Mohon tunggu...
Bellatrix Indah Pratiwi
Bellatrix Indah Pratiwi Mohon Tunggu... Lainnya - Urban and Regional Planning Student

interest in coastal and spatial planning

Selanjutnya

Tutup

Nature

Mewujudkan Blue Economy Jawa Timur Ditinjau dari Perspektif Keruangan

14 Oktober 2020   15:04 Diperbarui: 14 Oktober 2020   15:08 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai negara kepulauan, yang luas lautnya lebih besar dari daratan yang dimiliki, Indonesia memiliki potensi sumber daya yang melimpah pada lingkungan pesisir dan laut. Lautan bukanlah pemisah melainkan dimaknai sebagai penghubung yang mencerminkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Adanya kelimpahan kekayaan sumber daya alam yang ada bahkan  memicu konflik seperti klaim tumpang tindih hak atas kepemilikan ruang laut dengan negara lain, contohnya yang pernah terjadi pada Laut Natuna. Dari hal itu kita dapat belajar, tentu dengan melimpahnya kekayaan laut yang ada, berpotensi akan memicu berbagai ancaman terhadap  keberlangsungan sumber daya. Jangan sampai, kekayaan yang ada ini tidak dapat berlangsung lama hingga anak cucu kelak, melainkan malah habis karena eksploitasi besar besaran yang tidak melihat aspek keberlanjutan. 

Dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca memahami laut ditinjau dari perspektif keruangan yang berkaitan pula dengan dokumen kebijakan sebagai hal yang dapat menjaga keberlangsungan sumber daya pesisir dan laut. Merencanakan ruang laut dan darat sangatlah berbeda. Pada darat tentu kita dapat mengenali deliniasi perencanaan dengan melihat batas fisik seperti batas sungai, batas jalan, ataupun pematang sawah.

Apabila hendak pergi ke suatu lokasi di darat, kita dapat dengan mudah mengenali lingkungan, dengan melihat nama jalan apa lokasi tersebut dan penanda fisik seperti gedung dan kenampakan alam sekitar. Berbeda sekali dengan laut, yang batasan fisik tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, karena luasan lautnya yang membentang sepanjang mata melihat. Oleh sebab itu diperlukan bantuan alat untuk dapat membaca koordinat apabila hendak merencanakan lokasi di ruang laut.

Selain itu, hal menarik lainnya, laut tidak hanya dapat dimanfaatkan secara dua dimensi pada bagian permukaannya seperti yang ada di darat, melainkan ruang laut bersifat tiga dimensi yang secara vertikal terbagi atas dasar laut, kolom air, dan permukaan laut. Tentu ketiga ruang vertikal tersebut dapat dimanfaatkan secara bersamaan dengan ketiga hal yang berbeda pula, bisa saja wilayah permukaan dimanfaatkan untuk wisata berlayar, kolom dimanfaatkan untuk budidaya, dan dasar dimanfaatkan penanaman kabel laut telekomunikasi secara bersamaan.

Di balik itu, masih terdapat kesamaan antara darat dan laut yaitu  rentan akan tumpang tindih zonasi, laut juga berpotensi memicu konflik tumpang tindih apabila pengelolaanya tidak baik yang pasti ujungnya berdampak terhadap sumber daya pesisir dan laut. 

Integrated Coastal Zone Management menurut Organization for Economic Cooperation Development (1993) adalah suatu kesatuan sistem yang terintegrasi yang memiliki hubungan terhadap tujuan lokal, regional, nasional dan internasional. ICZM ini memfokuskan diri kepada pengelolaan sumber daya yang ada di kawasan pesisir dan antar kegiatan kegiatan yang berada di suatu kawasan pesisir dengan kegiatan kegiatan lainnya yang berada di daerah lain.  Dalam mengelola wilayah laut dan pesisir terpadu tersebut, salah satu kunci yang dapat digunakan adalah dokumen kebijakan dalam wilayah pesisir dan pulau pulau kecil (WP3K).

Adapun dokumen kebijakan atas penataan ruang pesisir dan laut yang tertera dalam Undang Undang  27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil secara hierarkis meliputi: Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RSWP3K), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K), Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RPWP3K), dan Rencana Aksi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RAPWP3K). Namun faktanya, keberadaan dokumen dokumen perencanaan tersebut masih belum semua terlihat ada melindungi seluruh wilayah pesisir dan pulau pulau kecil serta segala potensi yang terkandung di Indonesia, karena beberapa provinsi yang masih dalam proses penyusunan ataupun malah masih belum membuat.

Secara lebih khusus, dalam tulisan ini, lagi lagi penulis mengajak pembaca, menuju pembahasan dengan lingkup yang lebih mikro yaitu pada ruang lingkup pesisir dan laut  Provinsi Jawa Timur. Luasan lautan yang ada pada provinsi ini empat kali lebih luas dari total luas daratannya. Terdapat 22 kabupaten kota yang memiliki pesisir dengan total panjang garis pantai diukur dari pasang tertinggi sepanjang 3498,12 km.

Adapun tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil Jawa Timur adalah terwujudnya pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau pulau kecil Provinsi Jawa Timur yang terintegrasi, aman, berdaya guna, serta berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Timur dengan prinsip partisipatif. Dengan sumber daya pesisir yang melimpah tersebut, Provinsi Jawa Timur telah berhasil membuat sekaligus memperdakan dokumen Rencana Zonasi WP3K yang merupakan dokumen zonasi dalam mengelola secara spasial pembagian zona pemanfaatan ruang laut agar optimal.

 Akan tetapi, pada kondisi eksisting, kekayaan yang ada pada wilayah pesisir malah berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Terdapat ketimpangan secara ekonomi, dimana kecenderungan masyarakat pesisir memiliki strata ekonomi menengah ke bawah. Hal ini berseberangan dengan upaya Indonesia mewujudkan poros maritim dunia, di mana dari 5 pilar yang ada terdapat pilar kedua yang berbunyi “ Menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut” yang tentunya menempatkan nelayan atau profesi mayoritas masyarakat pesisir sebagai tiang utama. Sebagai suatu solusi akan hal tersebut, terdapat konsep blue economy dalam mengelola sumber daya pesisir Jawa Timur.  

Blue Economy (Ekonomi Biru) diperkenalkan oleh Gunter Pauli, yang diharapkan pengelolaan dengan menggunakan konsep ini dapat menguntungkan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan karena sistem ini menggunakan sumber daya alam lebih efisien dan tidak merusak lingkungan, sistem produksi lebih efisien dan bersih, menghasilkan produk ekonomi yang lebih besar, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dan memberikan kesempatan untuk memberikan benefit kepada setiap kontributor secara lebih adil.

Menariknya lagi blue economy menurut Gunter Pauli berarti pula “blue ocean-blue sky” atau bermakna menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, namun laut dan langit tetap biru. 

Setelah ditelaah dari perspektif kebijakan keruangan Jawa Timur, yaitu Dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) yang telah diperdakan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Provinsi Jawa Timur Tahun 2018-2038, ternyata terdapat kesinambungan terkait isu isu utama Jawa Timur dengan penerapan konsep blue economy tersebut. Berdasarkan isu isu yang ada pada dokumen RZWP3K teridentifikasi isu isu yang sama antara 22 kabupaten kota yang memiliki pesisir di Jawa Timur yang dihimpun terdapat 5 isu prioritas yang kemudian dikelompokan sesuai pilar pembangunan berkelanjutan yaitu sosial, ekonomi, dan budaya. 

Terkait aspek lingkungan terdapat isu pencemaran dan perusakan lingkungan dan konservasi sumber daya hayati. Adapun masalah masalah dalam aspek ini antara lain: pencemaran lingkungan oleh sampah plastik yang semakin lama terdegradasi menjadi mikroplastik, pencemaran perairan oleh limbah pabrik maupun rumah tangga, pengrusakan terumbu karang, kerusakan mangrove akibat alih fungsi lahan dan eksploitasi perikanan secara besar tanpa melakukan pelestarian.

Untuk aspek ekonomi pada pesisir dan laut Jawa Timur ada isu pengembangan ekonomi, wisata bahari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya laut. Adapun masalah yang ada pada aspek ini antara lain: minimnya diversifikasi produk perikanan yang menciptakan nilai tambah, eksploitasi kapal besar yang menyusahkan kapal kecil, dan nilai tukar nelayan yang tergolong rendah. 

Sedangkan untuk aspek sosial terdapat isu peningkatan partisipasi masyarakat. Masalah yang ditemui pada aspek ini adalah konflik masyarakat terkait pemanfaatan keruangan maupun konflik kepentingan, skill sumber daya manusia yang masih kurang dalam manajemen dan pemasaran, pendidikan formal rendah, dan kelembagaan yang belum optimal. Keterlibatan semua stakeholder dalam pengelolaan sumber daya agar berkelanjutan menjadi kunci paling penting, apalagi peran serta masyarakat pesisir yang berada di sekitar wilayah tersebut.

Pengikutsertaan masyarakat pesisir dalam pembangunan maupun manajemen pengelolaan amat penting, karena mereka telah bertempat tinggal pada wilayah tersebut untuk waktu yang lama sehingga tentu pasti paham  kondisi wilayahnya. Uniknya, terkadang terdapat pula, budaya yang diwariskan dari nenek moyang terkait upaya pengelolaan lingkungan agar terus berkelanjutan.

Perencanaan secara partisipatif adalah jalan yang digunakan dalam mengelola pantai dan laut oleh masyarakat sejalan dengan tujuan pengelolaan WP3K Provinsi Jawa Timur. Dengan turut serta dari tahap merencanakan, mengimplementasi, mengevaluasi hingga mencari solusi apabila ada masalah, tentu masyarakat akan memiliki rasa kepemilikan dan senantiasa menjaga lingkungannya. 

Akhir kata, penulis berharap kesejahteraan ekonomi Provinsi Jawa Timur dapat meningkat dengan mengelola sumber daya pesisir dan lautnya menggunakan konsep blue economy yang sekaligus hal tersebut menjawab masalah akan 5 isu prioritas Jawa Timur seperti yang tertera dalam kebijakan keruangan. Blue economy dapat diaplikasikan pada berbagai zona, seperti: zona perikanan, pertambangan, pariwisata, industri pesisir, atau konservasi. Penerapan blue economy, yang memperhatikan berbagai aspek demi keberlanjutan juga dapat dimanfaatkan pula sebagai penggenjot sektor maritim setelah terdampak pandemi Covid-19 yang kini telah terjadi. 

Notes:

Tulisan ini ditulis oleh Bellatrix Indah Pratiwi, yang merupakan mahasiswa pada mata kuliah Pengelolaan Wilayah Pantai dan Laut Terpadu, Departemen Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Referensi: 

Dirhamsyah. (2006). Pengelolaan Wilayah Pesisir Terintegrasi di Indonesia. Oseana, XXXI(1), 21–26. Retrieved from www.oseanografi.lipi.go.id

Prayuda, R., & Riau, U. I. (2020). STRATEGI INDONESIA DALAM IMPLEMENTASI KONSEP BLUE ECONOMY TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR DI ERA MASYARAKAT DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN. (March). https://doi.org/10.32787/ijir.v3i2

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Provinsi Jawa Timur Tahun 2018-2038

Undang Undang  27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun