Hak Asasi Manusia dan Neo-Liberalisme
Hak Asasi Manusia tidak akan pernah dilepaskan dengan ideologi. Pada era belakangan ini isu-isu penegakan HAM, demokratisasi, begitu juga dengan neo-liberalisme menjadi isu sentral. Neo-liberalisme muncul sebagai akibat dari melemahnya sosial demokrasi atau lebih dikenal dengan sistem welfare state dengan semakin terbukanya perekonomian suatu negara. Tekanan dari neo-liberalisme itu sendiri disebabkan banyak negara-negara yang menerapkannya (Newman, 2006). Neo-liberalisme sendiri hadir sebagai kritik dari sosial-demokrasi yang disebutnya tak ekonomis karena mengganggu insentif terhadap kapital dan membuat investor tidak tertarik karena pajak yang dan gaji buruh yang tinggi, tidak produktif karena mempercepat pertumbuhan birokrasi publik, tidak efisien karena karena monopoli negara terhadap pengelolaan jaminan sosial dan dukungannya terhadap serikat-serikat buruh. Selain itu, neo-liberalisme menginginkan sebuah kondisi dimana intervensi pemerintah harus dikurangi dalam mengatur pasar dan masyarakat harus dibebaskan untuk mengambil keputusannya sendiri berkaitan dengan menjalankan fungsi pasar (Newman, 2006). Kondisi ini tentu saja juga berpengaruh pada Indonesia, namun sebenarnya neoliberalisme telah memengaruhi perekonomian Indonesia sejak kejatuhan Soekarno, dan reformasi 1998 pun tidak mengubah struktur ekonomi Indonesia sekalipun yang terjadi malah sebaliknya, ekonomi neoliberalisme semakin mengganas pasca kejatuhan orde baru.
Yang patut diwaspadai dari neoliberalisme itu sendiri adalah privatisasi barang-barang publik, pengurangan subsidi, dan pemotongan jaminan sosial. Kebijakan-kebijakan neoliberalisme itu sendirilah yang selama ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia khususnya hak untuk hidup layak, kalaupun tidak bertentangan, HAM pada struktur neoliberalisme hanyalah HAM bagi pemilik modal. Neoliberalisme menganjurkan privatisasi barang barang publik seperti alat transportasi, air, pendidikan, kesehatan, dll. Dengan diprivatisasinya barang-barang publik, maka pengelolaan barang-barang publik tersebut bukan didasarkan pada penyejahteraan masyarakat, melainkan profit oriented. Sehingga yang terjadi adalah semakin mahalnya pendidikan, kesehatan, dan air (kasus Jakarta) seperti yang terjadi di Indonesia.
Semakin mahalnya pendidikan, kesehatan, dan air (khususnya di ibukota) menyebabkan biaya dasar kehidupan semakin tinggi. Belum lagi pemotongan jaminan sosial dan pengurangan subsidi menyebabkan kesehatan masyarakat Indonesia semakin tidak terjamin dan juga semakin mahalnya barang-barang dan jasa yang mengalami penarikan subsidi.
Dari kondisi diatas bisa disimpulkan bahwa neoliberalisme sendiri merupakan struktur ekonomi yang tidak menghargai HAM dan telah diterapkan di Indonesia selama lebih dari 32 tahun. Belum lagi logika neoliberalisme sendiri yang bertujuan untuk membesarkan profit dengan cara menekan gaji buruh hingga seminimal mungkin. Sebagai contoh UMR Tangerang yang hanya Rp 2.730.000 per bulan, nilai tersebut pun belum tentu dituruti oleh seluruh perusahaan yang berada pada Kabupaten Tangerang. Upah yang hanya Rp 2.730.000 belum dipotong oleh BPJS yang harus membayar uang bulanan tertentu, harga BBM yang naik yang menyebabkan biaya operasional kendaraan dan harga jasa transportasi naik, harga pendidikan yang semakin mahal, uang kontrakan rumah sebesar minimal Rp 500.000, dan untuk sembako yang menyebabkan buruh hidup di dunia hanya untuk menghidupi kaum pemodal, dokter, dan mereproduksi keturunannya untuk menjadi buruh. Maka, hal ini menjadikan buruh hanyalah sebuah komoditas yang tenaganya dihisap oleh kaum pemilik modal (Newman, 2006) untuk memproduksi barang yang ia sendiri tidak bisa menikmati barang yang ia bikin.
Â
Apa yang didapatkan Selama 17 Tahun?
Maka apakah yang didapatkan selama 17 tahun reformasi ini?. Bagi penulis, reformasi belum banyak membawa perubahan bagi hak untuk hidup layak. Reformasi tahun 1998 hanya mengubah kondisi pemerintahan otoriter menjadi pemerintahan yang lebih demokratis, reformasi 1998 hanya menghasilkan penyebaran oligarki yang tadinya terpusat menjadi terdesentralisasi, dan reformasi 1998 hanya mengubah struktur ekonomi yang tadinya dikuasai oleh pengusah-pengusaha lingkar cendana menjadi lebih bervariatif. Dasar hidup layak manusia yang hanya membutuhkan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan pun tidak dapat terpenuhi.
Â
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. (2014, September). Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, September 2014. Retrieved from Website Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1488