Mohon tunggu...
BEM FISIP UI 2015
BEM FISIP UI 2015 Mohon Tunggu... -

Kanal media resmi BEM FISIP UI 2015 | Kolaborasi Karya Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sulitnya untuk Sebuah Kehidupan Layak

12 Juni 2015   13:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015

Sebuah pertanyaan melayang-layang di benak penulis akan sebuah kata dan perwujudan dari sebuah makhluk, manusia. Apakah itu manusia? Sebuah makhluk mulia? Bagian dari binatang? Ataukah manusia itu adalah sebuah komoditas? Menurut penulis, semua pertanyaan tersebut merupakan sesuatu yang benar. Manusia sebagai makhluk yang mulia jika kita lihat dari sisi keagamaan karena merupakan gambaran dari Allah sendiri. Manusia sebagai binatang yang memiliki naluri untuk membunuh, liar, tak terkendali, dan menguasai manusia lain. Sehingga menciptakan sebuah exploitation de l'homme par l'homme[1] atau penghisapan manusia oleh manusia yang membenarkan pernyataan bahwa manusia merupakan sebuah komoditas. Sebab manusia yang menjadi buruh menjual tenaganya untuk bekerja pada pemilik modal, sementara tenaga para buruh tersebut dibayar dengan upah oleh pemilik modal (Marx, n.d.). Sehingga menyebabkan penghisapan manusia oleh manusia lain yang berkuasa yang menyebabkan penindasan, kemiskinan, dan keterasingan manusia dari barang yang telah mereka hasilkan sendiri.

Pada dasarnya, manusia merupakan sebuah makhluk merdeka, memiliki kehendak bebas, dan memiliki haknya yang mendasar sebagai sebuah makhluk, yaitu hak untuk hidup, hak untuk hidup layak, hak untuk lepas dari ketertindasan dan penindasan, hak untuk lepas dari ketakutan, dan hak untuk lepas dari kemiskinan. Maka sangat penting sekali isu HAM bagi setiap orang di dunia ini dan juga di Indonesia ini. Tentu saja, tulisan ini digunakan untuk mengingat-ingat apa sajakah yang sudah terjadi di Indonesia ini berkaitan dengan HAM setiap rakyat Indonesia yang telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 :

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasca Amandemen).

 

Hak Hidup Layak

Hak untuk hidup merupakan sesuatu yang sangat mendasar bagi setiap manusia di dunia ini, namun tidak hanya hak untuk hidup, tetapi perlu ditambahkan hak untuk hidup layak. Hidup layak yang seperti pada Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945 nyatakan bahwa manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, pendidikan, dan kesejahteraannya, Pasal 28H ayat 1 sampai 4 yang mengatakan bahwa setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir batin, memiliki hak untuk persamaan dan keadilan, dan berhak atas jaminan sosial, dan hak milik pribadi. Dan juga Pasal 28 I ayat 1 yang mengatakan bahwa manusia berhak atas hidup, hak tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan hak untuk tidak diperbudak.

Selama 17 tahun terakhir ini, pasca jatuhnya orde baru, beberapa elemen hak untuk hidup layak belum terwujud dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Memang, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani dan terbebas dari ketakutan telah terpenuhi jika kita menggunakan tolok ukur jatuhnya pemerintahan otoriter orde baru yang merepresi kebebasan berpikir dan berpendapat. Namun, jika kita lihat lebih mendalam, tentu kemerdekaan untuk berpikir belum juga terpenuhi ketika TAP MPRS No. XXV/1966 belum digugurkan, sebab masyarakat Indonesia masih dilarang untuk mempelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.[2] Padahal, pada dasarnya mendapatkan ilmu pengetahuan merupakan hak setiap orang untuk memilikinya dan hak untuk lepas dari kebodohan juga merupakan hak mendasar bagi seluruh rakyat Indonesia, dan ideologi apapun tidak ada yang berbahaya selama ideologi tersebut tidak dijadikan alat kekuasaan dan terlebih lagi ideologi hanya digunakan sebagai ilmu pengetahuan.

Selama 17 tahun terakhir ini pula dasar-dasar untuk menyokong hidup layak bagi masyarakat Indonesia tidak pernah terpenuhi. Memang, menurut data statistik dibanding tahun 1998, pada tahun 2013 kemiskinan di Indonesia turun dari 49,5% menjadi 10,96%. Namun, garis kemiskinan yang ditetapkan adalah Rp 312.328 atau jika dihitung per hari sebesar Rp 10.400 (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 2014). Jadi, seandainya pendapatan seseorang adalah Rp 12.000, maka ia sudah tidak termasuk dibawah garis kemiskinan. Namun Rp 12.000 jika di kota hanya bisa dipakai untuk sekali makan dan di desa bisa dipakai untuk 2-3 kali makan tanpa memberi makan pada anak dan istri dan juga tanpa memberikan pendidikan, rumah, kesehatan, dan kepentingan-kepentingan hidup lain. Jadi orang yang hanya bisa makan sekali tanpa bisa memberi makan anak dan istri, tidak bisa memberi pendidikan pada anak dan dirinya sendiri, tanpa jaminan sosial, dan jaminan kesehatan, merupakan orang yang tidak miskin.

Apakah kelayakan hidup cukup dengan makan sekali sehari tanpa bisa bersekolah/menyekolahkan anak, tanpa bisa mengakses kesehatan, tidak bisa juga memberi makan pada anak dan istri, tidak bisa memiliki rumah, dan tanpa ada jaminan sosial sekalipun? Jika kita tarik garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan maka seharusnya keluarga/seseorang yang tidak miskin adalah seseorang yang bisa makan tiga kali sehari, bisa memberi makan anak dan istrinya tiga kali sehari, bisa menyekolahkan anaknya, memiliki jaminan sosial atas kesehatan, dan memiliki tempat tinggal. Jika kita tarik garis kemiskinan sebesar Rp 20.000 per hari, dimana hanya mencukupi untuk dua kali makan di kota untuk diri sendiri tanpa bisa memenuhi pangan layak bagi istri dan anak. Jumlah rakyat Indonesia yang miskin adalah 43% jumlah penduduk. Seandainya orang/keluarga tidak miskin ditarik dari kemampuan seseorang untuk makan tiga kali sehari dan bisa memberi makan anak dan istrinya tiga kali sehari, mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, perumahan, dan mendapatkan jaminan sosial dan yang terbilang miskin jika salah satunya tidak terpenuhi, maka berapa banyakkah jumlah rakyat miskin di Indonesia?, dan apakah selama 17 tahun ini, hak atas hidup layak sudah dipenuhi oleh negara? Jawabannya belum optimal.

 

Hak Asasi Manusia dan Neo-Liberalisme

Hak Asasi Manusia tidak akan pernah dilepaskan dengan ideologi. Pada era belakangan ini isu-isu penegakan HAM, demokratisasi, begitu juga dengan neo-liberalisme menjadi isu sentral. Neo-liberalisme muncul sebagai akibat dari melemahnya sosial demokrasi atau lebih dikenal dengan sistem welfare state dengan semakin terbukanya perekonomian suatu negara. Tekanan dari neo-liberalisme itu sendiri disebabkan banyak negara-negara yang menerapkannya (Newman, 2006). Neo-liberalisme sendiri hadir sebagai kritik dari sosial-demokrasi yang disebutnya tak ekonomis karena mengganggu insentif terhadap kapital dan membuat investor tidak tertarik karena pajak yang dan gaji buruh yang tinggi, tidak produktif karena mempercepat pertumbuhan birokrasi publik, tidak efisien karena karena monopoli negara terhadap pengelolaan jaminan sosial dan dukungannya terhadap serikat-serikat buruh. Selain itu, neo-liberalisme menginginkan sebuah kondisi dimana intervensi pemerintah harus dikurangi dalam mengatur pasar dan masyarakat harus dibebaskan untuk mengambil keputusannya sendiri berkaitan dengan menjalankan fungsi pasar (Newman, 2006). Kondisi ini tentu saja juga berpengaruh pada Indonesia, namun sebenarnya neoliberalisme telah memengaruhi perekonomian Indonesia sejak kejatuhan Soekarno, dan reformasi 1998 pun tidak mengubah struktur ekonomi Indonesia sekalipun yang terjadi malah sebaliknya, ekonomi neoliberalisme semakin mengganas pasca kejatuhan orde baru.

