Mohon tunggu...
Bem Simpaka
Bem Simpaka Mohon Tunggu... -

baru belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika Tidak Dilemahkan, KPK Bisa Lebih Kuat dari Negara!?

5 Maret 2015   22:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:06 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manuver KPK menentapkan BG sebagai tersangka tampaknya menjadi momentum sangat tepat yang pada akhirnya mempertemukan berbagai kepentingan untuk satu tujuan sama, melemahkan KPK! Pertanyaannya mengapa KPK perlu dilemahkan? Jawabannya ada pada pertanyaan jika KPK sangat kuat, siapa yang paling terancam?

Menilik sejarah pembentukannya, KPK lahir untuk memenuhi kerinduan kolektif bangsa Indonesia akan hadirnya sebuah institusi yang bisa memberantas korupsi, karena dua lembaga penegak hukum yang punya kewenangan sama yaitu Polisi dan Kejaksaan (dianggap) mandul. Oleh karena itu, lahirlah gagasan untuk membentuk sebuah lembaga superbody yang mampu dan kuat kewenangannya dalam memberantas korupsi. Gagasan ini kemudian mengkristal menjadi “Komisi Pemberantasan Korupsi” atau popular juga disebut KPK.

Dalam perjalanannya, KPK memang mampu menunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa mereka berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Prestasi penindakan, penyelematan uang Negara, dan validitas tuntutannya juga teruji, 100% terbukti di Pengadilan Tipikor. Akibatnya, hari demi hari KPK menuai simpati dan dukungan publik yang terkonsolidasi sedemikian rupa. Popularitas KPK-pun segera melampaui ketenaran Kepolisian dan Kejaksaan dalam menindak koruptor. Meskipun UU KPK tidak memberikan landasan dan perlindungan yang kuat bagi personilnya, karena tidak membekali hak imunitas, toch dukungan rakyat Indonesia yang massif seakan memberikan imunitas tersendiri baginya.

Kasus Cicak vs Budaya jilid pertama adalah momentum yang menyadarkan banyak pihak betapa sebenarnya KPK itu bukan lembaga superbody, karena persoinlinya tidak diberikan hak imunitas selama menjalankan tugasnya. Terbukti, ketika itu komisioner KPK Bibit Samad dan Chandra Hamzah menjadi korban pertama kriminalisasi sebagai konsekwensi terhadap penegakan hukum yang dilakukan KPK. Pada titik inilah kemudian muncul dorongan luar biasa dari rakyat Indonesia untuk merapatkan barisan membela KPK, dan itu semakin mengkristal serta terkonsolidasi berlanjut sampai episode Cicak vs Buaya jilid 2, bahkan Cicak vs Buaya jilid 3.

Pada episode drama Cisak Buaya jilid 1 dan 2, KPK selalu menunjukkan kesaktiannya, tetapi tidak demikian untuk episde Cicak vs Buaya Jilid 3. Serangan bertubi-tubi yang dialami KPK, baik melalui kampanye hitam maupun melalui kriminalisasi pada jilid tiga tampaknya tidak memperoleh “pembelaan” yang berarti dari para pemegang kunci kebijakan dinegeri ini, termasuk Presiden Jokowi. Berbeda dengan di era Presiden SBY, Presiden Jokowi bahkan tidak melakukan kebijakan yang berarti untuk menghentikan pelemahan KPK yang sangat kasat mata melalui berbagai maneuver kriminalisasi. Akibatnya, pelemahan terhadap KPK juga tampak semakin massif, terkonsolidasi, dan melawan logika publik. Inilah fase pelemahan KPK yang sangat sistematis dan sporadis. Ketika begitu banyak kepentingan yang menginginkan KPK lemah, bertemu. Sehingga pada akhirnya, pertarungan Cicak vs Buaya Jilid 3 ini mengarah pada bentuk-bentuk pertarungan idiologi pembangunan negara.

Mungkin saja ada yang khawatir, Jika tidak dilemahkan, kekuatan KPK nantinya akan bisa mengalahkan negara karena dukungan rakyat yang begitu masif walau sebagiannya masih laten (silent mayority). Hal tersebut bisa jadi tidak menguntungkan stabilitas politik nasional yang pada akhirnya akan menganggu gerak roda pembangunan. Ini seakan mengingatkan kita pada pola otoritarianisme di era Soeharto!? Ketika stabilitas menjadi tuhan baru yang oleh karena itu untuk menggapai dan mempertahankannya seakan-akan boleh menghalalkan segala cara, meskipun cara tersebut bertolak belakang dengan logika dan keinginan publik, rakyat Indonesia.***

Kaki Merapi, 5 Maret 2015

Bem Simpaka

SumberIlustrasiPhoto:http://www.eq.net.au/wp-content/uploads/2014/01/balance-pebbles.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun