Mohon tunggu...
BEM FISIP UI 2015
BEM FISIP UI 2015 Mohon Tunggu... -

Kanal media resmi BEM FISIP UI 2015 | Kolaborasi Karya Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pernyataan Sikap BEM FISIP UI 2015 Terkait Aksi #20Maret | Analisis 4 Poin Tuntutan

21 Maret 2015   14:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:19 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP UI 2015

Berdasarkan kronologis itulah (http://politik.kompasiana.com/2015/03/21/pernyataan-sikap-bem-fisip-ui-2015-terkait-aksi-20maret-kronologis-cerita-707999.html), maka BEM FISIP UI 2015 merasa perlu untuk menganalisis ulang poin tuntutannya sebelum memutuskan ikut/tidak turut serta dalam aksi #20Maret. Berikut analisis per poin yang dilakukan Kastrat BEM FISIP UI 2015:

1)Perkuat KPK sebagai Lembaga Pembawa Gerbong Rezim Anti-Korupsi

Pada poin ini, BEM se-UI telah menyepakati untuk dibawa dalam poin tuntutan aksi #20Maret di forum CEM Sospolnet tanggal 16 Maret 2015. Hal ini dilandasi dengan alasan dikarenakan sudah dilakukannya pembagian tugas kajian kepada Kastrat BEM se-UI dan kajian tersebut telah disampaikan ke forum Sospolnet. Kastrat BEM FISIP UI 2015 sepakat dengan kajian Kastrat BEM FH UI 2015 yang menyatakan perlunya penguatan KPK dengan pengaturan lebih lanjut mengenai kewenangan KPK untuk merekrut penyidik dan penuntut independen. Kemudian adanya pengaturan lebih lanjut mengenai Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang mengatur mengenai pemberhentian sementara dan pengunduran diri pimpinan KPK. Hal ini dimaksudkan agar potensi kriminalisasi terhadap komisioner KPK dapat dikurangi. Lebih lanjut BEM FISIP UI 2015 tetap menghendaki adanya transparansi yang diberikan KPK sebagai institusi untuk mengiringi penguatan lembaga tersebut.

2)Reformasi POLRI demi Terwujudnya Kepolisian yang Bebas KKN

Penguatan dua institusi penegakan hukum Indonesia dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu fokus utama dalam aksi #RapatAkbarUI 20 Maret. Perhatian terhadap konsistensi performa kedua institusi penegakan hukum Indonesia ini menjadi lebih signifikan dengan pembahasan korupsi dua bulan belakangan ini. Semenjak awal kemunculan permasalahan KPK-Polri, BEM FISIP UI 2015 telah menyatakan sikap dengan tegas mendukung pemberantasan korupsi. Adapun terkait istilah “kriminalisasi” yang akrab di berbagai media dan pesan berantai, tepat pada tanggal 28 Januari 2015 BEM FISIP UI menyatakan untuk mendukung adanya pengusutan tuntas perkara hukum jika memang ada oknum-oknum yang bersalah. Penguatan bukan hanya dibutuhkan bagi KPK, sebab Polri dan kejaksaan merupakan institusi yang sama-sama kita akui berperan vital dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa BEM FISIP UI 2015 telah mengikuti perkembangan isu korupsi melalui berbagai media dan kesempatan diskusi sejak awal munculnya isu ini.

Berbicara mengenai penguatan KPK dan penguatan Polri, apa yang terjadi hingga saat ini merupakan buah dari perbedaan bentuk institusi kedua lembaga negara tersebut. KPK yang berbentuk “komisi” tentu performanya sangat berkaitan erat dengan kelima komisioner yang menjabat. Secara otomatis, keputusan strategis yang dilakukan dalam tiap keputusan KPK bergantung pada integritas dan kinerja masing-masing komisioner yang bertugas. Alhasil dengan penjelasan singkat tersebut, ketika “KPK vs Polri” terjadi, maka yang cenderung diselamatkan bukanlah institusi KPK secara langsung, namun diarahkan pada komisioner yang bertugas menjaga performa baik pemberantasan korupsi oleh KPK. Berbeda halnya dengan Polri, hingga hari ini 20 Maret 2015, Polri yang dipimpin oleh seorang pelaksana tugas (Plt) masih tetap dapat berjalan dengan baik. Meskipun istilah Plt tidak dikenal dalam institusi kepolisian, penguatan dari indikasi pelemahan Polri tidaklah sama dengan penguatan KPK. Munculnya Wadah Pegawai KPK merupakan bukti nyata bahwa “serikat” yang meragukan keputusan kelima komisioner dapat aktif dan berbaur dengan masyarakat. Akan tetapi bagaimana dengan Polri? Kami rasa “Jiwa Korsa” membuat Polri menjadi institusi yang kuat dalam komando internalnya.

2.1 Penjajakan Teori: Reformasi Birokrasi-Polri

Pada akhirnya kami ingin memperjelas apa dan bagaimana yang dimaksud dengan “Reformasi Polri” dalam aksi #RapatAkbarUI. Mari kita merujuk sejenak pada pengenalan bureaucracy reform yang dibahas oleh B. Guy Peters dalam The Politics of Bureaucracy.Diksi “reformasi” dalam poin tuntutan merupakan pembahasan kajian yang belum disepakati, adapun BEM FISIP UI mengambil peran sebagai pengampu kajian penguatan Polri dalam relasi konflik semu antara KPK vs Polri.

Kata “reform” memiliki konotasi yang baik secara politik untuk memantik perubahan. Perubahan di sini adalah perubahan dalam bentuk apapun menuju arah bentuk yang lebih baik. Peters mengatakan, dalam administrative reform-nya, setiap lembaga memiliki ide dan konsep administratif masing-masing. Counter-productive akan terjadi bila sebuah lembaga mencontoh mentah-mentah ide reformasi sebuah lembaga lain. Sebuah kepala lembaga sangat berperan dalam reformasi lembaganya. Selektivitas dibutuhkan dalam pemilihan ide dan konsep reformasi agar sesuai dengan semangat perubahan di dalam lembaga tersebut. Dalam prakteknya, reformasi tidaklah semudah menemukan konsensus politik yang digunakan untuk perubahan. Peters melanjutkan, reformasi dalam politik birokrasi akan berjalan dengan baik bila adanya sifat partisipatoris dari tiap organ. Meski tersekat-sekat oleh hirarki yang tertutup, namun pimpinan dan subordinat mestinya memiliki hak untuk bersuara yang sama ihwal bagaimana lembaga tersebut seharusnya.

Teori di atas sebenarnya berlandaskan sifat dasar manusia, dimana mereka memiliki kecenderungan untuk bekerja dan bila diberi kesempatan, mereka akan melakukan pekerjaan dengan baik. Uang bukanlah satu-satunya faktor mengapa mereka menyukai pekerjaannya. Kecintaan, loyalitas, dan kepuasan dalam berkarya menjadi faktor-faktor lain yang memicu mereka melakukan pekerjaannya dengan baik. Setelah partisipatoris, perampingan birokrasi juga menjadi konsep yang baik dalam melakukan birokrasi. Jarak antara pimpinan dan subordinat harus diperdekat, meski berbeda dalam pangkat, namun setara dalam hak untuk merubah lingkungan kerja sekondusif mungkin. Bila bentuk-bentuk perubahan di atas sudah dilakukan, etos kerja akan perlahan-lahan meningkat. Keuntungan lain yang di dapat adalah kemudahan dalam mengatur struktur birokrasi. Pengaturan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pimpinan, namun melibatkan pula subordinat. Hasilnya adalah performa organisasi menjadi lebih maksimal karena setiap organ di dalamnya paham apa yang mereka lakukan.

Peters menjabarkan hal lain mengenai perbaikan birokrasi, yakni deregulasi. Peraturan dan prosedur yang bersifat kaku juga cenderung membuat pekerjaan menjadi tidak efektif dan efisien. Birokrasi dalam pemerintahan memang terkesan memiliki peraturan dan prosedur yang sudah ajeg. Namun keajegan ini memiliki sifat relevansi yang dapat pudar dengan konteks-konteks tertentu. Dalam situasi tertentu, pegawai seharusnya dapat melakukan pekerjaan atau pelayanan yang lebih efektif dan efisien dengan mengimprovisasi prosedur kerjanya.

2.2 Reformasi Polri (?)

Memandang reformasi polri tentu berbeda dengan reformasi birokrasi. Salah satu poin utama dalam reformasi birokrasi yakni pergantian pucuk pimpinan dan posisi-posis strategis lainya. Akan tetapi pertanyaannya apakah reformasi Polri mampu mereformasi jabatan-jabatan di bawahnya dengan cepat? Seperti diketahui, jabatan di Polri menerapkan sistem berjenjang dan orang diluar instansi Polri yang lebih “segar” dan bersih hampir tidak mungkin memegang jabatan strategis. Berbeda dengan birokrasi dimana saat ini kita sudah mengenal istilah lelang jabatan yang membuka peluang bagi orang luar sistem memimpin dan memegang posisi strategis. Sehingga, hampir bisa dipastikan bahwa pemegang jabatan strategis di kepolisian tetaplah orang-orang “lama”. Pergantian hanya menyebabkan pergantian, tapi untuk menghasilkan perubahan masih patut dipertanyakan dan diragukan. Teori reformasi administratif yang dipaparkan oleh Guy Peters juga tidak relevan dengan reformasi yang digagas dalam sistem kepolisian. Alasanya Polri menerapkan sistem self governance, dimana institusi Polri dikelola oleh dirinya sendiri. Hampir tidak mungkin pula fungsi-fungsi administratif yang berkaitan dengan posisi strategis kepolisian dirubah begitu saja dan dijabat oleh orang-orang yang berlatar belakang non kepolisian.

Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan apakah tuntutan reformasi Polri merupakan tuntutan yang realistis? BEM FISIP UI 2015 sepakat bahwa instansi Polri memang butuh lebih bersih dan dimulai dari proses pemilihan pimpinannya yang transparan. Akan tetapi BEM FISIP UI 2015 merasa penggunaan kalimat reformasi Polri sendiri kurang tepat. Alangkah lebih baik apabila langsung spesifik saja mengarah pada tuntutan konkret dan lebih dekat yaitu keterlibatan PPATK dalam proses pemilihan Kapolri. Solusi tersebut kami anggap sebagai upaya untuk memulai transparansi di dalam interal kepolisian dan berharap adanya peningkatan partisipasi publik. Tuntutan yang terlalu luas seperti reformasi Polri ini dikhawatirkan bias dan membuat sasaran tembaknya tidak jelas. Sehingga, BEM FISIP UI 2015 menegaskan tuntutan reformasi Polri kurang tepat untuk menjelaskan tuntutan yang lebih spesifik karena toh sebenarnya dari BEM se-UI sendiri arahnya memang untuk tuntutan pelibatan PPATK di dalam FPT calon Kapolri. Kalimat reformasi Polri baru dimunculkan untuk menyesuaikan dengan tuntutan ILUNI UI dan kesepakatan BEM se-UI terkait poin ini sebenarnya belum “diketok palu” di forum CEM Sospolnet tanggal 16 Maret 2015 yang lalu.

3)Bersihkan Demokrasi dari Oligarki

Oligarki di Indonesia merupakan sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terkonsentrasinya kekayaan dan otoritas serta perlindungan kolektif terhadap keduanya. Oligarki muncul seiring dengan perkembangan kapitalisme di Indonesia. Tatanan civil society yang sudah dihancurkan oleh rezim orde baru, harus berhadapan dengan demokrasi liberal pasca reformasi, itulah penyebab terbentuknya oligarki di Indonesia.

Sebenarnya ada dua opsi menghapuskan oligarki. Opsi pertama, yang ditawarkan Hutington, yakni menggeser penanda utama modernitas dari politik pluralis dan budaya demokratis ke institusionalisasi kekuasaan dan tertib politik. Teknokrasi-kelembagaan diharapkan dapat hadir dalam sistem untuk membawa wacana-wacana penyelamat rakyat. Apakah #20Maret nanti hadir untuk membentuk partai politik yang menyelamatkan rakyat? Opsi kedua yang ditawarkan Hadiz, Robinson, dan Winters adalah revolusi sosial dan politik di Indonesia. Merubah tatanan elit yang menjadi bidak-bidak oligarki secara menyeluruh. Kemudian melakukan reformasi besar-besaran di sektor sosial, ekonomi, dan politik.

Adanya opsi yang ditawarkan para pakar pun hingga kini memang masih dalam perdebatan apakah oligarki bisa hilang dari demokrasi? Misalnya di tahun 1966 ketika Soekarno diturunkan dengan salah satu harapannya adalah untuk melenyapkan oligarki, namun nyatanya rezim baru membentuk oligarki baru pula. Begitu juga yang terjadi di tahun 1998 ketika harapan hilangnya oligarki kembali memuncak. Kenyataanya oligarki hanya silih berganti di tengah sistem yang ada. Usaha untuk menghancurkan oligarki dengan melakukan politik desentralisasi justru memunculkan oligarki baru, local bossism dan local strongmen yang terlegitimasi oleh pemilu dan demokrasi.

Berbicara mengenai demokrasi, Yoes Chandra Kenawas banyak mengutip Vedi R. Hadiz dan Richard Robinson, dua ilmuwan Indonesianis untuk menganalisa oligarki lokal di Indonesia. Yoes mengetengahkan bahwa setelah era Soeharto berakhir, aktor-aktor politik yang ada di sekeliling Soeharto telah terbiasa dengan perubahan sistem dan struktur politik di Indonesia. Menurut Yoes politik di Indonesia telah membentuk patrimonialisme sekaligus patron-klien hingga ke tataran daerah. Konsentrasi kekuasaan yang terjadi menandakan adanya orang kuat lokal yang menjadi pusat orbit dan hubungan resiprokal yang menciptakan oligarki baru dari solusi yang diperbincangkan itu sendiri (reformasi dan revolusi).

Maksud dari poin kami ini yakni tuntutan penghapusan oligarki dalam demokrasi merupakan suatu hal yang sangat besar. Konsep oligarki seharusnya digunakan sebagai tool untuk menganalisis fenomena politik dan fenomena itulah yang seharusnya dijadikan tuntutan penyelesaian. Diperlukan turunan yang lebih spesifik yang menjurus pada minimalisasi oligarki, misalnya seperti tuntutan “menolak bagi-bagi jabatan dalam pemilihan menteri di kabinet”. Kami sepakat bahwa oligarki merupakan bibit munculnya korupsi, sebagaimana Yoes menganalisa desentralisasi Indonesia amat menguntungkan dinasti politik terlegitimasi dalam pemenangan pemilu. Hal ini disebabkan orang kuat lokal dengan mudah menggunakan partai politik sebagai kendaraan politik bagi dirinya guna mencalonkan diri sebagai pejabat daerah. Yoes berhasil menjelaskan mengenai oligarki dan kecenderungan tindakan penyelewengan “el corruptio”, akan tetapi Yoes tidak salah karena tesisnya memang tidak ditujukan untuk menawarkan solusi dari oligarki itu sendiri.

Secara akademis, dua pandangan yang kami temukan dalam meruntuhkan oligarki politik di Indonesia masih belum memperoleh tujuan yang diharapkan. Pertama mengenai pembentukan partai rakyat, bagaimana mengidentifikasi partai rakyat untuk melawan oligarki yang menurut bahasanya tidak pro terhadap rakyat? Dalam jangka panjangnya, konsolidasi demokrasi akan memunculkan oligarki baru meskipun itu mengatasnamakan rakyat. Kedua opsi perubahan cepat, baik melalui reformasi maupun revolusi. Sebagaimana kami paparkan di atas, reformasi 1998 dan revolusi 1966 mencatatkan munculnya oligarki-oligarki yang telah dianalisa dengan baik oleh Vedi R. Hadiz dan Yoes Chandra Kenawas dalam tulisanya masing-masing. sedangkan tuntutan #20Maret dan #RapatAkbarUI “demokrasi tanpa oligarki” hingga kini kami nilai masih abstrak. Lagipula, poin ini belum disepakati BEM se-UI untuk dimasukkan dalam tuntutan aksi dan belum ada kajiannya sehingga dimasukkannya poin ini, membuat BEM FISIP UI belum bisa mempertanggungjawabkannya.

4)Turunkan Harga dengan Memberantas Mafia

Alasan utama dari dicantumkanya poin turunkan harga ini yakni karena poin ini berguna untuk merangkul rakyat dan “mafia” yang berkaitan erat dengan korupsi. Jika memang alasanya berkaitan dengan adanya korupsi yang merajalela di negeri ini, maka hampir seluruh poin permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan di negeri ini dapat dikaitkan dengan korupsi. Jika alasanya untuk merangkul rakyat, pada dasarnya kita adalah rakyat itu sendiri. Aras utama dalam aksi #RapatAkbarUI merupakan “korupsi”, sedangkan harga-harga yang dituntut untuk diturunkan hingga tulisan ini dibuat telah stabil dan bertahap mengalami penurunan untuk beberapa jenis bahan pokok.

Pada dasarnya naik atau tidaknya harga kebutuhan pokok, BEM FISIP UI 2015 masih memerlukan kajian dan diskusi lebih lanjut untuk menentukan sikap menanggapi realita yang terjadi. Kami memang bukan lembaga kajian apalagi penyambung lidah kebijakan kementerian, namun kami adalah akademisi yang memiliki tanggung jawab moral atas ilmu yang kami peroleh. Pada akhirnya mengenai poin tuntutan “Turunkan Harga dengan Memberantas Mafia”, bisa jadi BEM FISIP UI menjadi garda terdepan untuk menuntut hal-hal terkait, akan tetapi tidak pada aksi ini. Poin tuntutan pemberantasan korupsi menjadi tidak terakomodir sempurna setelah tuntutan yang coba dikait-kaitkan dimasukan pula dalam poin tuntutan dengan pemahaman yang seadanya.

Pada kesimpulannya, dengan mempertimbangkan hasil analisis dari keempat poin tuntutan aksi #20Maret diatas, maka BEM FISIP UI 2015 memutuskan untuk tidak ikut serta dalam aksi #20Maret. Alasan utamanya adalah karena tuntutan dalam aksi #20Maret ini tidak sesuai dengan kesepakatan BEM se-UI di dalam forum CEM Sospolnet. BEM FISIP UI 2015 sebagai institusi tidak bisa mempertanggungjawabkan poin-poin yang tidak sesuai dengan kesepakatan tersebut apabila tetap memutuskan untuk turun aksi.

Siaran Pers: “Pernyataan Sikap BEM FISIP UI terkait Aksi #SaveKPK dalam Momentum 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK”, 28 Januari 2015

Ibid,

Lihat Pasal 21 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy, fifth ed.(London&New York: Routledge, 2002)Ch.9 “Administrative Reform” hal.348-366

Ibid, B. Guy Peters, Hal.360-361

Ibid, B. Guy Peters, hal.362

Samuel Hutington, Political Order in Changing Societies, (New Heaven, CT: Yale University Press, 1968)

Jeffrey Winters, Oligarchy,(Cambridge: Cambridge University Press, 2011)

Richard Robinson, Vedy R Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The politics of Oligarchy in an Age of Markets, (London: Routledge Curzon, 2004)

Yoes Chandra Kenawas, “The Rise of Political Dynasties in Decentralized Indonesia”, (Singapore: Nanyang Technological University, 2013) hal.19

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun