025   22:10 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kajian Kampus, Sumber: BEM FKIP UHAMKA

Oleh: Hanifa Al fafa (BEM FKIP UHAMKA), Ikhman Akbar (BEM FKIP UHAMKA), Muhammad Hafizh Assariy (BEM UHAMKA) dan Jelow (Aliansi Pendidikan Gratis)

Nilai pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri. PPN bersifat tidak langsung, di mana pajak dibayar oleh konsumen akhir melalui mekanisme pembelian. Mulai tahun 2025, tarif PPN direncanakan naik dari 11% menjadi 12%. Kenaikan ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan pembayaran utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut. Namun, kenaikan ini menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan. Salah satunya pada sektor pendidikan yang seharusnya menjadi pendorong utama ekonomi meskipun tidak termasuk objek PPN sesuai Undang-Undang, tetapi tetap terdampak secara tidak langsung. Kenaikan ini terasa sangat nyata pada biaya kebutuhan sehari-hari masyarakat, seperti produk perawatan kulit (skincare), belanja kebutuhan pokok di minimarket, dan pembelian pulsa, dikenakan PPN, yang menambah beban ekonomi rumah tangga. Hal ini menjadi masalah besar bagi masyarakat yang cenderung konsumtif, yaitu lebih banyak membeli dibandingkan menjual. PPN merupakan pajak regresif yang berlaku tanpa memandang status sosial, sehingga dikenakan kepada seluruh kalangan masyarakat.

Akibatnya, daya beli masyarakat menurun, yang pada akhirnya dapat berdampak pada turunnya angka partisipasi pendidikan karena lemahnya pondasi ekonomi keluarga. Selain itu, kenaikan PPN berpotensi mengurangi konsumsi masyarakat. Jika daya beli terus menurun, perusahaan dapat mengambil langkah untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) demi mengurangi kerugian. Kebijakan ini seharusnya lebih terfokus kepada masyarakat dengan kemampuan ekonomi lebih tinggi, sehingga beban terhadap golongan masyarakat bawah dapat diminimalkan. Pemerintah juga telah memberlakukan kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak sebagai upaya menarik penerimaan negara. Namun, dampaknya belum cukup signifikan dalam meningkatkan stabilitas ekonomi. Pada awal Oktober, tercatat adanya deflasi atau penurunan aktivitas jual beli, yang mencerminkan bahwa masyarakat cenderung menghemat pengeluaran akibat meningkatnya tekanan ekonomi.

Kajian ini menyoroti pentingnya evaluasi kebijakan kenaikan PPN, agar tidak semakin membebani masyarakat dan melemahkan perekonomian. Kebijakan pajak yang lebih adil, terutama dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat bawah, sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas daya beli, partisipasi pendidikan, dan keberlanjutan ekonomi secara keseluruhan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun