Mohon tunggu...
BEM FKIP UHAMKA
BEM FKIP UHAMKA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA

LEMBAGA EKSEKUTIF FKIP UHAMKA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Akademia: Sisi "Radikal" dalam Mahasiswa yang Terasingkan

17 Januari 2023   18:05 Diperbarui: 17 Januari 2023   19:03 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BEM FKIP Uhamka kembali menggelar Akademia kedua dengan tema “Mahasiswa Radikal” berkolaborasi dengan ISC  (Intelegentsia Study Club) dan HIMAS UHAMKA. Diskusi ini mengkaji kata “radikal” dan implementasinya dalam pemikiran serta perbuatan.

Kegiatan Akademia kali ini diisi oleh pemantik dari Intelegentsia Study Club, yakni Nana Ariadi selaku pengurus ISC 2022-2023. Selain itu pemantik kedua oleh Muhammad Agus Salim selaku Ketua Bidang Akademik dari HIMAS (Himpunan Mahasiswa Sejarah) UHAMKA.

Diskusi diawali dengan pembahasan terkait pembedahan dari kata “Radikal”, serta kesalah pemaknaan dari kata tersebut dalam masyarakat. Pemantik pertama yakni Agus Salim mengutip pendapat ahli, dan menjelaskan secara historis.

“Orang radikal yaitu orang yang berpikir melampaui zamannya, sayangnya terdapat perubahan makna dari stigma yang posititf ke arah negatif”, Ujar Agus.

Dia beranggapan radikal merupakan cara berpikir seseorang untuk senantiasa berkembang demi memperoleh gambaran ke masa yang akan datang, serta mempersiapkannya. Pandangan masyarakat terhadap kata “radikal” juga telah berubah karena menganggap radikal itu sama dengan radikalisme.

Agus menambahkan, “Terdapat perbedaan makna antara “radikal” dan “radikalisme”. Makna “radikal” yaitu sebuah pemikiran untuk membawa perubahan, sedangkan “radikalisme” sekelompok orang yang mengganti ketatanegaraan”.

Anggapan itu juga yang menyebabkan pemikiran pemuda atau mahasiswa tidak diperbolehkan radikal, padahal dengan memiliki dasar pemikiran radikal seseorang dapat berkembang, lebih lanjut dapat membawa perubahan konstruktif di tengah masyarakat.

Setelah itu, Nana Riadi selaku pemantik kedua menyambung diskusi dengan pemaparan terkait refleksi mahasiswa radikal. Seperti mengapa seorang intelektual harus berpikir secara radikal, dan bagaimana pemikiran radikal dapat membersamai mahasiswa dalam pergerakan.

Nana memulai pantikannya dengan sebuah cerita naratif yang pernah diutarakan salah satu sosok yang menjadi inspirator para mahasiswa yakni Soe Hoe Gie- tokoh pemuda yang diidamkan para mahasiswa karena kalimatnya yang terus abadi tentang idealisme.

“Seorang mahasiwa itu ibarat koboy yang datang ke suatu daerah yang penuh dengan bandit (masalah), ketika tugasnya dan masalah di daerah tersebut diselesaikan dia akan menghilang” Tutur Nana.

Nana menganggap bahwa mahasiswa tidak perlu menampilkan dirinya ke publik cukup fokus ke permasalahan yang ada. Membawa perubahan bagi daerah suatu permasalahan dapat dipupuk dengan pemikiran radikal, semangat yang dimiliki tersebut menjadi modal bagi mahasiswa.

Nana menambahkan bahwa menurut pandangannya terdapat empat faktor penyebab lunturnya gairah pergerakan dalam mahasiswa; 1) Disorientasi, 2) Disrupsi, 3) Literasi, 4) Kepekaan Sosial. Empat faktor inilah yang sejauh ini mengganggu nilai-nilai mahasiswa.

1) Disorientasi artinya tidak ada tujuan jelas bagi mahasiswa dalam menjalankan fungsinya. 2) Disrupsi atau perubahan zaman yang mengharuskan mahasiswa dapat menafsirkan kondisi di zamannya. 3) Pemaknaan Literasi yang sekadar membaca buku, bukan pengimplementasiannnya dalam kehidupan. 4) Terakhir, kepekaan sosial yang mulai menghilang dalam diri mahasiswa sehingga merasa eklusif.

dokpri
dokpri

Diskusi selanjutnya berjalan dengan tanggapan dari beberapa peserta yang hadir. Seorang peserta menilai bahwa radikal dapat membantu mahasiswa untuk melakukan pergerakan dengan disertai filsafat. 

“Berpikir secara radikal dalam filsafat dapat dianalogikan, filsafat sumurnya dan radikal rebagai katrolnya” ucap seorang peserta. 

Peserta lain juga mempertanyakan bagaimana mahasiswa yang dahulu tahun 1998 berjuang atas nama rakyat, namun sekarang justru duduk di kursi parlemen untuk membela kepentingan pribadi. Peserta tersebut mempertanyakan apakah ada cara agar tidak ada mahasiswa yang seperti itu lagi.

“Realitas tersebut yang telah tercipta ketika seseorang sudah mengerti akan kebutuhan hidupnya dan mendapat keuntungan. Dibutuhkan moralitas dalam menghadapi moralitas”, Jawab Agus.

Nana menambahkan, “Dalam cerita koboy tadi, ia lebih memilih menghilang karena ia sadar jika ia tetap disana ia akan menjadi pemimpin, dan itu yang dapat melunturkan idealismenya.”

Diskusi berlanjut dengan pendapat salah seorang peserta tentang bagaimana stigma di masyarakat yang salah dalam memaknai kata “radikal” disebabkan karena pendapat yang mayoritas selama ini dan coba diputarbalikan oleh pihak-pihak tertentu.

“Kebenaran bersifat abu-abu, suatu yang salah akan menjadi benar jika (kebenaran tersebut) mayoritas. Radikal justru dikaitkan dengan stigma keagamaan oleh masyarakat”, ungkap salah satu peserta.

Akademia kedua dilakukan di lantai 2 gedung Graha Mahasiswa UHAMKA, terjadinya hujan  deras tidak mengurungkan niat mahasiswa untuk hadir dalam kegiatan ini. Total terdapat 40 mahasiswa yang hadir dalam memeriahkan diskusi ini.

Diskusi berakhir setelah tiga jam telah berjalan, moderator menutup dan menyimpulkan poin-poin diskusi. Makna “radikal” bukan sesuatu yang haram selayaknya sebuah larangan dalam kitab keagamaan, sebagai mahasiswa berpikir radikal justru menjadi asupan perjuangan untuk melawan kutukan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun