Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015
Neoliberalisme di Indonesia
Neoliberalisme telah menjadi sistem arus utama di dalam perekonomian dunia. Esensi neoliberalisme tidak lain adalah sebuah proyek yang bertujuan untuk merestorasi dan memperluas kekuasaan elite kelas kapitalis pada tingkat nasional dan global melalui kontrol, supereksploitasi dan represi terhadap kelas pekerja di seluruh dunia (Harvey, A Brief History of Neoliberalism, 2009). Pada tataran ide, para pengusung neoliberalisme meyakini bahwa pasar yang tidak teregulasi, yang bebas dari segala bentuk intervensi negara, terbuka dan kompetitif adalah karpet merah untuk menuju ke podium kemajuan dan kemakmuran bersama (Pontoh, 2013). Di tataran kebijakan, proyek kelas ini direalisasikan melalui serangkaian kebijakan deregulasi, privatisasi, pemotongan anggaran publik, pasar kerja fleksibel, liberalisasi perdagangan jasa dan keuangan, dst (Pontoh, 2013). Kebijakan-kebijakan dimuka dilaksanakan dan diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia dalam pembangunan.
Kebijakan yang jelas dilaksanakan di Indonesia di antaranya privatisasi dan komersialisasi ruang-ruang kota, pembangunan mall-mall, pelebaran dan pembangunan jalan-jalan tol, pembangunan pusat-pusat perkantoran pemerintah dan bisnis berskala besar, sertifikasi tanah yang segera diikuti dengan penggusuran paksa penduduk dari tanah tersebut, kriminalisasi terhadap penduduk di area pemukiman kumuh, pemberian ijin-ijin pembangunann perumahan, superblok-superblok mewah, pembangunan pabrik-pabrik, komersialisasi barang-barang publik seperti air minum, pendidikan, dan kesehatan, dst (Pontoh, 2013). Hal ini, menurut David Harvey, merupakan konsekuensi atas gerak internal kapitalisme yang harus selalu menguasai ruang sebagai sarana untuk ekstraksi nilai lebih (Apinino, 2014). Kebijakan-kebijakan tersebut adalah hal yang niscaya dilakukan dalam pembangunan ekonomi sebuah negara penganut neoliberalisme. Hal ini membuat kebijakan-kebijakan serupa dilaksanakan di kota-kota besar di Indonesia.
Kegiatan-kegiatan pembangunan yang telah dijabarkan di atas tentunya memiliki dampak bagi kehidupan masyarakat. Kegiatan-kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk menjadikan kota sebagai mesin pertumbuhan ekonomi guna melayani kepentingan kelas borjuasi nasional dan internasional (Pontoh, 2013). Dampak dari banyaknya model pembangunan yang berorientasi privat tersebut adalah kerugian bagi warga miskin di perkotaan. Kebijakan dengan alasan pembangunan ekonomi menjadi buruk apabila hanya menguntungkan sebagian masyarakat dan merugikan masyarakat lainnya. Model pembangunan di perkotaan untuk melayani kelas menengah ke atas tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan mayoritas penduduk kota yang miskin, sehingga lahir daerah-daerah kumuh, perumahan tak layak tinggal, sarana air bersih yang sangat terbatas, tingkat kriminalitas yang tinggi, pengangguran, pengemis, anak jalanan yang terus bertambah, kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak berkualitas dan sebagainya (Pontoh, 2013).
Hak Warga Kota Depok
Kota berdasarkan World Charter for the Right of The City adalah kawasan yang memiliki potensi ekonomi, lingkungan, kekayaan politik dan budaya, dan keberagaman. Namun, bertolak belakang dengan potensi yang dimilikinya, pembangunan kota terkadang bertendensi untuk mengkonsentrasikan pendapatan dan kekuasaan, penyebab dari kemiskinan, berkontribus dalam pencemaran lingkungan, segregasi sosial dan spasial, dan privatisasi infrastruktur umum dan ruang publik.
Sebagai warga seuatu kota, seharusnya warga termasuk memiliki ha katas kota yang ditempatinya. Hak atas kota mengandaikan bahwa logika urban tidak dapat lagi hanya disandarkan pada logika pertumbuhan atau maksimalisasi profit (Ridha, 2010). David Harvey memandang bahwa hak atas kota adalah, “bukan hanya sebagai kebebasan individu untuk mengakses sumber daya perkotaan, akan tetapi lebih dari itu, hak atas perkotaan adalah hak untuk mengubah diri kita melalui mengubah kota itu sendiri” (Harvey, The Right to The City). Harvey menegaskan bahwa proses ini adalah sebuah proses yang melibatkan aksi kekuasaan kolektif untuk mendorong proses perkotaan yang demokratis (Harvey, The Right to The City).
Bagi Lefebvre, hak atas kota berarti hak terhadap kota itu sebagai sesuatu yang nyata, yang hadir dengan segala kerumitannya saat ini untuk kemudian mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut sesuai dengan konteks ekonomi politik kekinian (Pontoh, 2013). Dengan pengertian ini, maka hak atas kota itu tidak sekadar dimaknai bahwa warga miskin berhak untuk mengakses pendidikan dan kesehatan gratis, misalnya, tapi juga warga miskin tersebut memiliki hak untuk mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut. Singkatnya, penduduk miskin yang menetap di kota tersebut bukan hanya pelaku pasif dari sebuah perubahan, tapi aktif terlibat dalam proses perubahan itu (Pontoh, 2013).