Yang patut diwaspadai dari neoliberalisme itu sendiri adalah privatisasi barang-barang publik, pengurangan subsidi, dan pemotongan jaminan sosial. Kebijakan-kebijakan neoliberalisme itu sendirilah yang selama ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia khususnya hak untuk hidup layak, kalaupun tidak bertentangan, HAM pada struktur neoliberalisme hanyalah HAM bagi pemilik modal. Neoliberalisme menganjurkan privatisasi barang barang publik seperti alat transportasi, air, pendidikan, kesehatan, dll. Dengan diprivatisasinya barang-barang publik, maka pengelolaan barang-barang publik tersebut bukan didasarkan pada penyejahteraan masyarakat, melainkan profit oriented. Sehingga yang terjadi adalah semakin mahalnya pendidikan, kesehatan, dan air (kasus Jakarta) seperti yang terjadi di Indonesia.

Semakin mahalnya pendidikan, kesehatan, dan air (khususnya di ibukota) menyebabkan biaya dasar kehidupan semakin tinggi. Belum lagi pemotongan jaminan sosial dan pengurangan subsidi menyebabkan kesehatan masyarakat Indonesia semakin tidak terjamin dan juga semakin mahalnya barang-barang dan jasa yang mengalami penarikan subsidi.

Dari kondisi diatas bisa disimpulkan bahwa neoliberalisme sendiri merupakan struktur ekonomi yang tidak menghargai HAM dan telah diterapkan di Indonesia selama lebih dari 32 tahun. Belum lagi logika neoliberalisme sendiri yang bertujuan untuk membesarkan profit dengan cara menekan gaji buruh hingga seminimal mungkin. Sebagai contoh UMR Tangerang yang hanya Rp 2.730.000 per bulan, nilai tersebut pun belum tentu dituruti oleh seluruh perusahaan yang berada pada Kabupaten Tangerang. Upah yang hanya Rp 2.730.000 belum dipotong oleh BPJS yang harus membayar uang bulanan tertentu, harga BBM yang naik yang menyebabkan biaya operasional kendaraan dan harga jasa transportasi naik, harga pendidikan yang semakin mahal, uang kontrakan rumah sebesar minimal Rp 500.000, dan untuk sembako yang menyebabkan buruh hidup di dunia hanya untuk menghidupi kaum pemodal, dokter, dan mereproduksi keturunannya untuk menjadi buruh. Maka, hal ini menjadikan buruh hanyalah sebuah komoditas yang tenaganya dihisap oleh kaum pemilik modal (Newman, 2006) untuk memproduksi barang yang ia sendiri tidak bisa menikmati barang yang ia bikin.

 

Apa yang didapatkan Selama 17 Tahun?

Maka apakah yang didapatkan selama 17 tahun reformasi ini?. Bagi penulis, reformasi belum banyak membawa perubahan bagi hak untuk hidup layak. Reformasi tahun 1998 hanya mengubah kondisi pemerintahan otoriter menjadi pemerintahan yang lebih demokratis, reformasi 1998 hanya menghasilkan penyebaran oligarki yang tadinya terpusat menjadi terdesentralisasi, dan reformasi 1998 hanya mengubah struktur ekonomi yang tadinya dikuasai oleh pengusah-pengusaha lingkar cendana menjadi lebih bervariatif. Dasar hidup layak manusia yang hanya membutuhkan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan pun tidak dapat terpenuhi.

 

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. (2014, September). Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, September 2014. Retrieved from Website Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1488

Marx, K. (n.d.). Kerja Upahan dan Kapital. Retrieved from Marxists Indonesia Website: https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1847/kerja/Bab1.htm

Newman, M. (2006). Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif Atas Neoliberalisme. Yogyakarta: Resist Book.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasca Amandemen. (n.d.).

 

 

[1] Pidato Soekarno Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP) 17 Agustus 1964

[2] Tap MPRS no. XXV/1966 Pasal 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun