Mohon tunggu...
BEM FEB UHAMKA
BEM FEB UHAMKA Mohon Tunggu... Penulis - Student Executive Board on UHAMKA Faculty of Economics and Business

Writing is the finest companion to deliver words in reality shape

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kenaikan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Dapat Membebani Masyarakat

15 Juni 2020   19:00 Diperbarui: 15 Juni 2020   19:45 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat keadaan hari ini semakin maraknya kebijakan-kebijakan yang dirancang dan disahkan oleh pemerintah semakin menipis tingkat keadilan di negara kita. seharusnya kebijakan yang diterima masyarakat harus bisa meringankan beban masyarakat akan tetapi pemerintah  memberikan kebijakan yang kurang tepat dan membuat keresahan bagi masyarakat.  

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang terus bergulir di tengah merebaknya wabah virus corona (COVID-19). Pemerintah menetapkan Kenaikan iuran BPJS Kesehatan berlaku mulai 1 Juli setelah pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sri Mulyani juga mengungkapkan selama lima tahun terakhir pemerintah sudah menguras kas negara hingga Rp25,7 triliun untuk menambal defisit.

Menurut Ketua Komisi IX DPR, Felly Estelita Runtuwene juga menilai tidak tepat jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan dilakukan di tengah pandemi COVID-19. "Jadi belum tepat kalau untuk masalah bicara iuran ini untuk kita naikkan lagi, belum tepat untuk saat ini. Kalau kita bicara nanti ekonomi kita sudah stabil dan lain sebagainya. Kita bicara ekonomi hari ini, kita bicara tata kelola, tapi kita lupa urusan sosialnya seperti apa hari ini dampaknya dari pandemi ini".

Berdasarkan Pasal 34 ayat 3, iuran Kelas I sebesar Rp150 ribu per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP atau pihak lain atas nama peserta. 

Lalu, dalam ayat 2 disebutkan iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II sebesar Rp100 ribu per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP atau pihak lain atas nama peserta. Sementara iuran Kelas III Tahun 2020 tetap sebesar Rp25.500, tetapi tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp35 ribu.

Padahal, sejak awal tahun 2020 peserta BPJS Kesehatan sudah dibebani kenaikan iuran hingga mencapai seratus persen dari sebelumnya. Namun, masih saja ditemukan rumah sakit yang menomorduakan pasien BPJS dalam memberikan pelayanan.  

Seorang warga Tanjung Seneng menuturkan, dirinya sempat dibuat kecewa oleh pihak rumah sakit swasta karena orang tuanya tidak bisa dirawat karena kamar kelas 1 sedang penuh. 

Padahal, saat itu orang tuanya harus benar-benar mendapat pelayanan rawat inap. “Bagaimana tidak kesal, setelah dibilang kamar kelas 1 penuh, pegawai rumah sakit justru menawari naik kelas dengan status pasien umum. Padahal kami selama ini sudah membayar iuran kelas 1 setiap bulan,” ungkapnya,

Kenaikan tersebut seolah dianggap sangat memberatkan masyarakat pada umumnya. Sesuai isi pasal 28H yang berbunyi “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat berhak memperoleh pelayanan Kesehatan”. 

Dari pasal tersebut jelas bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan Kesehatan akan tetapi pada kenyataannya apabila iuran BPJS tersebut dinaikkan banyak sejumlah kalangan bawah yang tidak dapat memenuhi dan lebih baik untuk tidak menaikannya. Maka kami mahasiswa FEB menuntut dan mendesak kepada pemerintah untuk mempertimbangkan point yang akan kami sampaikan.

Pertama, menolak adanya kenaikan BPJS dan mengalihkannya dengan Mengadakan agenda yang didukung untuk menarik donatur dari pada investor. Maka harus adanya inisiasi untuk menggalakan dana supaya bisa menutupi angkat defisit BPJS. Seperti mengadakan agenda untuk melakukan konser amal yang disiasati untuk kepedulian kesehatan di negara kita.

Kedua, mendesak institusi terkait seperti DPR RI, BPK, BPKB, OJK, Dewan Pengawas Internal, DJSN dan KPK agar menindak tegas para pelaku fraud. 

Karena melihat potensi fraud semakin besar ditiap tahunnya dan mengancam keberlangsungan program JKN. Data semakin besar di tahun 2015 ada sekitar 178.000 data dengan nilai 400milyar yang diduga fraud, data melejit hingga 1juta klaim dan dengan asumsi hingga samapi 2 triliun.

Maka KPK harus menindak pelaku fraud layanan kesehatan per januari 2018. Sanksi ini sebenarnya merupakan teguran keras terhadap berbagai pihak yang seolah tak acuh terhadap isu kecurangan Jaminan Kesehatan Nasional. Namun menurut Kementrian Kesehatan KPK dianggap belum menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.

Ketiga, perubahan sistem single pool agar tidak terjadi anomali subsidi. Seperti yang dilihat sistem yang digunakan sangat merugikan masyarakat hal ini disebabkan masih menggunakan sistem single pool dalam subsidi BPJS. 

Bisa melihat sistem yang dilakukan di negara tetangga, yaitu Thailand, sebagai negara yang memiliki pengelolaan asuransi kesehatan bagus. Di sana ada tiga BPJS yaitu untuk miskin, PNS, dan pekerja.

Satu sama lain uangnya tidak boleh mengalir sana sini (pindah kelompok). Plus kelompok yang mengakses komersial, jadi mereka tidak menggunakan BPJS negara.

Melihat negara kita yang luas dalam mengatur kesehatan negara, maka harus adanya desetralisasi subsidi “Karena tidak mungkin satu instansi bisa mengontrol 200 juta lebih pesertanya, maka harus didaerahkan, didesentralisasi, supaya rentang kendali tinggi, supaya 2.500 rumah sakit yang melayani BPJS Kesehatan itu dapat dibina oleh gubernur dan bupati setempat,” kata Wapres Jusuf Kalla, saat menjelaskan tiga strategi mengatasi defisit BPJS Kesehatan tersebut.

Dan menurut Laksono saat di FK KMK UGM Yogyakarta “bukan (si miskin) mensubsidi (si kaya), (dana untuk si miskin) terpakai oleh kelompok yang lebih kaya karena single pool,” sistem single pool terbukti menjadi penyebab masalah terpakainya dana PBI untuk peserta non-PBI yang relatif tidak miskin. Hal ini berarti subsidi salah alamat.

Maka dari itu ketiga point ini semoga bisa dipertimbangkan kembali oleh pemerintah, supaya keadilan bagi kesehatan masyarakat bisa teratasi tanpa membebankan rakyat.dan  semoga tuhan senantiasa mengiringi setiap langkah perjuangan semua elemen yang ada di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun